Selasa, November 18, 2008

APAKAH PETRUS PAUS YANG PERTAMA?

Perkataan Yesus kepada Petrus, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku” telah menyebabkan badai perdebatan yang belum mereda selama berabad-abad. Gereja Katolik Roma menyatakan bahwa kata-kata ini membuktikan Petrus telah dijadikan lebih unggul daripada rasul-rasul lainnya dan penghormatan ini telah dialihkan kepada paus-paus Gereja Katolik Roma. Dan kesimpulannya, ketika berbicara tentang takhta Petrus, yaitu ex cathedra, maka ia tidak mungkin bersalah.

Kewenangan Paus tidak lagi diterima secara serius oleh umat Katolik seperti dulu. Ketika ia berbicara mengenai keburukan Keluarga Berencana atau dosa perceraian, perkataannya sering kali tidak dihiraukan oleh banyak orang Katolik, khususnya di Amerika Serikat. Dewasa ini banyak orang yang menganggap dirinya orang-orang Katolik yang baik tidak sependapat dengan paus mengenai peran wanita di dalam gereja dan bahkan mengenai aborsi. Namun ajaran resmi Katolik Roma yang menyangkut kewenangan gereja dalam persoalan-persoalan seperti itu masih tetap berlaku.

Bagaimanakah gagasan kepausan ini muncul dan mengapa?

Suatu Permulaan
Tahun 452 SM, ketika Attila, orang Hun, memimpin pasukan berkudanya menuju Sungai Donau dengan maksud menguasai bagian barat dari Kerajaan Romawi. Serangan yang mendadak melintasi pegunungan Alpen membawanya ke Italia bagian utara. Ia bergerak terus menuju Roma sampai ia berjumpa dengan suatu delegasi Romawi, yang memohonnya untuk meninggalkan daerah itu. Ia baru saja hendak mengabaikan mereka ketika ia mendengar bahwa Leo, uskup Roma, ada diantara rombongan itu, sebagai Kerajaan Romawi. Mereka saling berhadapan, seorang raja asing dan seorang pemimpin gereja yang memerintah. Menurut beberapa sejarawan, Attila sudah memutuskan bahwa ia tak dapat meneruskan usaha penaklukannya karena memburuknya keadaan pasukannya disebabkan perjalanan kaki yang jauh. Bagaimanapun juga, ia menyetujui permintaan Leo untuk menyelamatkan ibu kota. Hal ini menjadikan Leo lebih ulung, bukan saja sebagai seorang pemimpin agama, tetapi juga sebagai seorang politikus.

Apakah sangkut-pautnya dengan perkembangan kepausan? Leo, yang dikenal dalam sejarah sebagai Leo Agung, memanfaatkan kepercayaan yang makin kuat bahwa perkataan Kristus kepada Petrus, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku,“ dapat dipakai untuk para uskup Roma. Ini memberinya keunggulan dan wewenang yang ia butuhkan untuk memerintah.

Akan tetapi, mengapakah kehormatan ini harus diberikan kepada uskup Roma? Betapapun, gereja dimulai di Yerusalem, dan jemaat-jemaat penting lainnya terdapat di tempat-tempat seperti Antiokhia di Siria dan Efesus. Namun, ingatlah bahwa Roma adalah ibukota Kerajaan Romawi. Kota ini mempunyai kekuatan dan pengaruh politik, sebuah kota tempat orang-orang percaya mula-mula mendirikan sebuah gereja Kristen yang kuat. Beberapa perkiraan menetapkan jumlah orang-orang percaya di Roma sekitar 30 ribu orang. Di barat, baik gereja maupun kotanya tidak mempunyai saingan. Lagi pula, para penulis Kristen yang mula-mula mengatakan bahwa Petrus dan Paulus telah mendirikan gereja di Roma. Lalu timbullah pemikiran bahwa uskup Roma menjadi calon pengganti rasul-rasul tersebut.

Lalu kita harus memahami sesuatu tentang struktur gereja. Uskup-uskup bermunculan diberbagai bagian yang berbeda dari negeri itu, tetapi kadangkala mereka berkumpul bersama untuk bersidang dan mendiskusikan masalah-masalah gereja. Seperti yang dapat diduga, uskup dari gereja-gereja yang lebih penting mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam pertemuan-pertemuan tersebut. Jadi beberapa uskup mulai menjalankan kekuasaan atas daerah-daerah geografis tertentu. Gerejka-gereja yaang lebih kecil mempunyai imam yang memberi laporan kepada uskup. Dengan demikian, Roma bertambah besar kewenangan dan kekuasaannya.

Akhirnya, semua ini mencapai puncaknya. Setelah Konstantinus menjadi kaisar pada tahun 312, ia memutuskan untuk memindahkan ibukota Kerajaan Romawi ke Roma Baru, yaitu Konstantinopel, sebuah kota yang ia namakan menurut namanya sendiri. Jadi, kekuatan politik beralih dari barat ke timur (Yunani ada di Timur dan melambangkan suatu garis pemisah di antara barat dan timur). Ketika Konstantinus mengatur Konsili yang terkenal pada tahun 325, maka itu diselenggarakan di Nicea, hanya beberapa mil dari Konstantinopel.

Persaingan di antara kedua kota itu berkembang. Suatu hari Kaisar dari Konstantinopel mengadakan sidang umum, seperti yang telah dilakukan oleh Konstantinus. Akan tetapi, ia mengundang uskup-uskup dari bagian timur kerajaan sedangkan uskup Roma diabaikan. Konsili ini menyelesaikan beberapa persoalan teologis, tetapi juga menyatakan bahwa wewenang uskup Konstantinopel berada pada peringkat kedua setelah uskup Roma karena Konstantinopel adalah “Roma Baru“.

Sementara itu, di “Roma Lama“, pernyataan ini ditafsirkan sebagai suatu tantangan terhadap wewenang uskup Roma. Maka pada suatu sinode pada tahun berikutnya di Roma, uskup-uskup barat menandaskan, “Gereja Roma yang kudus harus lebih diutamakan daripada gereja-gereja lainnya, bukan berdasarkan keputusan sinode, tetapi karena kepadanya telah diberi keunggulan oleh perkataan Tuhan dan Penebus kita di dalam kitab Injil ketika Ia berkata, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku.”

Demikianlah, suasana teologis ketika Leo menjadi uskup. Secara politik, kekuasaan Roma mulai berkurang dan karena itu alasan lama mengenai keunggulan gereja Roma oleh sebab kekuasaan dan pengaruh Roma kurang berpengaruh. Tetapi ini tak menjadi soal. Sekarang Roma dapat menuntut keunggulannya berdasarkan keunggulan Petrus. Dan karena kemerosotan politis kota itu, maka uskup sanggup menjalankan kekuasaan yang lebih besar.

Leo benar-benar menyadari kedudukan tinggi yang telah ia warisi. Jadi, pada hari pelantikannya ia menegaskan bahwa jabatannya yang baru meninggikan “kemuliaan Rasul Petrus yang kudus... dalam takhtanya, kuasanya dilangsungkan dan kewenangannya bersinar.“ Kristus berjanji untuk mendirikan gereja-Nya di atas Petrus, dan inilah penggenapan perkataan-Nya. Leo adalah seorang pengkhotbah dan organisator yang baik. Ia mengambil banyak prinsip pemerintahan Romawi dan menerapkannya kepada gereja. Organisasi gereja dibakukan di seluruh kerajaan.

Meskipun Leo telah berhasil mencegah serangan Attila orang Hun, ia tidak sanggup mencegah kaum Vandal yang menyerang Roma pada tahun 455. Di pintu gerbang kota Roma, Leo bertemu dengan Gaiseric, raja orang Vandal, yang telah membawa pasukannya sampai ke sebelah utara sungai Tiber. Leo memohon belas kasihan, tetapi kaum Vandal menjarah Roma selama 14 hari. Mereka menjarah istana-istana, menahan tawanan politik dan bahkan anggota-anggota dari kaum aristokrat sebagai sandera politik. Dengan kapal-kapal yang sarat dengan harta benda dan manusia, kaum Vandal berlayar menuju Kartago.

Uskup Leo menghibur penduduk dan menaikkan ucapan syukur kepada Allah. Oleh karena ia menjadi penengah kepada raja Vandal, suatu pembunuhan masal telah dihindari dan sebagian gereja-gereja terlindungi. Ia mengajak rakyat Roma untuk mengakui bahwa Allah telah melembutkan hati kaum barbar itu. Bruce Shelley dalam penelitiannya tentang sejarah gereja mengatakan bahwa Leo tidak menyebut dirinya dan ia tidak perlu melakukannya, meskipun ia telah menyelamatkan Roma untuk kedua kalinya. “Ia telah memakai gelar kafir yang kuno Pontifex Maximus, imam besar keagamaan di seluruh kerajaan, dan semua orang mengerti bahwa Leo-lah, bukan Kaisar, yang telah memikul tanggung jawab atas kota yang kekal itu. Petrus telah mulai berkuasa.“1

Setelah melompat beberapa abad ke depan, kita kembali melihat persaingan yang terjadi antara uskup Roma dan uskup Konstantinopel. Kedua bagian gereja ini berpisah semakin jauh. Berabad-abad telah berlalu sampai suatu hari pada tahun 1054, ketika suatu kebaktian akan dimulai di gereja Himat Kudus di Konstantinopel, dua orang wakil dari gereja Roma muncul dan meletakkan suatu bula paus (suatu pengumuman resmi dari paus) di atas Altar. Uskup Roma, secara resmi mengucilkan uskup Konstantinopel. Akan tetapi, uskup Konstantinopel tidak gentar. Bula itu akhirnya dibuang di jalan ketika seorang diaken gereja itu mendesak utusan dari Roma untuk membawanya kembali. Jadi blok timur dari Kekristenan memisahkan dirinya dari Roma. Peristiwa ini menjelaskan adanya Gereja Ortodoks Timur, yang menguatkan banyak ajaran agama (meskipun dengan berbagai perbedaan yang penting), tetapi menolak untuk menerima kekuasaan Paus.

Para Paus dan Kekuasaan Politik
Seperti yang telah kita simak, Leo Agung adalah uskup Roma pertama yang menjalankan kekuasaan politik dan kekuasaan rohani. Tetapi ia bukan yang terkahir. Untuk memahami kepausan kita harus menyadari bahwa agama menjadi kekuatan yang begitu besar selama Abad-Abad Pertengahan sehingga para paus sanggup menguasai baik dunia politik maupun dunia rohani. Dan dalam usaha untuk menyatukan keduanya para paus mengambil kepemimpinan.

Dengan bangkitnya Paus Gregorius Agung (tahun 540-606) kepausan memimpin di dalam pembakuan ibadah dan liturgi. Gregorius melepaskan kekayaan besar dan melayani umat dengan rendah hati. Ia menyebut dirinya ”hamba dari para hamba Allah.”

Di bawah kepemimpinannya, kekuasaan dan wilayah gereja makin meluas. Ketika suku Lombard menyerang Roma, Gregoriuslah yang mengerahkan bala tentara untuk mempertahankan Roma. Sekali lagi, kekuasaan rohani dan politik bersatu di dalam satu orang.

Gregorius paling dikenal karena nyanyiannya yang membakukan ibadah dalam gereja-gereja. Ia juga mendorong kecenderungan yang sedang berkembang untuk menganggap Misa sebagai pengorbanan tubuh dan darah Kristus. Pada zamannya, ia dicintai karena khotbah-khotbahnya yang relevan dan tafsirannya tentang kitab Ayub. Buku pedomannya tentang teologi pastoral yang berjudul The Book of Pastoral Rule mempunyai dampak yang besar di seluruh kerajaan.

Ia percaya pada api penyucian sebagai suatu tempat dimana jiwa-jiwa disucikan sebelum mereka masuk sorga. Teologinya tidak hanya diperoleh dari pengajaran Perjanjian baru dan para bapa gereja, tetapi juga dari takhyul yang sedang berlaku berkaitan dengan peninggalan dan doa kepada orang-orang suci. Ia percaya bahwa Misa bermanfaat baik bagi orang mati maupun bagi orang hidup. Ia mengajarkan bahwa keselamatan diperoleh baik dengan iman maupun dengan perbuatan baik.

Pada umumnya, Gregorius dinggap sebagai paus yang pertama dari abad pertengahan. Karyanya menetukan arah gereja secara teologis, litugis, dan politis untuk tahun-tahun mendatang.

Bertahun-tahun kemudian, pada tahun 799, Paus Leo III sedang memimpin suatu prosesi melaui jalan-jalan di Roma ketika ia ditarik dari kudanya dan dibawa ke suatu biara Yunani. Para pendukung Paus yang sebelumnya menuduh dia telah melakukan sumpah palsu dan perzinaan. Akan tetapi, pendukungnya sendiri menyelamatkannya dan membawanya kembali ke Basilika Santo Petrus. Leo III menyadari bahwa apabila ia hendak memerintah, ia harus mengisi suatu kekosongan politik dengan memahkotai seorang kaisar yang dapat memberikannya perlindungan. Maka ia memohon bantuan kepada raja dari Frank, Karel Agung.

Pada hari Natal tahun 800, Karel datang ke Basilika Santo Petrus untuk beribadah. Pada kesempatan itu paus mendekati Karel dengan sebuah mahkota di tangannya dan menaruh di kepalanya. Akhirnya, Kerajaan Roma yang sedang hancur akan dipersatukan kembali. Fakta bahwa kaisar telah dimahkotai oleh paus menunjukkan betapa kuatnya kekuasaan paus.
Karel Agung mempunyai kekuatan militer untuk menghancurkan musuh-musuhnya. Ia melihat kekristenan menjadi pengaruh keagamaan yang dominan di dalam kerajaan. Ia percaya bahwa jiwa manusia cocok dengan gereja dan tubuh manusia cocok dengan negara. Demikianlah, gereja memerintah atas jiwa manusia dan negara atas tubuh mereka. Paus dan kaisar harus saling mendukung dalam menjalankan tugas-tugas yang diberikan Allah kepada mereka sementara mereka memperluas kekuasaannya bagi kebaikan umat manusia.

Karel Agung yang memegang pimpinan. Ia memperluas kekristenan di seluruh Kerajaan Romawi dan memulihkan hukum dan tata tertib. Ia memimpin kira-kira 50 kampanye untuk mengakhiri anarki di dalam kerajaannya dan memperluas perbatasannya. Ia juga memajukan kebudayaan dan pendidikan.


Perselisihan Antara Paus dan Kaisar
Adakalanya paus gagal dalam usahanya untuk mengendalikan pemimpin-pemimpin politik. Pada abad XI timbul perdebatan mengenai apakah para penguasa politik mempunyai kuasa untuk mengangkat pejabat-pejabat gereja. Di Jerman para bangsawan dan raja feodal telah mencengkeram cukup banyak kekuasaan sehingga mengendalikan gereja.
Ketika Paus Gregorius VII mulai berkuasa pada tahun 1073, ia bersikeras bahwa kekuasaan rohani lebih tinggi daripada para pemimpin politik. Ia mengancam akan mengucilkan setiap orang yang mendapatkan wewenangnya untuk melayani di dalam gereja dari para penguasa sipil. Hal ini mengakibatkan timbulnya pertikaian yang tajam antara dia dan kaisar, Henry IV. Paus menuduh Raja Henry melakukan simoni (menjualbelikan jabatan gereja). Jadi, Henry diperintahkan untuk menghadap paus. Sebaliknya Henry mengadakan suatu sinode untuk menyatakan bahwa paus tidak layak untuk memangku jabatannya. Sebagai pembalasan, Paus Gregorius mengucilkan Henry dan membebaskan seluruh rakyatnya dari kesetiaannya kepada kaisar.

Henry memutuskan bahwa sebaiknya ia mengubah sikapnya agar tidak kehilangan kekuasaannya; jadi ia datang menghadap Paus pada bulan Januari 1077 di Canossa, sebuah istana di pegunungan Italia. Kaisar mengenakan pakaian pertobatan, namun dipaksa untuk berdiri selama 3 hari di dalam salju dengan bertelanjang kaki, sambil memohon pengampunan. Akhirnya, kami mengutip perkataan Gregorius, ”Kami melepaskan belenggu anatema (kutuk) dan pada akhirnya menerimanya ke dalam pangkuan Gereja Bunda Kudus.” Sekali lagi keunggulan paus diteguhkan. Kemudian Henry memperteguh kekuatannya dan kembali, kali ini ia menawan Gregorius.

Sementara abad demi abad berlalu, kekuasaan paus sebagian besar semakin bertambah, diperkuat karena kepemimpinan politik yang lemah di Eropa. Kemuliaan kaisar pada masa silam digantikan oleh kepemimpinan agama para paus. Mereka tidak hanya diakui sebagai kepala para raja dan pangeran. Orang percaya bahwa gereja memiliki 2 buah pedang, Firman Tuhan dan pedang baja. Kekuasaan politik yang bersifat sementara akan digunakan untuk memenuhi kehendak gereja yang Am. Dengan demikian negara akan membantu dalam penyelamatan manusia. Pemikiran bahwa kesatuan politik dapat seiring dengan anekaragam agama sama sekali belum timbul dalam pikiran para penguasa abad pertengahan.

Perang Salib
Pada tahun 1095, Paus Urbanus II memproklamasikan perang salib yang pertama untuk memerdekakan Tanah Suci yang diduduki oleh orang asing. Ia mendorong orang-orang Kristen untuk mengangkat salib dan memperoleh baik berkat-berkat rohani maupun wilayah bagi diri mereka sendiri. Ia berjanji bahwa barangsiapa yang pergi akan diberikan pengampunan untuk semua dosa mereka pada masa lalu. Jika seorang tak dapat pergi, ia dapat memberikan sumbangan keuangan dan mengutus seorang pengganti. Ia juga akan diampuni dosa-dosanya pada masa lalu.

Lebih dari 5000 orang mengadakan perjalanan itu dan merebut Kota Suci Yerusalem. Seorang saksi, yang merangkum semua itu dari perspektif teologis, menulis, ”Sungguh ini merupakan hukuman yang adil dan baik sekali dari Allah bahwa tempat ini harus dipenuhi dengan darah orang-orang yang tiak percaya, karena kota ini telah demikian lama menderita oleh karena perbuatan mereka yang menghujat Allah.” Tak pelak lagi, pauslah dan bukan kaisar, yang menyatukan kerajaan untuk melawan ancaman kekuatan dari orang-orang yang menjajahnya.

Paus Innocentius III (1198-1216) adalah seorang administrator yang cakap. Ia mengatakan bahwa vikaris Kristus lebih rendah daripada Allah, namun melebihi manusia. Ia memberi tahu para pangeran Eropa bahwa kepausan itu seperti matahari, sedangkan para raja seperti bulan, yang memperoleh kekuatannya dari matahari. Dibawah kepemimpinannya kekuasaan paus mencapai puncaknya. Paus sanggup menjaga agar para pangeran tetap patuh kepadanya dengan ancaman pengucilan. Dalam hal demikian orang yang dikucilkan secara langsung dilepaskan dari semua jabatan dan bahkan tidak akan dimakamkan secara Kristen. Apabila raja dari suatu negara tidak menaati Paus, seluruh wilayahnya akan ditempatkan di bawah interdict (larangan). Semua kebaktian umum di wilayah itu dihentikan kecuali baptisan dan perminyakan orang yang mau meninggal. Jadi, kekuasaan politik harus taat, kalau tidak akan dipecat dari kekuasaan.

Kekacauan di dalam Kepausan
Bagaimanapun juga, kekuasaan paus menghadapi perlawanan keras pada abad ke-14. Paus Bonifacius menentang Edward I dari Inggris dan Philip dari Prancis karena mereka mulai mengenakan pajak kepada para pejabat gereja di wilayahnya. Bonifacius mengeluarkan unamsanctam, pernyataan tegas yang paling ekstrem dari kekuasaan paus. Ia menyatakan bahwa setiap manusia harus tunduk kepada paus dari Roma. Philip menanggapi dengan mencoba menghadapkan paus ke pengadilan di Prancis dan menyuruh orang-orangnya menangkap paus ketika ia sedang berlibur di sebuah tempat kediaman musim panas. Paus dipenjarakan selama beberapa hari dan beberapa minggu kemudian mati karena merasa terhina.

Tak pelak lagi, Philip mendapat kemenangan. Dan ketika pengganti Bonifacius mati setelah pemerintahan yang singkat, maka pada tahun 1305 para kardinal memilih seorang Prancis, Klemen V, sebagai paus. Tetapi ia tidak pernah datang ke Roma, karena lebih suka memerintah dari Avignon di Prancis Selatan. Dengan demikian mulailah suatu periode 72 tahun dimana 6 paus, semuanya berkebangsaan Prancis, secara berturut-turut memerintah dari Prancis dan bukannya dari Kota yang dianggap Kekal. Para sejarawan menjuluki masa ini ”Tawanan di Babel” dari gereja.

Perpindahan ini menimbulkan kemarahan besar, terutama di Jerman dan Italia. Negara-negara ini menolak untuk memberi sokongan kepada kepausan dan karena itu paus-paus Prancis itu mengumpulkan uang dengan meminta bayaran dan pajak untuk memperoleh hak-hak istimewa gerejani. Bilamana seorang uskup diangkat, upahnya pada tahun pertama harus diberikan kepada paus. Surat-surat penghapusan siksa dijual. Surat-surat ini menganugerahkan keuntungan-keuntungan rohani yang mencakup dari pengampunan dosa sampai perlindungan dalam perang.

Akhirnya, ketika kepausan pindah kembali ke Roma pada tahun 1377, para kardinal, yang kebanyakannya orang Prancis, mengalah kepada tekanan dan memilih seorang paus berkebangsaan Italia, Urbannus VI. Akan tetapi, kurang dari 6 bulan kemudian, mereka menyesali keputusan mereka karena Urbanus VI meremehkan mereka. Mereka membalas dengan mengatakan bahwa mereka terpaksa memilih dia karena tekanan Roma. Dengan demikian mereka menyatakan bahwa tindakan mereka sendiri tidak sah. Mereka memilih seorang paus baru, Klemens VII. Ia memutuskan bahwa ia akan pindah ke Avignon.

Dalam pada itu, paus yang telah diturunkan dari takhtanya, menanggapi dengan mengangkat suatu dewan kardinal yang baru dan melanjutkan pemerintahannya dari Roma. Inilah awal dari apa yang dalam sejarah dikenal sebagai ”Skisma besar”, yang bertahan selama 39 tahun. 2 Paus memerintah secara serempak, masing-masing menyatakan berhak untuk mengucilkan yang lain. Umat harus memilih siapa yang akan mereka anut. Italia utara, sebagian besar Jerman, Skandinavia, dan Inggris mengikuti paus di Roma; Prancis, Spanyol, Skotlandia dan Italia Selatan setia kepada paus di Avignon.

Pada tahun 1409, sekelompok kardinal dari kedua golongan yang bersaingan ini berkumpul untuk menyelesaikan pertentangan itu. Mereka memberhentikan kedua paus yang ada dan mengangkat seorang paus yang baru, Aleksander V. Akan tetapi, kedua paus yang lain itu tidak mau menerima keputusan konsili tersebut. Pada waktu itu gereja mempunyai 3 Paus, yang masing-masing menyatakan menjadi pengganti Petrus yang sah, serta menyebut saingannya itu Antikristus. Masing-masing menjual surat penghapusan siksa untuk mendapatkan cukup uang untuk memerangi saingannya.

Pada tahun 1414, kaisar mengadakan suatu persidangan di kota Kontans. Para utusan hadir berdasarkan perwakilan geografis dan mereka mempunyai kekuasaan cukup untuk menyuruh salah seorang dari ketiga paus itu mengundurkan diri dan memberhentikan keuda paus yang lain. Mereka memilih seorang paus baru, Martin V, dan akhirnya kedua paus itu menerima realitas keadaan itu dan melepaskan kekuasaan mereka sebagai paus.

Perpecahan telah berakhir, tetapi suatu masalah baru timbul, Paus Martin V tidak mengakui semua tindakan konsili yang telah memilih dia kecuali satu—yaitu keputusan mereka untuk memilih dia sebagai paus. Alasannya: dengan memilih seorang paus baru dan memberhentikan yang lain, sebenarnya Konsili di Kontans itu menegaskan bahwa sebuah konsili mempunyai kekuasaan atas Paus. Hal ini tidak dapat dibiarkan oleh Paus yang baru itu.

Jadi, sekali lagi paus dianggap yang tertinggi. Seperti yang dikatakan oleh Shelley, sekali lagi paus tidak dapat memutuskan apakah ia pengganti Petrus atau pengganti Kaisar.

Paus Tidak Mungkin Bersalah
Sementara pengaruh kepausan bertambah besar, demikian pula pengabdian yang diharapkan kepada ajaran-ajarannya. Sebagaimana Petrus adalah yang pertama di antara para rasul, demikianlah uskup Roma menjadi yang pertama di antara para uskup. Pada tahun 1647, Paus Innocentius X menolak gagasan bahwa Petrus dan Paulus bersama-sama menjadi kepala gereja sebagai suatu ajaran sesat. Kenyataan bahwa Paulus “berterang-terangan menentang“ Petrus (Gal 2:11) tidak meniadakan posisi Petrus yang tertinggi; bahkan, Roma menganggap bahwa Paulus menegur Petrus justru karena kekuasaan Petrus yang tinggi di dalam gereja mengahruskan ia ditegur.

Pernyataan bahwa Paus tidak mungkin bersalah diulang pada Konsili Vatikan yang pertama tahun 1870. ditandaskan bahwa “jikalau seorang menyangkal bahwa...Petrus yang kudus mempunyai pengganti-pengganti yang abadi dalam Keunggulannya atas gereja yang Am, biarlah ia terkutuk.“2 Selanjutnya konsili ini menegaskan bahwa paus mempunyai yuridiksi penuh dan tertinggi atas seluruh gereja, bukan saja dalam iman dan moral, tetapi juga dalam disiplin gereja dan dalam pemerintahan gereja.

Khususnya, ini berarti bahwa paus lebih berkuasa daripada semua uskup bersama-sama. Kami mengutip perkataan Ludwig Ott, seorang teolog Roma Katolik, yang mengatakan bahwa paus memiliki “kekuasaan tertinggi di dalam Gereja, artinya, tak ada yuridiksi yang memiliki kekuasaan yang lebih besar atau sama besar. Kekuasaan paus melebihi kekuasaan tiap uskup tersendiri dan juga semua uskup lain bersama-sama. Oleh karena itu, para uskup secara kolektif (terlepas dari paus), tidak sederajat atau tidak lebih tinggi daipada paus.“ Kami mengutip Ott kembali, “Jadi, paus dapat memutuskan secara mandiri setiap persoalan yang berada di bawah ruang lingkup yuridiksi gereja tanpa persetujuan uskup-uskup yang lain atau bagian-bagian lain dari gereja.“3

Doktrin ini mendapat perlawanan keras dari dalam gereja sendiri. Seorang teolog terkemuka, Dollinger, yang telah mengajar teologi selama 47 tahun, dikucilkan pada tahun 1871 karena perlawanannya terhadap dogma ini. Secara tepat ia mengomentari bahwa kepercayaan seperti itu meniadakan kebutuhanakan konsili dan uskup, karena mereka tak dapat menolak keputusan paus. Ia menulis mengenai para uskup,“Jika mereka ingin mengukuhkan keputusan paus...ini bagaikan membawa lentera-lentera untuk membantu matahari pada tengah hari.“ Demikianlah, dengan memberikan yuridiksi penuh dan karunia tak mungkin bersalah kepada paus, konsili telah menutup kemungkinan untuk menilai pengajaran-pengajarannya menurut Alkitab. Bila Paus berbicara ex cathedra, ia dapat mengganti Alkitab. Semua protes dibungkamkan.

Meskipun tidak ada bukti sejarah langsung bahwa Petrus pernah berada di Roma, gereja percaya bahwa ia mati di sana dan bahwa Basilika Santo Petrus yang asli telah dibangun di atas makamnya.

Bagaimana tentang keunggulan Petrus, pemindahan wewenangnya kepada uskup Roma, dan ajaran bahwa paus tak mungkin bersalah? Apakah ini merupakan ajaran Perjanjian Baru? Ataukah ada alasan-alasan lain yang absah untuk mempercayai doktrin-doktrin ini?

Kepausan dan Perjanjian Baru
Ketika Kristus berkata kepada Petrus,“Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku,“ jelaslah Ia bermaksud mengemukakan suatu permainan kata—kata Petrus berarti batu. Tetapi kita harus memperhatikan bahwa ada dua kata Yunani yang berbeda yang digunakan di sini.“Engkau adalah Petrus [Petros] dan di atas batu karang [petra] ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku.“ Karena petra adalah sebongkah batu, kemungkinan Kristus sedang memikirkan dirinya sendiri. Di bagian lain dari Perjanjian Baru, Ia disebut sebagai dasar gereja.

Akan tetapi, bagi kepentingan diskusi ini marilah kita mengatakan bahwa memang Petruslah yang Ia maksudkan. Para teolog Katolik Roma akan menguatkan bahwa gereja didirikan di atas dasar Kristus dan Petrus. Tetapi meskipun hal ini diterima selaku benar, 3 pertanyaan muncul. Pertama, adakah bukti dalam Alkitab bahwa wewenang Petrus dapat dipindahkan? Kedua, adakah sesuatu yang mengemukakan bahwa wewenang ini telah dipindahkan kepada uskup-uskup Roma? Dan ketiga, adakah sesuatu dalam Perjanjian Baru yang menunjukkan bahwa Petrus tak mungkin bersalah dalam pernyataan-pernyataannya dan bahwa karunia itu juga telah dilimpahkan pada uskup-uskup Roma?

Ludwig Ott, teolog Katolik sekali lagi berada dalam posisi yang tidak menguntungkan karena harus mengakui bahwa keunggulan Petrus tidak terungkap dengan jelas di dalam perkataan Kristus, tetapi bahwa kesimpulan itu dapat diambil dari sifat dan tujuan kepausan. Sedangkan untuk kepercayaan bahwa wewenang Petrus dapat dipindahkan atau bahwa itu telah dilimpahkan kepada para uskup Roma, ia tak mengutip ayat Alkitab sama sekali.

Dan bagaimana tentang ketidakmungkinan berbuat salah? Ott mengakui bahwa para bapak gereja tidak mengatakan bahwa paus tidak mungkin bersalah namun hal itu tersirat dalam beberapa pernyataan mereka. Sedangkan sebagai bukti dari Kitab Suci, ia mengacu kepada fakta bahwa Kristus telah memberikan wewenang kepada Petrus untuk mengikat dan melepaskan (Mat 16:18-20). Bagaimanapun juga, kita harus memperhatikan bahwa hal ini tidak hanya diberikan kepada Petrus, melainkan kepada semua rasul dalam mat 18:18 dan Yoh 20:23. Petrus diberikan Kunci Kerajaan Sorga karena ia dipilih untuk memberitakan Injil kepada orang Yahudi dan orang bukan Yahudi (Kis 2, 10, 15). Namun, ayat itu tidak menyebutkan bahwa hak istimewa ini dapat dipindahkan/diteruskan kepada orang lain.

Bahwa Petrus dapat berbuat salah cukup jelas dalam Surat Galatia, di mana Paulus berkata bahwa ia menegur Petrus di depan umum karena mencemarkan kemurnian Injil. Di bawah tekanan beberapa orang Yahudi, Petrus kembali kepada kebiasaan makan dari Perjanjian Lama. Paulus mengnggap hal ini tidak sesuai dengan Injil yang menolak perbedaan-perbedaan seperti itu dan menawarkan keselamatan baik bagi orang bukan Yahudi maupun orang Yahudi. Paulus menulis, “Aku berterang-terang menentangnya, sebab ia salah“ (Galatia 2:11).

Di dalam Perjanjian Baru posisi kepemimpinan yang tertinggi adalah penatua atau penilik jemaat (uskup/bishop). Kata-kata ini dipertukartempatkan di banyak bagian Alkitab. Tetapi tak disebut sama sekali bahwa seorang uskup menjalankan wewenang atas gereja-gereja lain, apalagi bahwa seseorang menuntut kekuasaan atas seluruh kekristenan. Para penatua (uskup) dari tiap gereja lokal hanya bertanggung jawab atas jemaatnya sendiri. Bahaya dari melimpahkan otoritas yang berlebihan kepada satu orang adalah jika ia melakukan kesalahan, gereja-gereja lain turut berbuat salah bersamanya.

Kendati suatu konsili dapat diadakan, tetapi konsili itu tidak mengikat gereja-gereja lain. Misalnya, konsili gereja yang pertama bersidang di Yerusalem dan dipimpin oleh Yakobus (bukan Petrus, meskipun ia hadir); namun kesimpulan-kesimpulannya dipersembahkan kepada gereja-gereja lain sebagai sesuatu yang “berkenan“ bukan sebagai sesuatu yang harus diikuti tanpa mempedulikan apakah gereja-gereja yang lain sependapat atau tidak. Yang jelas ialah bahwa kesimpulan setiap konsili haruslah diuji dengan Kitab Suci sebelum suatu keputusan diambil untuk mengikutinya (Kis 15:22-29).

Dapatkah kesatuan terpelihara tanpa adanya seseorang sebagai kepala? Umat Kristen mengatakan bahwa Kristus adalah Satu-satunya Kepala gereja dan kesatuan harus didasarkan pada doktrin-doktrin Kitab Suci saja.

Tulisan-tulisan Perjanjian Baru yang berbicara dengan paling jelas tentang kepemimpinan Kristus dan wewenang yang sejajar dari semua orang percaya di hadapan Allah telah ditulis oleh Petrus. Ia memperkenalkan Kristus sebagai batu penjuru (I Pet 2:6). Dengan kejelasan yang sama ia mengajarkan bahwa setiap orang percaya adalah imam di hadapan Allah (I Pet 2:4-7). Sedangkan untuk jabatan penatua atau uskup, ia menasihatkan supaya mereka “Gembalakanlah kawanan domba Allah... jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu“ (I Pet 5:2-3). Ia tidak mengharapkan bahwa seorang penatua atau uskup akan memperluas wewenangnya atas satu gereja, apalagi atas semua gereja. Hanya Kristus yang mempunyai wewenang seperti itu. Tuntutan paus harus dinilai dengan mengingat pernyataan Petrus sendiri.

Catatan kaki:
1. Bruce Shelley, Church History in Plain Language (Waco, Texas: Word Books, 1982), 158
2. Ludwig Ott, Fundamentals of Catholic Dogma (St. Louis: B. Herder Books Co., 1954), 282
3. Ibid., 285.

Sumber Pustaka: Erwin W. Lutzer, Teologi Kontemporer, Malang: Gandum Mas, cetakan ke-3, 2005, page 49-63. (www.gandummas.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar