Jumat, Desember 24, 2010

BUKU DAN PENULISNYA

Pada 6 Nopember 2010 penulis diundang untuk membedah buku ‘Alkitab Edisi Studi’ dalam acara Christian Books & Gifts Fair 2010. Pagi itu disusul pembicara lain yang akan membedah buku karya Martin Harun, profesor STF Driyarkara. Sebelum acara dimulai romo Harun minta izin untuk keluar mengantar serombongan umat Katolik yang meminta dibimbing dalam mencari buku-buku. Penulis bertanya-tanya ‘mengapa umat sampai minta bimbingan seorang romo?

Ternyata tidak terlalu lama setelah mulai, romo Harun dan rombongan tadi sudah kembali mengikuti bedah buku. Ini dapat dimaklumi bahwa menghadapi begitu banyak buku sekalipun dijual oleh toko-toko buku berlabel ‘Kristen’ oleh lebih dari 20 penerbit itu, memang seseorang tidak bisa harus memilih diantara spektrum buku yang begitu luas antara yang meneguhkan iman Alkitabiah dan yang memutar-balik ayat-ayat Alkitab sampai yang menebar keragu-raguan.



Panggilan Iman
Ketika merasakan panggilan Tuhan 50 tahun silam, penulis tergerak mendaftar ke sekolah teologi konservatif (karena terlambat tahun pertama dijalani di Batu dan disusul 3 tahun di Malang). Tidak ada orang yang mendorong kemana harus belajar, mungkin ketika itu melihat contoh beberapa hamba Tuhan yang berbeda-beda, ada misionary yang rendah hati dan pendeta yang mengajak eksposisi Alkitab firman Allah, namun ada juga pendeta yang bertanya ‘mengapa Alkitab buku biasa dicorat-coret warna-warni?’ bahkan penulis yang kalau itu menjabat majelis di gereja arus utama yang besar didatangi pendeta dan majelis yang menganjurkan agar mendaftar saja ke sekolah teologi di Jakarta yang ekumenis.

Setelah 40 tahun sejak masuk sekolah teologi (2 konservatif dan 1 ekumenis), baru disadari kebenaran ucapan pujangga bahwa ‘You Are What You Read’ (Ucapan mana kalau dicari di Google menghasilkan 2.950.000.000 entri). Penulis teringat ketika tahun pertama masuk ke sekolah teologi di Batu, seorang dosen misionari dari Jerman bersaksi bahwa sebagai seorang sarjana dan dosen filsafat di negaranya, ia kemudian bertobat melalui pelayanan pendeta dan masuk sekolah misi belajar teologi dan rela meninggalkan kenikmatan Jerman menuju desa sunyi di Batu. Ia bersaksi bahwa ketika menjadi misionari ia membakar buku-buku filsafat yang sudah tidak diperlukannya karena buku-buku itu dinilainya telah menyesatkan jalan hidupnya sebelumnya (dalam hati penulis bergumam ‘ngapain dibakar berikan saya saja.’)

Seusai lulus dan setelah 5 tahun melayani kalangan mahasiswa, terasa panggilan Tuhan agar studi lanjut, ini lebih terdorong karena seorang dosen konservatif yang doktor lulusan Princeton menawari beasiswa dari alma maternya. Maka jadilah diputuskan ke sekolah teologi ekumenis itu, namun sebelum berangkat ada tiga tokoh memberi nasehat, Stanley Heath mengingatkan bahwa sekolah ini liberal, Stephen Tong menganjurkan masuk Westminster saja, namun Dorothy Marx mendorong ‘pergilah kesana agar belajar posisi liberalisme. Saya tahu kamu sudah punya dasar konservatifisme yang kuat.’ Memang seminari Princeton terkenal kontroversial, di tahun 1927 mengalami kemelut ketika dimasuki pengajar yang mengajar ‘Kritik Historis’ (yang masuk ke Amerika dari Eropah melalui Union Seminary di kota New York). Princeton Seminary pecah, sebagian besar dosen konservatif mendirikan Westminster Seminary namun sebagian lain yang konservatif tetap tinggal, sehingga kedua kubu dapat dijumpai disitu sampai kini walau tidak seimbang.

Benar juga nasehat para pembimbing tadi bahwa faktor kesiapan iman dan teologi pendidikan perlu dipertimbangkan, sebab di tahun 1981 itu setidaknya ada 2 mahasiswa konservatif yang masuk kesana termasuk Barth Ehrman, Ehrman kemudian mengaku sebagai agnostik (tidak peduli ada tidaknya Tuhan) dan menulis ‘Misquoting Jesus’ (diterjemahkan Gramedia) yang isinya menyimpulkan Alkitab itu terjemahan yang banyak salah, sedang satunya menulis kesaksian ini yang disana mengikuti persekutuan mahasiswa injili dan dekat dengan beberapa dosen konservatif disamping menggali ilmu banyak dosen liberal.

You Are What You Read
Di Princeton penulis belajar segala faham dan membaca banyak buku karya liberalisme (sejak kecil senang membaca buku karya pujangga baru mau pun pujangga Barat, dan mendapat lencana ‘pembaca’ ketika remaja di kepanduan). Ketika pulang membawa 600 buku termasuk ‘Why I’m Not A Christian’ (Russel), demitologisasinya Bultmann, evolusi Darwin, Sosiolog Max Weber, Karl Marx, Solzenitsin dan liberation sociology, anthropolog Durkheim & Marcia Eliade, dan lainnya. Memang benar ucapan ‘You Are What You Read.’ Salah satu dosen yang teman baik Bonhoeffer mengajarkan tokoh ini dan menyuruh membaca puluhan buku karya Boenhoffer maupun yang berkaitan dan harus membuat paper setiap usai kuliah. Bonhoeffer kontroversial karena terbilang konservatif yang diungkap dalam bukunya namun setelah di penjara karena terlibat konspirasi membunuh Hitler, ia menulis ‘Letters from Prison’ yang mengungkapkan kerisauan hatinya menjadi ‘secular christian’ lalu mencetuskan ‘religionless christianity’ kekristenan tanpa supranatural, dan ucapannya yang tekenal berbunyi ‘world comes of age’ (dunia telah dewasa).

Banyak orang berfikir bahwa orang dewasa harus terbuka akan semua buku tanpa memilah-milah, karena bukankah setiap buku bagaimana sesatpun ada juga baiknya?,’ namun ‘William Barclay’ penulis banyak buku tafsiran mengatakan ‘tapi sayang manusia tidak kunjung dewasa!’ Memang kita tidak perlu menganut ‘Pengkotbah’ yang mengatakan ‘membaca dan belajar banyak buku itu sia-sia’ (12:12), namun ‘Ibrani’ mencatat bahwa ‘makanan keras hanya untuk orang dewasa’ (5:14), tapi jangan lupa ayat 14b melengkapinya: ‘yaitu yang sudah terlatih membedakan yang baik dari yang jahat.’ Benar juga, sebab kalau bayi kita beri makanan keras tentu bisa diare (5:13).

Mengapa demikian? Setidaknya ada berbagai macam buku, ada buku bersifat pernyataan ‘obyektif’ dimana terdapat perimbangan informasi dari berbagai pihak, namun jarang ada buku netral paling tidak ia membawa ‘pesan’ ideologi penulisnya, apalagi kalau menyinggung perilaku manusia seperti agama, biologi, atau sosiologi kita harus menghadapinya dengan hati-hati, dan bahkan ada buku yang bersifat ‘propaganda’ bahkan ‘provokatif,’ jadi diperlukan filter baik/buruk oleh pembaca yang dewasa. Beberapa tokoh menunjukkan besar pengaruh apa yang mereka baca dan alami yang membentuk kariernya kemudian.

Carl Jung adalah anak misionary yang melayani di India, waktu kecil ibunya sering membacakan cerita dewa-dewi India, ketika ia belajar psikologi ia banyak tertarik prikologi mistik timur bahkan kemudian membuat desertasi mengenai ‘Dunia Okult,’ kita tahu bahwa buku-buku Jung banyak mengungkapkan ideologi ‘mistik timur.’ Anton Lavey sejak kecil banyak membaca komik penuh kekerasan dan senang kanibalisme, waktu dewasa ia menjadi pawang singa di sirkus, ujung-ujungnya ia mendirikan ‘The Church of Satan’ dan menulis ‘The Bible of Satan.’ Buku ini isinya berlawanan dengan ‘Bible’ dimana a.l. soal ‘membunuh dianggap pahala karena membebaskan manusia dari sakit penyakit dan penderitaan.’ Satanic Bible ini juga membawa korban yang membacanya.

Penulis sudah lama kenal seorang psikiater yang belajar psikiatri di Australia dan sudah melayani rumah sakit jiwa disana selama 17 tahun, ketika ke Indo ia bersaksi bahwa selama belajar psikiatri ia dipengaruhi buku-buku yang menganggap setan itu tidak ada, dan ketika ada pasien yang gila yang cenderung bunuh diri dan 5 ahli rumah sakit itu tidak berhasil mengatasinya, keluarga pasien membawa seorang pendeta dan mendoakan pasien itu ‘Dalam Nama Yesus’ dan tiba-tiba pasien itu mengeluarkan suara kutukan yang bukan suaranya dan kemudian menggelepar dan pingsan. Waktu sadar, ia tidak tahu apa yang menimpanya, ia kembali normal seperti biasa. Kasus ini membuat si psikiater terbuka hatinya dan mempercayai dunia roh.

Sebagai konsultan pembangunan perkotaan praktek dan mempelajari ‘Urban Sociology,’ pada awal 1990-an penulis diundang membawakan makalah pada Kongres Metropolis Sedunia di Melbourne, penulis bertemu lagi dengan psikiater itu yang tinggal disana, suatu malam ia menilpon agar membuka acara TV di channel tertentu, ternyata disana diputar selama 90 menit liputan debat tentang ‘masuknya satanic worship’ di Australia.’ Ada dua contoh menarik dalam tayangan itu tentang dua remaja yang sekarang dipenjara, yang satu menembak mati ayah dan ibunya dan lainnya menembak mati dua temannya. Ketika rumah keduanya digeledah, polisi kaget karena dikeduanya ditemukan buku ‘Satanic Bible’ dan banyak CD musik hard-rock ‘Judas Priest’ yang lirik-liriknya mendorong sugesti bunuh-membunuh.

Kasus ini menunjukkan bahwa ada buku yang mendorong kriminalitas dan okult, buku-buku ‘komunisme’ cenderung merupakan ‘agitasi melawan kapitalisme,’ buku-buku ‘death of god theology’ mendorong pembacanya menjauhi Tuhan yang sudah mati itu, demikian juga nafas buku-buku karya Jesus Seminar, apalagi motivasi pendiriannya sudah bertujuan menggugurkan ‘Alkitab sebagai Firman Allah dan bahwa Yesus bukan Tuhan dan tidak pernah bangkit setelah mati apalagi naik ke sorga.’ Yang menjadi masalah buku-buku demikianlah yang laku keras dan dijual di bandara dalam dan luar negeri. Buku-buku imbangannya jangan harap dijual disitu karena dianggap tidak menguntungkan. Buku-buku yang mempopulerkan ‘Maria Magdalena sebagai isteri Yesus’ seperti karya Dan Brown (The Da Vinci Code) dan Barbara Thiering (Jesus The Man) mudah didapat di bandara, bahkan penulis membeli buku ‘The God Delusion’ karya Richard Dawkins disana, tapi jangan harap menemukan buku ‘The Dawkins Delusion.’

Pengaruh buku terhadap masyarakat luas bisa dibaca dalam buku ’Books That Changed The World’ dan lama sesudah itu terbit buku berjudul sama tapi tidak hanya membahas 10 buku tapi 50 buku berpengaruh. Yang menarik membaca kedua buku itu ‘Bible’ disebut salah satu buku yang berpengaruh bahkan dalam buku kedua pada covernya ada foto deretan buku-buku dirak dimulai buku “Bible.’ Kalau kita menelusuri Amazon.com mudah menemukan buku ‘Why I’m Not A Christian’ (Bertrand Russel) tapi buku imbangannya ‘Why I’m A Christian’ (Chesterton) tidak ada mungkin kurang laku sehingga tidak dicetak ulang, untung buku ‘Why I Am A Christian’ yang lebih baru karya John Stott ada.

Akhirnya . . .
Penulis sampai sekarang masih suka dimintai bimbingan oleh makasiswa yang membuat paper, skripsi atau thesis, maka karena dari pengalaman diatas diketahui bagaimana pengaruh buku itu terhadap pembacanya, dan karena tidak semua buku merupakan makanan yang baik dan benar dan tidak semua pembaca cukup dewasa dan terlatih membedakan yang baik dari yang jahat, maka bagi under-graduates nasehatnya adalah banyak membaca buku kalangan konservatif yang meneguhkan iman. Bagi graduates mereka dinasehati juga membaca buku-buku kalangan liberal, dan bagi post graduates mereka dianjurkan membaca buku-buku radikal para atheist dan agnostik bahkan yang bersifat menolak dan menjelek-jelekan Alkitab dan Iman Kristen secara terus terang. Kalau seseorang lulus SMU kemudian masuk ke sekolah teologi yang tidak mempelajari Alkitab melainkan buku-buku teologi tentang Alkitab yang cenderung sinis tentu hasilnya bisa diraba.

Penulis pernah menghadapi permintaan konseling dari seorang mahasiswa sekolah teologi ekumenis yang frustrasi karena kebanyakan dosennya membuatnya ragu-ragu karena umumnya mereka mengajarkan buku-buku ‘tentang Alkitab’ dan bukan mengajarkan ‘Isi Alkitab.’ Penulis dapat mengaminkan perasaan itu karena ketika di Princeton mengikuti kuliah perdana seorang dosen jenius yang mengajarkan ‘Comparative Religion’ ia memulai kuliahnya dengan bertanya ‘Mengapa kamu masuk ke sini?’ Seorang mahasiswa menjawab ‘God’s Calling,’ ini langsung dijawabnya: “Don’t say anything about God, it doesn’t mean anything to me.” Wow!

Lain lagi sikap Agustinus di Afrika Utara yang mendengar ucapan populer di jamannya ‘Semua Jalan Ke Roma,’ ia mengikuti ucapan populer itu dan berkelana ke Roma. Di sana ia terlibat pergaulan bebas, bermabuk-mabukkan dan judi, dan promiskuitas sampai punya anak haram. Suatu ketika ia mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan dan setelah bertobat ia berucap: “Semua jalan ke Roma, benar! Tapi Roma kota kebinasaan.” Kemudian ia menjadi Uskup Hippo.

Peng-Amsal berseru: “Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut” (14:12), dan firman Yesus: “Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya" (Matius 7:13, 14), karena "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6).

A m i n !
Salam kasih dari YABINA ministry (www.yabina.org)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar