Membangun Sikap Netral,
Awal dan Perkembangan Injili Baru
Pada tahun 1920-an dan 1930-an, garis pertempuran ditarik dengan jelas antara fundamentalisme dan modernisme. Kontroversi yang hebat meletus di dalam berbagai denominasi. Perjuangan itu berat dan kadang-kadang terasa pahit. Masa depan gereja, sekolah theologi, seminari, dan badan-badan misi dipertaruhkan. Orang-orang yang meyakini Alkitab mencurahkan hidup dan sumber-daya mereka ke dalam entitas-entitas tersebut dan tidak rela mereka jatuh ke tangan musuh-musuh kebenaran
Namun sementara pertempuran berlangsung, beberapa kalangan jatuh keletihan. Tidak semuanya senang menjadi 'fundamentalis yang bertempur,' dan kontroversi terasa terlalu panjang bagi beberapa pihak. Mereka berpikir, sudah saatnya untuk mengubah pendekatan. Dari pemikiran ini, lahirlah gerakan yang kita rujuk sebagai "Injili Baru" ("The New Evangelicalism").
Angin Baru Bertiup
Beberapa tahun yang lalu seorang fundamentalis terkemuka menyatakan dengan tepat bahwa Injili Baru lahir dengan sebuah 'mood' ('suasana hati'). Sulit untuk mendefinisikan 'mood', namun meskipun begitu ia sangat nyata dan kuat. Seseorang yang sedang dalam 'mood' yang jelek dapat mengakibatkan banyak masalah. Sebaliknya, orang yang sedang dalam 'mood' yang baik dapat meningkatkan semangat semua orang di sekelilingnya. Sayangnya, suasana hati yang berkembang di antara fundamentalis muda tertentu adalah yang tidak sabar dan tidak puas dengan konflik yang berkelanjutan dengan kaum liberal.
Jelas suasana hati ini sebagian disebabkan oleh lelucon beberapa fundamentalis yang memalukan dan suka berkelahi serta oleh semangat kasar dari yang lain. Beberapa pemimpin fundamentalis suka membantah dan susah bergaul. Timbullah 'sikut-menyikut' yang tidak perlu, dan beberapa fundamentalis melakukan serangan yang tidak benar terhadap yang lain. Semangat dari beberapa kalangan ini mengecilkan kalangan yang lebih muda, dan dengan disertai faktor-faktor lain yang akan dibahas kemudian, mendorong mereka bersikap lebih lemah dan terbuka.
Kaum fundamentalis yang jujur harus mengakui bahwa beberapa kalangan dari mereka telah berbuat keterlaluan dan bersikap tidak alkitabiah. Ada di antara mereka yang telah bersikap kedagingan dan tidak di dalam Roh. Beberapa di antara mereka memaksakan bahwa setiap orang yang bersekutu dengan orang yang lain harus menerangkan dengan sejelas-jelasnya seperti yang mereka lakukan. Dengan kata lain, kaum fundamentalis telah cukup menunjukkan fakta, bahwa mereka juga mempunyai 'sifat-dasar yang tua'. Namun, fakta ini tidak membenarkan cakupan kekeliruan filosofi, theologi atau metodologi. Bertahun-tahun penulis telah memperingatkan para pengkhotbah muda, bahwa mereka tidak boleh menolak posisi alkitabiah, karena beberapa fundamentalis telah terbukti memalukan atas perkara itu.
Berkembangnya Posisi Kompromi
Harold Ockenga, gembala yang lama melayani di Park Street Church di Boston, menyatakan telah menemukan istilah "New Evangelicals" ("Injili Baru") di dalam sebuah pidato pertemuan di Fuller Theological Seminary (Sekolah Theologi Fuller) pada tahun 1948. Ockenga, yang juga merupakan rektor pertama dari Fuller Theological Seminary, sering disebut sebagai "Bapak Injili Baru" (The Father of the New Evangelicalism). Sebagai seorang gembala dan cendekiawan yang terkemuka, Ockenga mempunyai pengaruh yang luar biasa.
Faktor-faktor apakah yang memicu munculnya posisi yang disebut "Injili Baru" ini? Tentu saja bisa kita kutip beberapa faktor, namun enam faktor berikut merupakan yang paling signifikan.
1. Sebagai reaksi terhadap apa yang dirasakan sebagai negativisme yang berlebihan dari kaum fundamentalis
Para pemimpin Injili Baru yang mula-mula berusaha keras untuk menegaskan fakta bahwa kaum fundamentalis terlalu banyak 'menentang' dan tidak cukup banyak 'berbuat'. Dalih mereka adalah "Marilah bersikap positif dan jangan negatif". Meski pernyataan ini menyentuh perasaan banyak orang, namun pernyataan ini sama sekali bukan filosofi yang alkitabiah. Kitab Suci memiliki sisi yang positif maupun yang negatif - ia diperuntukkan bagi suatu hal dan juga menentang hal yang lainnya. Kita harus berusaha mempertahankan keseimbangan ini.
2. Adanya keinginan agar dapat diterima oleh seluruh cendekiawan di dunia
Banyak cendekiawan muda fundamentalis menjadi marah dengan kenyataan bahwa mereka tidak dipandang sebelah mata oleh sesama cendekiawan yang menekuni disiplin ilmu khusus mereka. Karena mereka fundamentalis, maka mereka dianggap kurang intelek, dan karya mereka tidak diakui oleh para cendekiawan dunia secara utuh. Hal ini menyakitkan, sehingga memotivasi mereka untuk menyesuaikan pandangan dan gaya mereka sedemikian rupa agar bisa lebih diterima oleh para pemimpin intelektual pada masa itu. Ada orang Kristen di dalam jemaat zaman kerasulan yang mempunyai kecenderungan yang serupa, sehingga Paulus mengatakan, "Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafat yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus" (Kol. 2: 8). Hasrat untuk memperoleh penghargaan intelektual di mata dunia yang tidak mengenal Allah itu telah menghancurkan banyak cendekiawan yang mempunyai masa depan.
3. Pengaruh dari pendidikan di lembaga-lembaga liberal
Seseorang umumnya mencerminkan filosofi dari sekolah dimana ia dididik. Banyak cendekiawan muda fundamentalis pada tahun 1940-an, 1950-an dan 1960-an mendaftar dan kuliah di lembaga-lembaga liberal di negeri ini dan di luar negeri untuk meneruskan pendidikan kesarjanaan. Meskipun mereka tidak selalu menelan segala sesuatu yang diajarkan kepada mereka, namun posisi mereka sangat dipengaruhi oleh orang-orang tidak percaya di tempat mereka belajar. Bagi mereka hal tersebut merupakan pengalaman "yang memperluas wawasan". Namun kita diingatkan oleh hasil observasi tidak enak dari Vance Havner beberapa tahun yang lalu ketika ia mengatakan, "Apa yang dirasakan beberapa kalangan yang mengatakan wawasan mereka bertambah luas hanyalah sekedar karena suara hati mereka yang melunak". Sementara beberapa kalangan berhasil melewati badai ketidakpercayaan ketika belajar di lembaga-lembaga liberal, banyak juga yang tidak mampu melewatinya dan keluar dengan noda pemikiran yang tidak alkitabiah.
4. Pola berpikir umum dan semangat pada masa itu
Dogmatisme menjadi suatu konsep yang dibenci. Muncullah seruan "keterbukaan" dan menerima pandangan yang bervariasi sebagai sesuatu yang setidak-tidaknya menjadi pilihan aktif bagi orang percaya. Pendekatan hermeneutik (penafsiran) baru menjadi model di kalangan yang disebut kaum injili, yang menyerukan semangat damai menggantikan semangat militan. Semangat damai merupakan bagian dari pasangan yang tak terpisahkan di dalam Injil Baru.
5. Sebagai reaksi terhadap kritik bahwa fundamentalisme kurang mempunyai visi untuk aksi sosial
Awal 1900-an terjadi suatu peningkatan antusiasme yang sangat besar terhadap program sosial untuk mengoreksi penyakit-penyakit yang dirasakan di dalam masyarakat dan untuk menyeimbangkan status warga masyarakat. Hal ini menimbulkan apa yang disebut injil sosial yang menawan denominasi-denominasi utama, sehingga menggantikan khotbah dan pengajaran Firman Allah. Sementara Injili Baru tidak bertindak lebih jauh seperti yang dilakukan kaum liberal dalam memegang penekanan baru ini, namun mereka jelas sangat terpengaruh oleh penekanan tersebut. Tersengat oleh kritik yang terus-menerus bahwa kaum fundamentalis kurang memperhatikan orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan, Injili Baru berusaha memperkenalkan suatu "kesadaran sosial" yang lebih luas. Buku Carl F. Henry, The Uneasy Conscience of Modern Fundamentalism ("Nurani yang Mengusik Fundamentalisme Modern") mengeluarkan nada demikian.
6. Berkembangnya semangat ekumenis yang menganggap kaum fundamentalis terlalu separatis
Gerakan ekumene memperoleh momentum pada tahun 1950-an dan 1960-an ketika Injili Baru sedang bangkit. "Mari kita bersatu-padu" - inilah seruan tersebut. Kaum Injili juga terpengaruh oleh keinginan ini. "Barangkali pikiran kita telah menjadi sempit. Mari kita membuka tangan persekutuan kepada orang lain yang tidak sepenuhnya sependapat dengan kita." Menolak (atau menyangkal) merupakan perintah Rasul Yohanes: "Jikalau seorang datang kepadamu dan ia tidak membawa ajaran ini, janganlah kamu menerima dia di dalam rumahmu dan janganlah memberi salam kepadanya. Sebab barangsiapa memberi salam kepadanya, ia mendapat bagian dalam perbuatannya yang jahat" (2 Yoh. 10-11).
Akibat dari faktor-faktor tersebut, dan barangkali juga faktor-faktor lainnya, sebuah gerakan yang dikenal dengan Injili Baru mulai berkembang dengan cepat. Istilah fundamentalis ditolak dan diganti dengan istilah injili. Dalam sebuah edisi terbitan awal Christianity Today, editornya mengatakan, "Pertumbuhan yang lebih menyukai istilah injili berkembang pada tahun-tahun terakhir... Sementara di sisi lain, fundamentalisme, harus puas dengan keadaannya yang semakin merosot dan mendapat predikat tidak alkitabiah."[1] Sementara mereka jelas telah berubah, mereka tidak ingin masyarakat fundamentalis mengetahui bahwa mereka telah banyak berubah. Mereka sesungguhnya mempunyai 'agenda yang tersembunyi'. Perjuangan mereka untuk menjadi Injili Baru sementara masih tampil sebagai fundamentalis diceritakan dengan terperinci di dalam buku Marsden yang mengagumkan, Reforming Fundamentalism ("Mereformasi Fundamentalisme"). Alat liberal, Christian Century, dalam menilai kebangkitan Injili Baru, dengan tajam memperhatikan bahwa kelompok ini dipimpin oleh "sekelompok anak muda yang tidak sabar dengan fundamentalisme seperti yang mereka rasakan. Mereka menyebut diri sebagai injili baru ... Mereka harus mengenakan pakaian lama fundamentalisme sementara berusaha mengubah orang yang di dalamnya."[2] Yang lainnya menyatakan sebagai berikut: "Injili baru ... sebenarnya mencoba merehabilitasi fundamentalisme lama ... Injili baru sebenarnya adalah fundamentalisme lama."[3]
Meskipun ada pertalian historis antara fundamentalisme dan Injili Baru, namun perbedaan sudah mulai muncul pada tahapan awal. Di antaranya terdapat perbedaan penekanan, dalam semangat, dan di dalam persepsi mengenai gereja dan tujuannya. Marsden menggambarkan pendekatan Injili Baru sebagai berikut:
Mereka [Injili Baru] terus menentang liberalisme theologi, tetapi melepaskan militansi sebagai aspek utama identitas mereka. Mereka bersedia meninjau-ulang beberapa warisan theologis mereka sendiri, dan seringkali meninggalkan posisi dispensasionalisme, walaupun biasanya bukan posisi premillennialisme, serta memperbolehkan perdebatan setidak-tidaknya mempertanyakan inerrancy Alkitab. Karena berhasrat menjadi suatu koalisi theologis Protestan konservatif yang luas, mereka biasanya toleran dengan beberapa perbedaan doktrin yang lain, termasuk Pentakostalisme. Evangelisme (Injili), seperti yang disingkat oleh Billy Graham, tetap merupakan aktivitas utama mereka, walaupun kini bentuk perwujudannya kadang-kadang menghindari penekanan kepada Injil yang mempunyai sifat offensif (menyerang).[4]
Tonggak Sejarah Menuju Kompromi
Injili Baru menginginkan suara yang lebih bulat dan suatu struktur organisasi dimana prinsip-prinsip mereka dapat disebarluaskan. Keinginan ini menyebabkan dibentuknya The National Association of Evangelicals (NAE/Asosiasi Injili Nasional) pada tahun 1942. Pada saat yang hampir bersamaan, Carl McIntire membentuk The American Council of Christian Churches (ACCC/Dewan Gereja-gereja Kristen Amerika). Kedua organisasi tersebut mengadakan pembicaraan, namun para pemimpin NAE yang baru dibentuk itu menganggap ACCC terlalu militan, terlalu separatis, dan terlalu vokal menentang gerakan ekumene dan para pemimpinnya. Mereka merasa bahwa pendekatan ini akan menghalangi mereka dalam mengerjakan tujuan mereka. NAE menjadi kendaraan organisasional terkemuka bagi penyebaran Injili Baru.
Pendirian Fuller Theological Seminary (Sekolah Theologi Fuller) di Pasadena, California, pada tahun 1947 merupakan tonggak sejarah lain dan memang sangat monumental. Seorang penulis menggambarkannya sebagai "pusat terkenal bagi pendidikan injili kiri."[5] Di dalam sebuah surat edaran dari rektor, Edward J. Carnell, yang ditujukan kepada konstituensi sekolah, tertulis, "Tujuan yang telah kita tetapkan adalah untuk menghasilkan suatu injili yang besar dengan memadukan pembelajaran yang besar dengan kasih yang besar... demi menghasilkan suatu 'injili baru.' "[6] Nama sekolah tersebut diambil dari nama penyumbang dan pendirinya, Charles Fuller, direktur dari radio siaran yang terkenal, "The Old Fashioned Revival Hour," namun posisi theologisnya segera menuju sedikit persamaan dengan apa yang melambungkan nama Fuller.
Pada Maret 1956 dunia fundamentalis digoncang oleh sebuah artikel di dalam sebuah majalah yang kemudian menjadi populer, Christian Life, yang berjudul, "Apakah Theologi Injili Berubah? (Is Evangelical Theology Changing?)". Beberapa kontributor kunci artikel tersebut adalah Terrelle Crum, Dekan Sekolah Alkitab Providence-Barrington; Vernon Grounds, Rektor Sekolah Theologi Baptis Konservatif; Carl F. H. Henry, Profesor Theologi Sistematika di Sekolah Theologi Fuller; Lloyd Kalland, Profesor Agama di Sekolah Theologi Gordon; Kenneth Kantzer, Profesor Alkitab di Wheaton College; dan Warren Young, Dekan Sekolah Theologi Baptis Utara. Artikel tersebut menegaskan apa yang telah diketahui banyak orang - individu-individu terkemuka, yang dulunya disebut "fundamentalis" tergeser dari posisi asli fundamentalismenya menuju pendirian yang lebih luas dan lebih akomodatif.
Pada tahun 1956 juga, Christianity Today mulai terbit. Ia diterbitkan untuk menjawab pengaruh dari suara liberalisme theologis yang terkenal - Christian Century. Dengan dorongan dari Billy Graham dan promosi para pemimpin Injili Baru lainnya, majalah tersebut segera dikenal luas dan menjadi suara yang disegani dari gerakan baru itu.
Pada tahun 1957 gelombang pasang mulai berubah ke pihak penyebaran injili yang besar. Billy Graham, seorang bintang yang tampil di atas horizon injili, memutuskan untuk memperluas pendekatannya dan memimpin perjuangan ekumenisnya yang pertama di New York City. Banyak di antara sahabatnya yang memberi peringatan yang menentangnya, dan banyak yang menolak untuk bekerjasama, tetapi ia tetap meneruskan jalannya. Gereja-gereja liberal kota metropolis besar tersebut dimobilisasi di dalam kampanye itu, dan pelajaran Graham ditaruh sebagai bagian akhir dari pelayanannya.
Pada tahun akhir 1950-an dan awal 1960-an sebuah peperangan yang hebat terjadi antara gerakan Baptis Konservatif dan Injili Baru. Sekolah Theologi Baptis Konservatif di Denver, Colorado, di bawah pimpinan Vernon Grounds, menjadi pusat pengajaran Injili Baru. Pengajaran ini ditentang oleh Pillsbury College, yang dipimpin oleh Monroe Parker; Sekolah Theologi Baptis Konservatif San Francisco, yang dipimpin oleh Arno dan Archer Weniger; dan Sekolah Theologi Baptis Konservatif Pusat, yang didirikan oleh Richard V. Clearwaters. Ratusan gereja dikalahkan oleh Gerakan Baptis Konservatif, dan sebuah dewan misi baru lahir - The World Conservative Baptist Mission (kini disebut Baptist World Mission). Banyak gereja yang gugur tidak mempunyai afiliasi. Sebagian masuk menjadi bagian dari Asosiasi Gereja-gereja Baptis Perjanjian Baru (The New Testament Association of Baptist Churches). Peperangan ini hanya merupakan salah satu contoh konflik yang diciptakan oleh Injili Baru.
Prinsip-prinsip Injili Baru
Bagaimana para pendiri Injili Baru memandang diri mereka sendiri? Prinsip-prinsip apakah yang ingin mereka bangun? Salah satu penilaian yang lebih tajam mengenai Injili Baru yang sedang berkembang saat itu ditemukan di dalam majalah liberal, Christian Century. Penulisnya mencatat dengan rasa kagum mengenai awal-mula gerakan tersebut. Secara khusus ia menunjuk perbedaan mood antara kaum fundamentalis dan Injili Baru.
Sebuah generasi baru intelektual yang saleh muncul di dalam jajaran kelompok-kelompok fundamentalis dan lembaga-lembaga pendidikan yang diakui. Para pemikir tersebut secara pribadi tidak pernah merasakan goresan peperangan yang menoreh para pemimpin yang terlibat peperangan sebelumnya, yang gagal untuk menghentikan 'modernisme", dan mereka sendiri kini terlibat di dalam pergumulan mengenai politik ekklesiastikal (gerejawi). Seuntai irenicism (keinginan untuk berdamai dengan semua kalangan - penerjemah) merasuk ke pikiran mereka. Mereka bisa melihat kelompok theologi yang lain dengan lebih obyektif dan lebih respek dibandingkan dengan para pendahulu mereka... Fleksibilitas baru berkembang di dalam pernyataan-ulang mengenai orthodoksi Protestan mereka yang di dalamnya terdapat kapasitas untuk membuat permasalahan yang dimaksud lebih sensitif dengan integritas pemikiran modern.[7]
Harold Ockenga menyimpulkan tujuan Injili Baru sebagai berikut:
1. Mereka prihatin dengan budaya kontemporer yang telah kehilangan sentuhan dengan Allah yang sejati dan ingin melihat suatu kebangkitan iman Kristen yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap budaya sekuler.
2. Mereka mengeluh kurangnya respek terhadap injili (evangelikalisme) di kalangan akademisi dan ingin mendapatkan kembali respek itu melalui usaha para cendekiawan yang mampu mempertahankan Kekristenan berdasarkan intelektual.
3. Mereka ingin merebut kembali kepemimpinan atas denominasi dari tangan kaum liberal.
4. Mereka ingin melihat gereja menjadi alat yang menghasilkan reformasi masyarakat.[8]
Butir ketiga perlu diberi perhatian khusus. Proses 'penyusupan' (usaha merebut kendali denominasi dari kaum liberal secara bertahap) tidak didukung oleh Firman Tuhan. Perintahnya sudah jelas. Apakah ada orang yang memiliki suatu "bentuk ketuhanan" (mengaku beriman Kristen secara luar), namun yang "menyangkal kuasa daripadanya"? Jika demikian, apa yang harus kita lakukan? "Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!" (2 Tim. 3: 5). Kegagalan tragis Injili Baru pada masa kini terlihat dimana-mana. Denominasi-denominasi yang tetap berpijak di posisi mereka, sama sekali bukan lagi berposisi orthodoks seperti tahun-tahun sebelumnya. "Sedangkan orang jahat dan penipu akan bertambah jahat, mereka menyesatkan dan disesatkan" (2 Tim. 3: 13). Kita tidak bisa menghentikan arus pasang orang yang tidak percaya; ia akan terus bergulir mencapai puncaknya sebagai Pelacur masa depan yang dahsyat (Why. 17).
Garis besar lain yang lebih terperinci mengenai prinsip-prinsip Injili Baru diberikan di dalam Christian Life pada Maret 1956. Artikel tersebut menyebutkan delapan hal tentang gerakan yang muncul itu:
1. "sikap bersahabat terhadap ilmu pengetahuan sekuler"
2. "keterbukaan untuk menguji-ulang keyakinan yang berkaitan dengan pekerjaan Roh Kudus"
3. "sikap yang lebih toleran terhadap berbagai pandangan mengenai eskhatologi"
4. "bergeser dari apa yang disebut dengan dispensasionalisme ekstrim"
5. "meningkatnya penekanan terhadap kecendekiawanan"
6. "pengakuan yang lebih definitif terhadap tanggungjawab sosial"
7. "membuka kembali masalah mengenai penginspirasian Alkitab"
8. "semakin berkembangnya kehendak dari para theolog injili untuk berdialog dengan para theolog liberal."
Karena hal-hal tersebut mencerminkan kesimpulan mengenai prinsip-prinsip Injili Baru yang paling awal, beberapa komentar perlu dibereskan.
Permasalahan Ilmu Pengetahuan
Berbagai usaha dilakukan untuk menyatukan pengajaran Alkitab dengan berbagai teori ilmu-pengetahuan yang sedang berkembang. Para cendekiawan Injili Baru kelihatannya malu melihat bahwa alam pemikiran kaum fundamentalis sangat bertentangan dengan alam pemikiran kaum liberal. Karena itu, mereka merasa harus mempersempit kesenjangan itu. Carl Henry, salah satu arsitek orisinil Injili Baru di tahun-tahun kemudian mengeluh tentang kenyataan bahwa orang-orang yang lebih muda sudah bertindak terlalu jauh berusaha untuk meredakan pemberhalaan.
"Kompromi saling pengertian" terdapat di antara generasi cendekiawan injili yang lebih muda, di antara mereka terdapat Edward John Carnell di Fuller Seminary... dan Arthur Holmes di Wheaton College... [Sebuah buku yang ditulis oleh Holmes], dalam menyajikan evolusi theistik, tidak mengindahkan kritik serius terhadap teori evolusi Darwin yang bahkan berasal dari para ilmuwan kontemporer. Wheaton memodifikasi pernyataan mereka yang sebelumnya mengenai penciptaan illahi untuk mengakomodasi evolusi theistik, walaupun mereka menekankan bahwa asal-usul manusia berkaitan dengan intervensi mujizat illahi.[9]
Usaha-usaha untuk menyatukan pengajaran alkitabiah tentang alam semesta fisik dengan menggantikannya dengan pengajaran iblis sama sekali tidak didukung oleh eksegesis yang alkitabiah, tetapi didorong oleh keinginan untuk membuat pandangan Kristen menjadi lebih bisa menerima para intelektual yang fasik. Paulus memperingati kita bahwa "perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging" (Gal. 6: 12). Frase ini mempunyai arti "jangan mengandalkan penampilan hebat dari luarnya saja,' yaitu berusaha mengesankan manusia, sehingga menghinakan salib.
Pekerjaan Roh Kudus
"Keterbukaan untuk menguji-ulang keyakinan yang berkaitan dengan pekerjaan Roh Kudus" membuka lebar jalan bagi arus besar pengajaran kharismatik yang akhir-akhir ini melanda gereja. Pembentukan kelompok seperti NAE menyebabkan Pentakostalisme dan gerakan kharismatik baru mendapat 'perhatian penuh' yang belum pernah mereka nikmati sebelumnya. Walaupun banyak cendekiawan Injili Baru tidak mendukung pandangan-pandangan tersebut, namun fakta yang menunjukkan bahwa mereka memberi toleransi tanpa menegur memberi pandangan-pandangan tersebut suatu batu-loncatan di dalam masyarakat injili.
Penafsiran Profetik
Toleransi terhadap berbagai pandangan tentang eskhatologi juga disebutkan sebagai sebuah tanda posisi Injili Baru. Sampai tahun 1950-an mayoritas fundamentalis merupakan penganut pra-millennialis dan sejumlah besar dispensasionalis (meskipun ada juga fundamentalis yang bukan penganut kedua-duanya, seperti misalnya T. T. Shields). Kini sikap yang semakin terbuka dielu-elukan sebagai sebuah tanda kedewasaan yang makin bertumbuh. Beberapa tahun yang lalu penulis diundang untuk memberi ceramah tentang "Mengapa Saya Menjadi Seorang Fundamentalis" di sebuah seminari Injili Baru. Setelah ceramah dan sesi tanya-jawab, saya diajak minum kopi di fakultas tersebut. Ketika mengobrol di ruang duduk fakultas, saya bertanya kepada dosen theologinya tentang pola eskhatologi apa yang didukung dan diajarkan oleh seminari tersebut di dalam kelas. Ia tertawa dan menjawab, "Saya mengajarkan semuanya. Dan ketika kami menyelesaikan pelajaran, para mahasiswa bahkan tidak tahu apa yang saya yakini." Ia menganggap hal ini sebagai pelajaran yang bagus sekali. Namun kita diingatkan oleh pengajaran dari Tuhan, dimana dikatakan, bahwa "Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka" (Mat. 7: 29). Dalam menanggapi kutipan Alkitab, ahli-ahli Taurat biasa menggunakan logika yang memutar-mutar, mengutip berbagai cendekiawan, dan menghindari dogmatisme hal-hal yang diperdebatkan. Sebaliknya Kristus berbicara dengan sangat jelas dan dengan penuh otoritas.
Dispensasionalisme
Seperti yang sudah disebutkan, sejumlah besar fundamentalis mula-mula adalah dispensasionalis. (Tetapi tidak semua fundamentalis merupakan dispensasionalis.) Sistem pengajaran yang dikenal sebagai dispensasionalisme dipopulerkan oleh Alkitab terjemahan Scofield dan juga melalui pendidikan yang diberikan oleh banyak sekolah tinggi theologi dan seminari. Injili Baru tidak menyukai dispensasionalisme. Salah satu penyebab utama ketidaksukaan mereka adalah apa yang mereka istilahkan dengan pemikiran 'pesimistis' tentang sejarah dunia, terutama mengenai sejarah gerejawi. Kaum dispensasionalis memegang pengajaran bahwa akan berkembang kesesatan di dalam gereja yang tidak ada obatnya, kecuali separasi (pemisahan diri). Injili Baru bukanlah kaum separatis, sehingga menolak kesimpulan tak terhindarkan yang timbul sebagai konsekwensi pemikiran dispensasionalis. Injili Baru menentang apa yang mereka lihat sebagai pandangan dispensasionalis gereja - yaitu "berlindung di dalam sebuah budaya yang sudah hancur."[10]Mereka lebih cenderung mengadopsi "pandangan Puritan-Calvinis bahwa gereja harus memainkan peran utama pembangunan-kemasyarakatan."[11]Dalam membahas peperangan kaum fundamentalis mula-mula dengan liberalisme, Marsden mencatat bahwa banyak di antara mereka yang mulai menolak pemikiran bahwa penyesatan dapat dienyahkan dan semakin mempertahankan keyakinan bahwa orang Kristen yang taat harus memisahkan diri dari kesesatan. "Penafsiran dispensasional-premillenial terhadap sejarah, yang telah tersebar luas di antara kaum fundamentalis, mendorong kecenderungan separatis ini... Pada tahun 1930-an kalangan fundamentalis garis keras yang semakin meningkat, menyatakan kewajiban untuk melakukan separasi ekklesiastikal."[12]Dalam pembahasan berikutnya ia menambahkan: "Pandangan pesimistis dispensasionalisme terhadap budaya yang berlaku mendorong berkurangnya penekanan terhadap masalah sosial di dalam gerakan itu. Penilaian negatif dispensasionalisme terhadap gereja-gereja besar mendorong separatisme".[13]
Ke cendekiawan
Injili Baru yang sedang naik-daun menjadi gelisah karena kontribusi mereka benar-benar dikesampingkan oleh kalangan cendekiawan. Namun, kita tidak perlu merasa heran, jika kaum cendekiawan fundamentalis yang tetap setia terhadap ketiadasalahan (inerrancy) Alkitab dan secara intelektual tunduk kepada otoritas Firman Allah, tidak terlalu antusias jika karya mereka akan diterima di antara para penyokong kesalahan. Firman Allah melalui Yeremia (yang jelas merupakan sebuah karya "ilmiah" karena dihasilkan oleh Roh Kudus) meskipun dikoyak-koyak dengan pisau raut sang raja (Yer. 36: 23-24). Kebenaran Alkitab senantiasa merupakan "kebodohan" bagi mereka yang tidak percaya, lebih-lebih bagi orang tidak percaya yang berpendidikan (1 Kor. 1: 18). Paulus tidak memberitakan Firman Allah dengan "kata-kata hikmat yang meyakinkan" (1 Kor. 2: 4), tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh.
Injili Baru cenderung memandang kaum fundamentalis sebagai suatu ketidakjelasan dan anti-intelektual. Pendapat ini tak pelak lagi muncul karena fakta bahwa kaum fundamentalis mencurigai benteng kuat dan para pemimpin terpelajar yang hampir semuanya merupakan lawan radikal atas kebenaran Alkitab. Dunia intelektual, pada umumnya, adalah sebuah dunia yang dikendalikan oleh penguasa kejahatan, yakni Setan sendiri. Kaum fundamentalis menerima pengajaran Alkitab yang jelas tentang mereka: "...dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka" (Ef. 4: 18). Kebanyakan orang yang mengejar kehormatan intelektual sebagai keyakinannya pada masa yang lalu terbukti merupakan musuh berat gereja.
Peran kaum intelektual dalam merusak ideologi-ideologi yang sudah mapan (sekalipun tidak disengaja), setidak-tidaknya sejak Pencerahan, terdokumentasi dengan baik... Ironinya kasus Injili adalah penekanan yang ditujukan untuk mendapatkan kredibilitas intelektual dalam menyokong posisi Injili (sejak tahun 1940-an sampai kini), pada akhirnya secara tidak sengaja membawa konsekwensi merusak posisi Injili. Apa yang dimulai sebagai sebuah keberanian untuk mempertahankan orthodoksi secara terbuka dan dengan integritas intelektual, bisa mengakibatkan pelemahan atau bahkan kematian orthodoksi seperti yang telah ditegaskan di bagian lain masa ini. Dengan semakin mengkristalnya pelemahan akal-sehat pendekatan tradisional atas Alkitab di antara para intelektual Injili, sehingga menandakan dinamika yang sama di antara populasi Injili yang lebih luas. Pola itu terdokumentasi dengan baik. Inovasi dan pemikiran filosofis yang umumnya berasal dari suatu eselon elitis di dalam masyarakat mempunyai ciri kecenderungan untuk merembes ke dalam seluruh masyarakat yang ada.[14]
Namun dengan jujur harus kita akui, bahwa memang ada kalangan fundamentalis yang terbukti mempunyai sikap anti-intelektual. Orang-orang demikian dijauhi atau dicela oleh kaum fundamentalis yang saleh yang sungguh-sungguh berusaha menyelidiki Alkitab yang penuh kekayaan. Kaum fundamentalis demikian memuaskan diri mereka dengan pendekatan pada 'luarnya' saja.
Ada keseimbangan yang patut kita cari. Pikiran kita harus sepenuhnya berserah kepada Allah dan otoritas wahyuNya. Kita harus "menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus" (2 Kor. 10: 5). Allah telah memberikan kita akal-budi untuk dipakai demi kemuliaanNya. "Sebab itu siapkanlah akal-budimu" (1 Ptr. 1: 13) adalah perintah Allah. Perikop ini memberitahukan dengan jelas bahwa akal-budi kita adalah penting dan bahwa iman Kristen jelas mempunyai ekspresi intelektual.
Keterlibatan Sosial
Carl Henry merupakan salah seorang penyumbang utama konsep bahwa jemaat Kristus harus lebih banyak terlibat dalam aksi sosial. Dalam mempertahankan konsep ini, Henry menulis,
Sejak masa penarikan diri dari masyarakat dan politik sampai masa pendukung Katolik konservatif yang suka berperang dan bangsa Amerika lainnya mengalami masa yang panjang, namun beberapa jurubicara injili tidak sabar mendesak pengharapan tersebut, meski kontroversi itu mengandung resiko.
Yang tertinggal sangat jauh adalah kaum fundamentalis pada era 1930-50an yang pandangan sejarah pesimistisnya membuat mereka melepaskan diri dari keterlibatan sosial-politik dan keterikatan kultural agar bisa berkonsentrasi pada penginjilan pribadi dalam menantikan kedatangan kembali Kristus yang sudah dekat. ... Pandangan ini masih memiliki dukungan di dalam kalangan Bob Jones dan konstituensi Dallas Seminary yang lebih tua... Kebanyakan injili mengganggap bahwa kita harus terlibat aktif dalam urusan publik.[15]
Bagaimana caranya kita menilai usaha Injili Baru yang menggalang program sosial yang ditujukan untuk mengatasi penyakit masyarakat itu? Memang masyarakat modern kita memiliki banyak permasalahan menyedihkan yang memilukan hati orang percaya. Namun kita harus mengikuti Alkitab, bukan mengikuti perasaan kita. Dalam Perjanjian Baru tidak diperoleh bukti adanya suatu program sosial yang disponsori jemaat untuk tujuan mengurangi penderitaan manusia di dalam dunia yang tidak aman ini. Penelitian yang seksama terhadap Perjanjian Baru akan menyingkapkan bahwa usaha untuk memenuhi kebutuhan sosial lebih diutamakan untuk sesama orang percaya (Kis. 4: 32-37). Yakobus mendesak kita untuk menunjukkan iman kita dengan membantu saudara seiman yang tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari (Yak. 2: 15). Ilustrasi tersebut dan yang lainnya menunjukkan kepada kita bahwa perhatian sosial orang-orang percaya mula-mula terutama ditujukan kepada sesama orang percaya dan bukan kepada dunia secara umum. Ini bukan berarti bahwa pribadi-pribadi orang percaya tidak bisa dan tidak boleh menunjukkan kebaikan dan kemurahan kepada dunia yang memerlukannya. Tentu saja perilaku demikian sesuai dan mencerminkan semangat Kristus. Tetapi Injili Baru, sebagai reaksi terhadap genderang kritik kaum liberal yang mengatakan bahwa kaum fundamentalis tidak mempunyai perhatian terhadap orang lain, telah bertindak terlalu jauh di dalam dukungan program sosial mereka. Tugas utama jemaat-jemaat Kristus bukan melayani kebutuhan manusia dari segi luar dan lahiriah, namun untuk memberitakan Injil Anak Allah yang berbicara tentang kebutuhan yang lebih mendalam dan lebih kekal - yakni keselamatan jiwa. Supaya fair, harus juga dicatat bahwa kaum fundamentalis selama bertahun-tahun telah menunjukkan kebaikan dan kasih kepada orang-orang yang hidup di dalam dosa, kerapkali perbuatan baik tersebut diiringi dengan pemberitaan Injil (misalnya seperti di dalam misi pelayanan penyelamatan).
Alkitab Yang Diinspirasikan
Kesediaan untuk menetapkan kembali dan mengevaluasi kembali posisi historis jemaat mengenai inspirasi verbal Alkitab sebenarnya adalah membuka sebuah kotak Pandora, seperti yang kini bisa dilihat setelah beberapa generasi kemudian. Dalam artikel Christian Life yang orisinil, pembukaan kembali permasalahan inspirasi Alkitab digambarkan sebagai "hanya sebuah kerikil di dalam kolam theologi konservatif" yang bisa "berkembang menjadi sesuatu yang amat mengejutkan evangelikalisme abad pertengahan."[16] Sungguh tepat perkataan tersebut! Dengan sangat cepat semakin banyak pemimpin yang menyatakan diri "injili" menyimpang dari posisi solid ketiadasalahan Alkitab yang berlaku sepanjang zaman menjadi suatu posisi yang berubah total. Sampai kinipun adalah benar bahwa "segala tulisan [setiap dan semua tulisan] diilhamkan Allah" (2 Tim. 3: 16). Hal ini mencakup segala sesuatu - rujukan geografis, rujukan historis, dan rujukan ilmu pengetahuan maupun pengajaran theologis. Beberapa tahun yang lalu, Ronald Nash berbicara mendukung pergeseran pandangan Injili Baru terhadap bibliologi: "Jika injili telah mengubah pandangan pengilhaman (penginspirasian) fundamentalis, dengan cara apapun, maka perubahan tersebut adalah sebuah langkah yang benar. Maksud saya, dengan demikian tindakan itu merupakan langkah positif yang mengarah kepada posisi pengilhaman Alkitab yang lebih bisa dipahami dan dapat dipertahankan".[17]
Tetapi Nash salah. Perhatikan kebebasan besar yang kini diperoleh oleh para cendekiawan "injili" terhadap teks Alkitab. Hal tersebut telah menjadi seperti sebongkah tanah liat yang bisa ditekuk menjadi bentuk yang sangat aneh dan kemudian dinyatakan sebagai sesuatu yang sangat normal.
Akhirnya Injili Baru bertekad untuk mengajak para theolog liberal untuk mengadakan pembicaraan yang 'penuh arti'. Vernon Grounds, yang pada saat itu menjadi Pimpinan Conservative Baptist Seminary di Denver, mengajukan pemikiran ini: "Seorang injili secara organisasional dapat memisahkan diri dari persekutuan yang menyangkal Kristus, tetapi juga bisa memperoleh manfaat dengan mengadakan tukar-pikiran dengan orang yang bukan injili".[18] Grounds memiliki gagasan bahwa persaudaraan dengan cendekiawan yang menolak Alkitab bagaimanapun juga mempunyai suatu pengaruh positif terhadap orang-orang yang melakukannya.
Sebagian masalah yang terjadi dengan banyak Injili Baru adalah bahwa mereka tidak mengakui para penganut theologi liberal sebagai jiwa-jiwa tersesat yang menggapai-gapai di dalam kegelapan rohani, "mata air yang kering, seperti kabut yang dihalaukan taufan; bagi mereka telah tersedia tempat dalam kegelapan yang paling dahsyat" (2 Ptr. 2: 17). Banyak injili dengan enteng memandang kaum liberal sebagai kalangan yang salah arah, namun merupakan orang Kristen yang bermaksud baik yang membutuhkan kasih dan persekutuan kita. Karena itu, kita dapat menuntun mereka berbalik dari jalan mereka yang salah. Bloesch, ketika mengomentari beberapa aspek fundamentalisme mula-mula, bertentangan dengan cendekiawan hebat J. Gresham Machen yang menulis buku klasik, Christianity and Liberalism. Machen, dalam penilaian Bloesch, "tidak cukup memberi pengakuan atas fakta bahwa kaum liberal tetap masih bisa menjadi manusia yang memiliki iman pribadi yang mendalam, meskipun pemikiran mereka salah".[19] Selain orang-orang yang dipersoalkan tersebut, kita sedang membicarakan sesuatu yang jauh lebih luas dari sekedar beberapa intektual yang salah. Kita sedang bicara mengenai pemberontakan yang menyolok terhadap Allah yang maha kuasa dan otoritas FirmanNya yang kudus. Bloesch melanjutkan, "Injili tidak boleh menolak persekutuan dengan kaum ekumenis dan liberal yang mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Liberalisme sebagai suatu sistem theologis tentu saja harus ditolak, namun tidak bolehkah kita berusaha berdamai dengan orang liberal selaku pribadi?"[20] Namun memang haruskah kita melakukannya? Allah dengan jelas memberitahukan apa yang harus kita lakukan terhadap mereka yang - "pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!" (2 Tim. 3: 5). Sayangnya, Injili Baru tidak memperhatikan peringatan itu. Bloesch menyimpulkan pembahasan atas masalah itu dengan menyatakan, "Adalah membesarkan hati melihat sebuah semangat baru keterbukaan yang berasal dari kaum injili, yang kebanyakan merupakan anak-anak fundamentalisme".[21] Kecenderungan ini, yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai sebuah langkah maju, jika dipandang dari sudut wahyu alkitabiah hanya bisa dipandang sebagai sebuah langkah mundur.
Masalah Khusus - Separasi Gereja
Salah satu perbedaan utama antara Injili Baru dan fundamentalis mengenai pandangan masing-masing pihak adalah apa yang dikenal dengan "separasi (pemisahan diri) gereja" ("ecclesiastical separation"). Kaum fundamentalis separatis percaya bahwa harus ada separasi sepenuhnya dari semua gereja dan persekutuan gereja-gereja yang mentoleransi kefasikan atau kompromi dengan kesalahan. Dalam memperbandingkan fundamentalisme dan injili, Peterson melihat, "Semangat injili... lebih ramah. Kita menganggap adalah penting untuk memelihara persekutuan dengan orang Kristen lainnya, meskipun mereka salah dalam hal-hal tertentu, terutama jika mereka bisa bergabung dengan kita dalam mengembangkan injil".[22] Pengamatan ini sangat cocok dengan sikap umum Injili Baru - "mari kita mengkompromikan masalah doktrin demi penginjilan". Hal ini akan dibahas lebih jauh di bagian belakang nanti.
Beberapa tahun yang lalu, ketika perpecahan muncul di antara Asosiasi Injili Nasional (NAE) dan Dewan Gereja-gereja Kristen Amerika (The American Council of Christian Churches/ACCC), terbukti ada perpecahan besar mengenai masalah separasi dari kesesatan. J. Elwin Wright, salah seorang pimpinan awal NAE, menjelaskan posisi NAE berkenaan dengan masalah separasi gereja, di dalam komentarnya terhadap apa yang dipahaminya sebagai perikop kunci - 2 Korintus 6: 17, "Saya yakin... bahwa surat Korintus sama sekali bukan menganjurkan penarikan diri dari suatu gereja yang dihinggapi para pendosa, bidat, atau yang telah bergeser dari standar doktrin dan moral Firman Tuhan. (Meskipun) Surat itu memang mengajarkan bahwa orang-orang beriman harus membersihkan gereja dari orang-orang fasik tersebut".[23] Untuk lebih mendukung pandangannya, Wright memunculkan kesaksian dari Perjanjian Lama ketika menuliskan, "Penelitian terhadap Perjanjian Lama dari Kejadian sampai Maleakhi sama sekali tidak mengungkapkan suatu contoh gerakan pemisahan diri (schismatic) di Israel yang diizinkan Tuhan".[24]
Ada dua hal yang perlu dicatat mengenai posisi Wright, yang masih mencerminkan posisi NAE. Dengan jelas ia menyatakan bahwa meskipun sebuah tubuh telah meninggalkan "doktrin.... Firman Tuhan", sebagai orang Kristen kita tidak diharuskan memisahkan diri dari tubuh tersebut. Kedua, ia mempertahankan posisi ini dengan menyatakan bahwa tidak ada separasi yang ditetapkan Allah dari bangsa Israel. Wright tidak memahami fakta bahwa Israel dan gereja (jemaat) adalah tidak sama dan bahwa demikian juga halnya, prinsip persekutuan yang mengatur sebuah theokrasi tidak berlaku bagi jemaat Yesus Kristus. Bangsa Israel bukan merupakan kumpulan orang percaya yang dengan kehendak sendiri berkumpul membentuk sebuah jemaat lokal. Ia adalah sebuah entitas nasional, politis dan ekonomis, dimana seseorang secara jasmaniah dilahirkan. Jemaat-jemaat Perjanjian Baru berbeda di dalam susunannya. Mereka adalah entitas berdaulat yang mempunyai tanggungjawab untuk memelihara kekudusan mereka sendiri dengan menaati pengajaran Perjanjian Baru.
Mengapa manusia menolak perintah Alkitab untuk memutuskan hubungan dengan mereka yang menyangkal iman dan mengembangkan posisi yang tidak alkitabiah? Tak pelak lagi, salah satu alasannya adalah fakta bahwa mengambil sikap menentang orang fasik sangat mahal harganya. Hal ini terlihat jelas di dalam konflik yang muncul di dalam beberapa denominasi beberapa tahun yang lalu. Kebanyakan orang melayani di dalam lingkungan kelompok denominasi tertentu. Mereka memiliki persahabatan, dan lebih dari itu, mereka memiliki investasi finansial disitu. Mereka terikat dengan program pensiun denominasional, dan jika mereka keluar maka mereka akan kehilangan paket tersebut. Hal tersebut merupakan harga sangat mahal yang harus dibayar oleh beberapa kalangan.
Barangkali sebuah alasan yang bahkan lebih kuat adalah fakta bahwa ada prestise dan pengaruh tertentu yang dapat dimiliki di dalam posisi kepemimpinan denominasional yang tidak bisa didapatkan jika menjadi seorang independen di luar struktur organisasi denominasi-denominasi. Dalam menganalisis perkembangan Injili Baru, Marsden mengatakan bahwa masalah paling eksplosif yang dihadapi para pemimpin Injili Baru adalah masalah tentang pemisahan diri dari afiliasi mereka. Pendapatnya sangat mudah dipahami dan tentu saja bisa menjelaskan mengapa banyak orang tidak mau memisahkan diri dari denominasi dimana mereka berada.
Haruskah mereka memisahkan diri dari denominasi-denominasi yang sudah menyeleweng? Injili baru bukan saja berusaha mereformasi fundamentalisme, pada saat yang sama mereka tetap merupakan fundamentalis loyal yang menganggap misi mereka yang lebih mendasar sebagai reformasi atas Protestanisme yang sudah merosot. Apakah mereka yang bersaksi menghadapi kesesatan berat yang merupakan jemaat-jemaat yang menyenangkan dan secara kultural dihormati harus memisahkan diri dari kesesatan?... Haruskah mereka keluar dan menjadi suara sayup-sayup di padang gurun, atau bertahan dan terus bekerja untuk mereformasi dari dalam dengan posisi mereka yang lebih berpengaruh?[25]
Pengaruh. Posisi. Penghargaan. Apakah semua itu lebih penting daripada ketaatan kepada Allah? Bukankah selama berabad-abad sudah banyak "suara sayup-sayup", baik yang di luar pengaruh dan kuasa duniawi maupun yang berasal dari ekklesiastikal yang berkuasa? Bukankah ada seorang bernama Henokh yang berjalan mengiringi Allah tanpa mendapat restu dan persetujuan dari orang-orang sezamannya? Dan bukankah ada Nuh yang telah berusaha dengan hanya didukung tujuh orang? Dan bagaimana dengan Yeremia yang mempunyai keberanian untuk menegur orang-orang berdosa yang hidup pada zamannya dan menerima penderitaan caci-maki terbuka dan penganiayaan fisik? Pertimbangkan juga Rasul Paulus yang bekerja di dalam keletihan, sakit, dan berbagai bahaya, serta merana di dalam banyak penjara demi Yesus. Atau bagaimana dengan kelompok hebat "bersuara sayup-sayup" yang ditinggikan di dalam Kitab Suci karena "dilempari, digergaji, dibunuh dengan pedang, dan menderita ..." (Ibr. 11: 37), mengembara di padang gurun dan di pegunungan, dalam gua-gua dan celah-celah gunung, melepaskan segala sesuatu yang dianggap penting di dalam hidup ini demi Tuhan. Tidak ada posisi 'berpengaruh' disini. Mereka seperti Yohanes Pembaptis yang merupakan "suara yang berseru-seru di padang gurun", "orang-orang yang lain", "suara sayup-sayup di padang gurun" yang demikian dijauhi oleh para pemimpin Injili Baru.
Mari kita berterus terang. Berdiri teguh untuk kebenaran dan bersikap benar adalah sangat mahal harganya. Beberapa orang telah membayar harga yang mahal untuk bersikap benar di hadapan Allah. Pada masa ini banyak orang Injili Baru menghormati Charles Haddon Spurgeon, namun jika mereka benar-benar membawa filosofi mereka, maka tak seorangpun akan berdiri di pihaknya ketika Persatuan Baptis Inggris (The British Baptist Union) mengucilkannya, karena sikap militannya dalam menentang kesesatan yang ditoleransi di dalam persekutuan tersebut. Dalam kasus "Pertentangan Downgrade" ("Downgrade Controversy") yang mengguncangkan Baptis Inggris Raya, para bekas mahasiswa Spurgeon-pun bahkan bersikap menentangnya. Ia telah memberikan mereka pakaian, menyediakan makanan di atas meja mereka, dan mengantarkan mereka ke pendidikan pelayanan. Namun, kesetiaan denominasional terbukti terlalu kuat bagi kebanyakan dari mereka. Guru mereka terlalu militan, sehingga mereka memberikan suara mereka untuk menentangnya dan Spurgeon benar-benar ditinggalkan sendiri. Tetapi tangan Tuhan menyertainya, dan gerejanya jauh lebih cemerlang dibandingkan mereka yang ambruk menjadi musuh Allah. Beberapa tahun yang lalu, D. M. Panton mengatakan, "Mengidentifikasikan seseorang dengan kebenaran adalah menempatkan diri seseorang ke dalam sebuah pusat badai yang tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri".
Selanjutnya dalam menyingkapkan alasan bahwa Injili Baru bergeser dari prinsip separasi ekklesiastikal, kita perlu mencatat fakta bahwa konsep mereka tentang tujuan berjemaat adalah berbeda dengan yang dipegang oleh kaum fundamentalis. Kaum fundamentalis umumnya mempertahankan apa yang disebut dengan konsep gereja "Donatist" (Donatis) di atas konsep "Augustinian", yakni mereka menempatkan kekudusan gereja (jemaat) yang kelihatan (visible) sebagai hal yang paling utama daripada persatuan gereja (jemaat) yang kelihatan. Augustine, seorang pemimpin dan cendekiawan gereja mula-mula, menentang kaum Donatis yang merupakan separatis dan yang tidak mau bersekutu dengan unsur-unsur gereja yang kelihatan yang mereka anggap sebagai kompromi. Perhatian Augustine terhadap persatuan di dalam gereja cenderung merusak tujuan kemurnian alkitabiah di dalam gereja. Kaum separatis fundamentalis masa kini percaya bahwa tujuan dari sebuah gereja yang kelihatan sama sekali bukanlah sekedar untuk memelihara persatuan dari segi luarnya, tetapi untuk memelihara dan mempertahankan kebenaran Allah dan kemurnian tubuh Kristus.
Selanjutnya, para cendekiawan injili mula-mula, meletakkan dasar bagi gerakan yang lebih hebat, yaitu bangkit dan memandang misi gereja sebagai alat untuk menembus dunia dengan nilai-nilai Kristen. Mereka mengatakan bahwa kaum fundamentalis sudah cukup puas jika memenangkan jiwa bagi Kristus dan memuridkan mereka. Ini belum cukup. Gereja harus bangkit dan berusaha mempengaruhi bidang sosial, politik dan ekonomi masyarakat dengan prinsip-prinsip Kristen. Misi gereja tidak hanya terbatas pada pemberitaan Injil dan bertujuan sebagai santapan rohani saja, namun diperluas mencakup suatu tanggungjawab untuk mempengaruhi masyarakat dengan standar Kristen. Salah seorang penulis mengatakannya demikian:
Penolakan injili baru terhadap separatisme sebagai suatu keyakinan berkaitan dengan konsepsi mereka terhadap peranan budaya fundamentalisme atau evangelikalisme. Mereka lebih dekat dengan warisan gubernur Massachusetts yang puritan, John Winthrop, yang bercita-cita ingin membangun suatu masyarakat Kristen, sehingga mereka berselisih dengan Roger Williams, yang menekankan suatu jemaat separatis murni dan menganggap negara sebagai hal sekuler yang tidak berpengharapan... Karena itulah, para reformator injili baru memberi lebih banyak penekanan kepada ... transformasi budaya.[26]
Pengkajian Perjanjian Baru yang dilakukan dengan seksama tidak bisa menemukan satupun amanat yang ditujukan kepada gereja untuk melaksanakan "transformasi budaya". Amanat Agung Tuhan sama sekali tidak mengandung perintah demikian. Penguasa kegelapan merupakan pemimpin politis dan religius sistem duniawi ini dan akan terus berlangsung demikian hingga tiba saatnya ia sepenuhnya dikalahkan oleh Tuhan Yesus Kristus (Yoh. 16: 11; 2 Kor. 4: 4). Tidak ada bukti di dalam surat-surat Perjanjian Baru, bahwa jemaat harus mereformasi kebudayaan dunia ini. Roh Kudus Allah masa kini bergerak di antara bangsa-bangsa di bumi "dengan memilih suatu umat dari antara mereka bagi namaNya" (Kis. 15: 14). Ia tidak berikhtiar untuk mengkristenkan bangsa-bangsa.
Berusaha Menjadi " Orang Baik "
Kami rasa adalah fair untuk mengatakan bahwa semangat Injili Baru adalah semangat yang kompromistis, menghindari kontroversi. Menariknya, dalam melukiskan permasalahan mula-mula yang terjadi antara Fuller Seminary dengan denominasi Presbyterian, Marsden melaporkan bahwa Presbyterian mengira seminari tersebut memecah belah. Untuk menghadapi persepsi tersebut dan mempertahankan nama baik mereka dengan para pemimpin denominasi, pemimpin Fuller "menghindari kontroversi".[27] Injili Baru mengkhususkan diri di dalam "menghindari kontroversi". Apa yang kita butuhkan, menurut kebanyakan pemimpin-pemimpin tersebut, bukan konfrontrasi, tetapi kontekstualisasi. "Yang dibutuhkan bukan hanya sekedar penerapan doktrin alkitabiah secara praktis, namun menerjemahkan doktrin itu ke dalam konseptualitas yang berkaitan dengan realitas struktur sosial kita dan pola hidup yang dominan pada suatu masa".[28] Kelihatannya ia ingin mengatakan bahwa gereja harus beradaptasi, bahwa jemaat harus memberi akomodasi. Gereja harus menyampaikan pemberitaannya dengan pola yang dapat diterima oleh masyarakat di dalam suatu masa tertentu.
Francis Schaeffer bukan seorang separatis yang konsisten. Ia memulai pelayanan pada saat berkecamuknya kontroversi yang mengiringi keluarnya J. Gresham Machen dan lainnya dari gereja Presbyterian. Namun kemudian ia merangkul persekutuan yang lebih luas dan bukan dikenal sebagai seorang fundamentalis yang kuat lagi. Namun di tahun-tahun pelayanannya yang terakhir, ia menyuarakan suatu peringatan yang keras kepada gereja. Secara khusus ia memperingatkan umat Allah akan bahayanya suatu semangat yang akomodatif. Putera Francis Schaeffer, Franky, mengeluhkan apa yang dikatakannya "sikap buru-buru menyesuaikan diri yang menyedihkan".[29]
Semua orang ingin menjadi "orang baik"; tak seorangpun mau menjadi "orang jahat". "Orang jahat" memecah-belah persekutuan yang menyenangkan, mereka adalah "tukang siul" theologis dan ekklesiastikal - dan sedikit sekali orang yang mau mendengarkan siulan itu. Akibat usaha kebanyakan dari mereka yang ingin menjadi "orang baik", penggalan pinggir kekristenan tersebut menjadi tumpul. Jelaslah jika dikatakan bahwa "kebaikan injili telah memperlunak kesaksiannya secara serius", dan karena sadar akan hal itu, "kita harus berhati-hati terhadap kesopanan yang mengembangkan sifat takut-takut".[30]
Tentu saja orang Kristen tidak boleh menerima para theolog sesat dan para pendukungnya. Tetapi tetap saja beberapa kalangan injili menolak keras pentingnya sikap ini, mereka sama sekali tidak ingin "menyerang" dan "menang". J. Gresham Machen pada tahun 1924 memberikan pidato pada Founder's Week ('Minggu Pertemuan Para Pendiri') di Moody Bible Institute. Judul pidatonya adalah "Kejujuran dan Kebebasan di dalam Pelayanan Kristen". Ia berkata, "Dosa terberat masa kini adalah mengatakan bahwa anda setuju dengan iman Kristen dan percaya kepada Alkitab, tetapi kemudian berpihak kepada mereka yang menyangkal kenyataan kekristenan yang mendasar. Tak ada yang lebih jelas lagi bahwa orang yang tidak di dalam Kristus adalah orang yang menentang Dia".[31]
Sangat menarik untuk membaca konflik yang terjadi antara pengkhotbah besar Inggris, Martyn Lloyd-Jones, dengan orang-orang di negerinya, Inggris Raya, yang ingin melunakkan tuntutan Alkitab dan berkompromi dengan berbagai bujukan doktrinal. Lloyd-Jones, yang merupakan seorang pengkhotbah doktrinal yang kuat, tidak bisa mendiamkan orang-orang yang lemah dalam urusan ini. Ia mengeluhkan munculnya suatu "keturunan baru": "Sebuah suasana pemikiran baru masuk dengan cepat sekali ... Jadi mereka sama sekali tidak sabar dengan orang yang menekankan doktrin yang benar... Mereka sangat tidak suka dengan para nabi. Mereka menginginkan orang yang tidak berbahaya dan tidak menyakiti, yang sama sekali tidak akan mengganggu siapapun".[32]
Beberapa kalangan Injili Baru tidak ragu-ragu untuk bersoal-jawab dengan kaum liberal mengenai masalah inspirasi Alkitab atau keillahian Kristus. Tetapi banyak yang tidak mau membuat pernyataan dogmatis dan mempertahankan posisi yang kuat dalam bidang-bidang doktrin yang diperselisihkan di antara kaum injili. Karena itulah banyak yang berkata, "Secara pribadi saya bukan seorang kharismatik, tetapi saya tidak yakin harus "menampar" mereka yang mempertahankan pandangan kharismatik". Ini merupakan suatu semangat akseptasi (menerima), kelonggaran, dan kesediaan untuk memperbolehkan berbagai posisi yang berbeda. Apakah yang menimbulkan sikap ini di dalam gereja Kristen? "Pertama, hal itu terjadi karena derajat semangat dan sikap duniawi telah merembes ke dalam gereja. Bukanlah kebetulan jika injili mulai menyukai keterbukaan dan menolak 'keeksklusifan' pada saat-saat ketika suasana pemikiran umum sedang menentang dogmatisme pada setiap bidang pengetahuan. Suasana hati pada saat itu adalah menentang segala keabsolutan".[33]
Semangat ini telah mengakibatkan para penafsir Alkitab masa itu dengan segala cara berusaha menggali pengajaran baru yang menakjubkan yang terkubur di dalam Alkitab yang belum pernah dibuka oleh para cendekiawan orthodoks sampai pada generasi ini. Lihat dan perhatikan baik-baik, atas nama evangelikalisme (injili), kini banyak yang membela homoseksual, aborsi dan feminisme. Bagaimana mereka sampai kepada sikap demikian? Mereka menghasilkannya dengan mengakomodasi Firman Allah dengan perkembangan mode-mode intelektual yang terakhir.
Sedikit sekali yang mau dikenal sebagai 'orang kontroversial'. Mereka ingin dianggap mengasihi, ramah dan rasional. Orang dianggap 'rasional' jika ia tidak dogmatis. Seorang pengamat yang tajam dengan tepat mencatat hal ini ketika merenungkan semakin melemahnya keyakinan kaum injili itu. Ia mengatakan, bahwa "ada ketakutan yang berlebihan akan dianggap negatif, kontroversial dan suka bertengkar. Kritikan terhadap hampir segala hal telah menjadi hal yang tidak populer di antara orang-orang yang mengaku Kristen. Sikap mengasihi dianggap sebagai sebuah sikap yang menerima setiap orang sebagaimana adanya ...Kewajiban 'mempertahankan iman dengan tekun' bahkan semakin direndahkan. Menekankan hal-hal tersebut berarti mengambil resiko untuk kehilangan meningkatnya akseptasi yang diharapkan kaum injili' ".[34]
Ada suatu keinginan yang besar di antara kaum injili masa kini untuk bisa diterima oleh para penggerak dan pengguncang dunia ini. Mereka tidak mau dianggap sebagai kelompok penganut theologi sempit yang 'terbelakang'. Mereka ingin menjadi sorotan. Pengakuan dunia merupakan keinginan mereka yang menyala-nyala. Dan banyak yang rela membayar mahal untuk menerima posisi demikian.
Orang merasa ngeri membaca kritikan dari salah seorang pengamat, namun kebenarannya harus diakui: "Kelompok injili menjilat kesana-kemari untuk mendapatkan perhatian dunia sekuler yang tidak ambil peduli. Mereka menunjukkan dirinya patut dikasihani, bukannya mempunyai pikiran yang luas, lebih menunjukkan pengkhianatan daripada mengakomodasi ... yang bahkan lebih rela meninggalkan prinsip iman yang mendasar, seperti ketiadasalahan Alkitab, daripada tampil tidak sesuai mode".[35]Penulis yang sama ini melanjutkan,
Seperti para petani yang menggigil kedinginan di gubuknya yang terletak di lahan gedung tuan tanah yang luas, para pemimpin injili kerapkali kelihatannya merindukan sebuah tempat di dalam istana - dengan lampu yang terang-benderang, balon-balon dan hiasan-hiasan mutakhirnya - atau paling tidak pandangan doktrinalnya mendapat pengakuan dari World Council of Churches (Dewan Gereja-gereja Dunia), atau jika tidak mendapat pengakuan tersebut, setidak-tidaknya dimuat di dalam Christian Century. Sungguh sebuah sikap rendah diri yang menyedihkan, yaitu sikap selalu mengacu kepada pandangan yang lain, sementara pandangan sendiri tidak dipertahankan, dan kompromi yang tak henti-hentinya, sangat mewujudkan injili masa kini.[36]
Ketika Fuller Seminary didirikan, ia dipuji-puji sebagai sebuah institusi yang lebih "terbuka pikirannya". Sementara beberapa kalangan anggota fakultas yang mula-mula tidak senang dengan segala yang dibawa, mereka segera keluar dan seminari tersebut terbenam di jalur kompromi. Dalam perkembangan berikutnya, Marsden menulis, "Perlunya keterbukaan yang membentuk sebuah koalisi injili baru sebetulnya beresiko ... Itu juga berarti bahwa sebuah penekanan baru bisa tak terkendali".[37] Ya, jelas ia menjadi "tak terkendali". Penginjil radio terkenal, Charles Fuller seharusnya menunduk malu atas pemikiran yang berasal dari Fuller Seminary yang menggunakan nama evangelikalisme (injili).
Apa yang akan terjadi jika orang mengkompromikan kebenaran yang vital? Institusi, gereja, dan gerakan-gerakan dimana mereka terlibat akan mengalami pembusukan rohani. Bahkan seorang seperti Thomas Oden, seorang liberal, melihat bahaya akomodasi tersebut. "Pokok masalah theologi kontemporer adalah akomodatif terhadap modernitas ... Semangat akomodasi telah ... [mengarah kepada] pembusukan yang terus-menerus selama ratusan tahun dan bencana dekade-dekade terakhir".[38]Para pemimpin Injili Baru mula-mula tidak pernah bermimpi panjang bahwa para pengikut mereka akan meninggalkan posisi alkitabiah yang dihargai agar lebih mendapat pengakuan dan penerimaan yang lebih baik dari masyarakat, sehingga menghinakan tuntutan kebenaran Firman Allah yang tak boleh diubah. Semakin banyak orang injili yang mulai "mencurangi" doktrin inspirasi penuh yang dihormati sepanjang masa. Dalam sebuah penelitian yang mengagumkan, Schaeffer menunjukkan hubungan antara kompromi asli dengan kesesatan dan kompromi yang kemudian dengan doktrin esensial.
Mereka yang tidak meninggalkan denominasi yang dikendalikan liberal 50 tahun yang lalu juga berkembang menjadi dua sikap. Yang pertama adalah lahirnya latitudinarianisme umum (faham yang tidak menganggap penting dogma - penerjemah) ... Jika seseorang memegang faham latitudinarianisme gerejawi, maka akan gampang baginya masuk ke dalam latitudinarianisme kooperatif yang mudah sekali bergeser ke doktrin, termasuk pandangan seseorang terhadap Alkitab. Secara historis inilah yang terjadi. Karena latitudinarianisme gerejawi pada tahun 30-an dan 40-an muncullah kekecewaan terhadap Alkitab dalam hal-hal tertentu dari injili tahun 80-an.[39]
Gagasannya adalah bahwa semangat akomodatif yang banyak tertanam di dalam denominasi-denominasi lama yang telah sesat, yang menolak untuk memisahkan diri, tetap bertahan selama bertahun-tahun. Mereka tidak menghendaki adanya peperangan theologis. Mereka memperluas parameter penerimaan theologis sepanjang mereka berani mengakomodasi kelompok yang berbeda pandangan. Kubu mereka sangat besar. Hunter dengan jitu mengatakan bahwa "batas simbolis orthodoksi Protestan tidak dipertahankan atau diperkuat".[40]Ia bertanya-tanya apakah Protestan kontemporer kini tidak sanggup mempertahankan batas-batas tersebut. Dan kepada apakah ia menghubungkan ketidakmampuan yang menakutkan ini? Ini ada hubungannya dengan apa yang disebutnya "etika kesopanan".
Pada umumnya kaum injili dan khususnya generasi mendatang telah mengadopsi berbagai tahapan kode etik sopan-santun politis. Hal ini bukan saja memaksa mereka untuk bertoleransi terhadap keyakinan, pendapat dan gaya-hidup yang berbeda, tetapi yang lebih penting lagi adalah mereka bisa diterima oleh pihak lain. Dogma yang kritis adalah bukan untuk menyerang, tetapi bersikap sopan dan menjaga hubungan sosial. Adopsi etika ini selain mencerminkan diri mereka secara politis, ia juga mencerminkan diri mereka sebagai sebuah gaya religius ... Pengertian yang terakhir ini membawa kelonggaran penekanan aspek evangelikalisme yang lebih ofensif, seperti tudingan sesat, dosa, amoral, dan paganisme, serta pokok-pokok penghakiman, kemurkaan Allah, kutukan, dan neraka. Segala sesuatu yang mengisyaratkan keabsolutan moral atau religius dan tidak-toleran adalah sikap yang menghambat.[41]
Bagaimana mungkin semangat yang lazim di dalam evangelikalisme yang berkembang ini cocok dengan Firman Allah? Apakah rasul Paulus dan para pemimpin besar gereja mula-mula berusaha mengakomodasi pengajaran mereka terhadap para pendengar duniawi dan belum diselamatkan? Kepada orang Korintus ia menulis, "Demikianlah pula, ketika aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu... Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan..." (1 Kor. 2: 1, 4). Dalam pengajarannya di Tesalonika, Paulus tidak pernah "bermulut manis" (kata-kata yang dimaksudkan untuk memberikan kesan yang menyenangkan mereka, 1 Tes. 2: 5). Ia tidak berputar-putar, namun menyatakan kebenaran dengan jelas dan tanpa distorsi atau berusaha untuk membuatnya "cocok' dengan keinginan para pendengarnya (2 Kor. 4: 1-2). Banyak orang yang marah dengan pengajarannya, sehingga menyebabkan mereka berusaha untuk membunuhnya (Kis. 9: 23, 29). Ia terus-terang menyatakan bahwa pemberitaannya yang jelas dan tidak dibuat-buat adalah "kebodohan" bagi pendengar yang berpengalaman dengan hal-hal duniawi pada zamannya (1 Kor. 1: 23), meskipun demikian ia berjanji tidak akan ragu sedikitpun dalam memberitakan Injil yang tidak populer (1 Kor. 2: 2). Daripada mengelu-elukan hikmat dunia sebagai sesuatu yang didambakan, ia mengecamnya sebagai "kebodohan bagi Allah" (1 Kor. 3 : 19). Paulus bukan mengembangkan layar untuk berlayar di dunia ini. Ia memberitakan kebenaran dan bersandar kepada Roh Kudus untuk menerangi pikiran para pendengarnya. Paulus tidak memiliki semangat Injili Baru. Ia merupakan pejuang iman, yang memegang dan menggunakan pedang Roh untuk menghadapi musuh Allah.
Bayangan Kompromi Yang Memanjang
Injili Baru, seperti yang sudah dikatakan, berkembang di dalam pikiran para pemimpin yang hebat dan langsung memberi pengaruh yang luas dan mendapat banyak eksponen yang memiliki kemampuan. Pengaruh Injili Baru menjadi sangat kuat. Tangan-tangannya merambah sehingga menjangkau setiap area utama berkat usaha keras injili.
Pembentuk Pikiran Mahasiswa
Secara umum dikatakan bahwa seorang pribadi mencerminkan hasil pendidikan yang diperolehnya. Ia merupakan cerminan dari sekolah dimana ia belajar. Kebanyakan pemimpin Injili Baru yang orisinil merupakan cendekiawan dan pemimpin dari berbagai lembaga pendidikan. Nilai dari sekolah dan seminari yang tertanam tidak pernah terhapus dari dalam diri mereka. Untuk mengabadikan prinsip-prinsip mereka, mereka harus menyusup ke dalam kelas-kelas sekolah Kristen, sehingga mempengaruhi generasi pemimpin yang akan datang. Hal ini bisa mereka lakukan dengan kesuksesan yang luar biasa.
Salah satu sumber pemikiran Injili Baru mula-mula adalah Wheaton College, yang dihormati oleh banyak kalangan sebagai sebuah contoh klasik sekolah tinggi Kristen yang hebat. Secara bertahap posisinya memburuk sampai menampung dosen-dosen yang memegang faham evolusi theistik dan doktrin-doktrin sesat lainnya di fakultas mereka. Ia merupakan salah satu dari beberapa sekolah tinggi Kristen yang menjadi sumber studi yang dikumpulkan oleh James Davidson Hunter di dalam bukunya, "Evangelicalism: The Coming Generation". Secara mendasar, buku itu menguraikan kecenderungan liberalisasi yang sedang berlangsung di dalam banyak sekolah tinggi dan seminari injili yang diakui selama bertahun-tahun. Buku itu mendokumentasikan bagaimana mereka meninggalkan pandangan tradisional alkitabiah mengenai masalah keluarga, theologi, moral, politik, dan pendidikan. Buku tersebut merupakan buku yang menakutkan, yang memfokus kepada informasi yang berasal dari wawancara atas enambelas sekolah tinggi sastra dan seminari liberal yang menyatakan diri injili - Sekolah Tinggi: Wheaton College, Gordon College, Westmont College, Taylor University, Messiah College, George Fox College, Bethel College, Seattle-Pacific University, dan Houghton College; Seminari: Fuller Theological Seminary, Gordon-Conwell Theological Seminary, Westminster Theological Seminary, Asbury Theological Seminary, Talbot Theological Seminary, Wheaton Graduate School, dan Conservative Baptist Theological Seminary. Tepat sekali pengamatan Hunter ketika ia mengatakan, "Contoh-contoh sekolah tinggi dan seminari ini mewakili pendidikan tinggi yang menjadi jantung Injili Amerika".[42] Hunter tidak melakukan pendekatan terhadap subyeknya sebagai fundamentalis, namun pengertiannya bercerita banyak.
Bertahun-tahun yang lalu, ketika Injili Baru boleh dikatakan hampir belum berkembang atau menyebar seperti sekarang, seorang penulis mencatat, "Sejumlah sekolah berkembang yang di masa lalu dikenal berpendirian fundamentalisme, kini memiliki staf pengajar yang berbicara sangat keras untuk neo-evangelikalisme dan mengajarkan prinsip-prinsipnya kepada para mahasiswa. Hasilnya telah dan akan terus merusak".[43]
Ketika kita memeriksa daftar sekolah yang diteliti oleh Hunter, pikiran kita akan menelusuri kembali masa lalu untuk merenungkan permulaan dari beberapa sekolah tersebut. Gordon College, misalnya, berasal dari institut Alkitab yang dimulai oleh A. J. Gordon, seorang gembala fundamentalis yang hebat dan misionari yang bersemangat. Houghton College dimulai oleh orang-orang konservatif yang saleh, seperti juga halnya dengan Asbury. Conservative Baptist Seminary of Denver terbentuk sebagai sebuah protes terhadap lembaga-lembaga liberal yang ada di dalam Northern Baptist Convention lama, tetapi ia segera tergelincir masuk ke dalam Injili Baru; banyak orang yang bersuka-cita atas kemunculan tersebut akhirnya menangisi kemundurannya dan keluar dari kepengurusannya. Westminster Seminary terbentuk sebagai akibat peperangan antara J. Gresham Machen menentang liberalisme di dalam Presbyterian.
Bagaimana kita merangkum penyimpangan pusat pengetahuan Injili Baru yang dipelajari Hunter? Berikut ini adalah kesimpulan yang diberikannya:
Namun hal ini sangat jelas: Protestanisme konservatif telah berubah secara signifikan sejak awal abad itu, dan dari segala sudut, ia terus berubah ... Hal terpenting yang dipermasalahkan adalah mengenai tempat Alkitab. Kalau bisa, seperti sikap yang terus berkembang di dalam Injili, Alkitab akan ditafsirkan secara subyektif dan memandang perikop-perikop Alkitab secara simbolis atau tidak mengikat, Alkitab dilepaskan otoritasnya yang menuntut ketaatan. Alkitab boleh saja merupakan wahyu, tetapi secara substansial telah dilucuti.[44]
Dengan kata lain, Hunter berkata bahwa sekolah-sekolah tinggi dan seminari injili menganut pandangan Alkitab yang longgar. Jika hal ini mulai terjadi, maka otoritas Alkitab telah diruntuhkan dan ia bukan lagi Firman dari Allah yang final, melainkan telah menjadi sebuah karung undian dimana setiap orang bisa mendapatkan dukungan untuk menyokong pendapat terakhir yang beredar.
Kaum injili tersengat oleh "serangga prestise akademis". Serangga tersebut dapat menyebabkan penyakit yang fatal. Dalam meneliti perubahan fundamentalis ke Injili Baru, ada yang menunjukkan akar penyebab permasalahan tersebut - pengaruh dari sekolah-sekolah yang tidak alkitabiah.
Tak pelak lagi, sejumlah tertentu mahasiswa muda (dari latar-belakang injili) dan para gembala yang kurang berpengaruh yang pernah berkecimpung di Yale, Universitas Chicago, atau universitas terkemuka lainnya, telah merumuskan kembali keyakinan religius mereka ketika masih berada di dalam lembaga-lembaga tersebut.
Dalam hal itu, mereka tidak selalu mempertahankan pedoman mereka kepada sikap injili terhadap Alkitab. Seminari-seminari khususnya kerapkali harus mengambil pilihan yang sulit dalam mempekerjakan staf pengajar di antara orang-orang yang terlatih tersebut. Kerugian rohani bisa terjadi ketika seseorang dipekerjakan yang tetap memakai nama Evangelikal tanpa kebenaran Evangelikalisme yang mempertahankan infalibilitas atau ketiadasalahan Alkitab.[45]
Sehelai Kain Linen Kotor
Secara tradisi seminari-seminari telah menjadi sumber pelayan-pelayan Tuhan yang terlatih. Sayangnya, tidak banyak lagi seminari yang tetap berdiri di atas iman lama dan pengajaran orthodoks Alkitab. Dalam ruang penelitian ini, kita tidak bisa secara terperinci menguji spektrum seminari yang luas itu. Terlalu banyak kain linen yang harus diuji, namun kita harus membatasi diri kita kepada satu contoh jelas yang bisa dipakai untuk menggambarkan masalah itu. Contoh yang kita pilih adalah Fuller Theological Seminary. Untuk mendapat hasil studi yang lengkap mengenai permasalahan di Fuller, orang harus membaca karya hebat dari George Marsden yang berjudul Reforming Fundamentalism: Fuller Seminary and the New Evangelicalism. Buku tersebut mengembangkan tujuh masalah:
(1) Fuller Seminary dimulai dengan tujuan khusus untuk mengubah citra dan arah fundamentalisme. Penulis ini ingat ketika seminari itu mulai didirikan. Pada saat itu ia adalah seorang mahasiswa di Bob Jones University. Dr. Bob Jones, Sr., baru kembali dari perjalanannya di West Coast (Pantai Barat) dimana ia mengunjungi sahabatnya, Charles Fuller, pengkhotbah radio yang terkenal. Dr. Jones berkata kepada mahasiswa-mahasiswa theologinya, "Anak-anak, saya baru saja mengunjungi Charlie [Fuller]. Ia mengatakan kepada saya bahwa ia akan memulai sebuah seminari yang akan menghasilkan orang-orang yang akan mengubah denominasi-denominasi sesat yang lama. Saya mengatakan kepada Charlie, bahwa hal itu tidak akan terjadi dan bahwa ia akan menyesali keputusannya itu". Saya tidak ingat semua hal lain yang dikatakan Dr. Jones pada hari itu, namun ia sangat terganggu oleh masalah tersebut. Sebagai seorang mahasiswa muda, saya tidak menyerap penuh signifikansi mengenai apa yang dikatakannya, namun terbukti perkiraannya benar.
(2) Ketegangan muncul pada masa awal di Fuller ketika sekolah itu berusaha mempertahankan hubungan dengan kaum fundamentalis, sementara tetap berusaha mengejar perubahan. Wilbur Smith menjadi sandungan khusus di kalangan yang berusaha keras untuk melakukan perubahan radikal. Smith berasal dari "kelompok lama" dan prihatin dengan apa yang dianggapnya sebagai kecenderungan doktrinal yang tidak sehat.
(3) Kaum fundamentalis semakin hari semakin menolak seminari tersebut.
(4) Pertentangan terjadi di antara staf pengajar mengenai sifat inspirasi Alkitab dan masalah-masalah lainnya.
(5) Anggota staf pengajar yang konservatif mulai keluar. Mereka termasuk Wilbur Smith, Charles Woodbridge dan Harold Lindsell. Alasan utama dibalik pengunduran diri ini adalah melemahnya posisi sekolah tersebut terhadap sikap kemutlakan Alkitab. Lindsell mendokumentasikan perjuangan mengenai hal ini di dalam bab "The Strange Case of Fuller Theological Seminary" ("Kasus Aneh Seminari Theologi Fuller") di dalam bukunya The Battle for the Bible ("Pertempuran demi Alkitab").[46]
(6) Seminari tersebut mengubah pernyataan doktrinalnya untuk mengakomodasi kelompok yang tidak percaya bahwa Alkitab tidak ada kesalahan. Di antara pemimpin kelompok ini adalah putera sang pendiri sendiri, Daniel Fuller, yang menjadi dekan fakultas tersebut. Ini merupakan gerakan final yang memacu sekolah itu menuju posisi theologis yang semakin ke sayap kiri.
Cerita menyedihkan tentang bubarnya Fuller Seminary tersebut seharusnya menjadi peringatan bagi semua pihak yang bermaksud meliberalisasi doktrin-doktrin Alkitab. Awal kompromi pasti akan berkembang semakin besar dengan berlalunya waktu. Ada kalangan yang memandang kompromi di dalam theologi sebagai suatu tanda kedewasaan. Wuthnow mencatat bahwa para cendekiawan injili masa kini "kurang dogmatis dalam menghadapi kalangan yang menganut pandangan yang berbeda".[47] Memang begitulah kenyataannya, namun sikap tersebut telah menjadi kehancuran gerakan injili. Kita harus "memegang ajaran yang sehat" (2 Tim. 1: 13). Kewaspadaan dan perjuangan terus-menerus adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan iman. Ada satu semangat perjuangan tertentu yang diperlukan jika kita ingin mempertahankan "iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus" (Yudas 3).
Salah satu ilustrasi paling menyedihkan mengenai betapa jauhnya arus kompromi menyeret seorang cendekiawan dapat dilihat di dalam kasus Bernard Ramm. Karena ketika masih muda Ramm diasuh di dalam lingkungan fundamentalis yang kuat, maka karya-karya awalnya sangat menolong (misalnya Protestant Biblical Interpretation). Namun karena menyimpan keinginan untuk diterima secara akademis, Ramm bergeser semakin jauh dari posisi theologis yang mantap. Betapa mengagetkannya jika kita membaca dengan teliti bukunya yang berjudul After Fundamentalism yang terbit tahun 1983 dan mendapatkan ia membela sistem theologi Karl Barth, yang menolak ketiadasalahan Alkitab (inerrancy) serta doktrin-doktrin utama lainnya. "Betapa besarnya kejatuhan itu!"
Turun ke Tengah-tengah Jalan
Untuk menyebarkan pendapat dibutuhkan publikasi. Injili Baru segera menggunakan media tulisan agar bisa menyebarkan pengajaran mereka. Banyak sekali cendekiawan yang mampu menulis di antara mereka, dan banyak badan penerbit yang siap menerbitkan karya-karya mereka. Salah satu langkah awal dan yang signifikan dalam menyebarkan injil Injili Baru adalah didirikannya majalah Christianity Today. Harold Ockenga dan Billy Graham, dengan bantuan seorang Presbyterian awam yang kaya, J. Howard Pew, mewujudkan terbitan berkala yang menjadi suara terkemuka Injili Baru tersebut. Dalam pembicaraan mengenai pendirian majalah itu, Billy Graham mengusulkan kepada Harold Lindsell agar Carl Henry dipertimbangkan untuk menempati posisi editor, karena kemungkinan ia juga fundamentalistik. Marsden, dalam analisisnya mengenai kecocokan Graham dan Lindsell dalam kutipannya menulis,
Majalah baru tersebut, seperti yang diharapkan Graham, akan "menancapkan bendera injili di tengah-tengah jalan, dengan mengambil posisi theologis konservatif, tetapi dengan pendekatan liberal yang nyata terhadap permasalahan sosial. Ia akan memadukan (sisi) liberalisme yang terbaik dengan (sisi) fundamentalisme yang terbaik tanpa berkompromi secara theologis". Ia akan dinilai baik maupun buruk oleh Dewan Gereja National dan Dunia (the World and National Council of Churches). Lebih spesifik lagi, "Pandangannya tentang Penginspirasian Alkitab agak sama jalurnya dengan buku Bernard Ramm yang terakhir [The Christian View of Science and the Scripture], yang menurut pendapat saya tidak bergeser jauh dari Penginspirasian, namun sebaliknya memberi dukungan yang kuat kepada keyakinan kita mengenai Penginspirasian Alkitab".[48]
Frase "di tengah-tengah jalan" adalah istilah yang sangat cocok digunakan untuk para pendukung Injili Baru. Strategi aslinya adalah menekankan sifat kesamaan di antara para pemimpin ekumenis, sehingga bisa menghasilkan pengetahuan yang lebih luas untuk majalah tersebut. Demi kehormatannya, Carl Henry tidak menyetujui pendekatan ini, meskipun dengan berjalannya waktu, pendekatan ini menjadi pendorong yang umum dari majalah itu. Dalam terbitan awalnya, muncul dua editorial kunci: "Beranikah Kita Hidupkan Kembali Konflik Modernis-Fundamentalis?" (10 Juni 1957) dan "Beranikah Kita Mengulang Kontroversi Itu?" (24 Juni 1957). Editorial tersebut menggambarkan perkembangan ketidaksabaran yang berusaha terus menghidupkan perdebatan antara liberalisme dan fundamentalisme. Editorial yang lain menyatakan bahwa majalah tersebut akan "membawa dampak positif yang luas dan konstruktif, bukan negatif dan destruktif."[49]Dengan demikian halaman-halaman Christianity Today terus-menerus mencerminkan filosofi ini, yaitu penolakan terhadap semangat perjuangan menentang kesesatan dan para pencetus ekumenisnya.
Kebanyakan orang Injili Baru mula-mula merupakan penulis yang produktif. Orang-orang seperti Carl Henry, Bernard Ramm, Edward J. Carnell, Vernon Grounds, dan Harold Ockenga menghasilkan banyak buku. Carnell terutama sangat keras menentang fundamentalisme dan menumpahkan kebenciannya di dalam The Case for Orthodoxy. Posisi lemah mengenai inspirasi Alkitab dinyatakan di dalam buku Dewey Beegle, The Inspiration of Scripture. Usaha untuk membela praktek penginjilan ekumene dilakukan oleh Robert Ferm di dalam terbitannya, Cooperative Evangelism. Pembahasan telah dilakukan lebih dahulu di dalam buku Carl Henry, The Uneasy Conscience of Modern Fundamentalism, dimana ia memberikan tempat yang lebih besar kepada kaum injili untuk terlibat di dalam masalah sosial. Karyanya, Remaking the Modern Mind juga merupakan sebuah hasil signifikan pada masa itu. Bernard Ramm berusaha menyesuaikan pengajaran alkitabiah dengan pandangan ilmiah yang beredar di dalam karyanya Christian View of Science and Scripture.
Semua karya tersebut mempunyai kesamaan karakteristik (ciri) tertentu. Pertama-tama, mandat akademis dan kemampuan dari para penulis itu terbukti. Mereka dibaca luas dan sangat berpengetahuan. Hal ini membuat tulisan mereka mendapat kredibilitas besar, terutama di antara para injili yang lebih muda, yang merasa bahwa fundamentalisme kurang mendapat penghargaan akademis. Dalam banyak karya mereka, kaum Injili Baru mula-mula memberikan kepercayaan yang amat besar kepada tulisan musuh-musuh Kekristenan. Kecenderungan ini berlangsung sampai saat ini. Karya kaum Injili Baru penuh dengan catatan kaki dan bibliografi yang diambil dari para penulis liberal dan neo-orthodoks, namun secara khusus kurang rujukannya dengan karya-karya dari kaum fundamentalis yang solid. Ini merupakan bagian dari usaha terus-menerus untuk membentuk iman Kristen agar sesuai dengan konteks modern. Proses inilah yang kini disebut "kontekstualisasi" oleh beberapa kalangan, yakni usaha untuk "memodernisasikan" pengajaran dan metode gereja agar lebih sesuai dengan budaya sekitarnya pada masa kita.
Dampak dari Organisasi ' Parachurch '
Injili Baru bukan saja menyusup ke dalam gereja-gereja mapan, namun juga menyebar melalui perantaraan pelbagai kelompok inter-denominasi, di antaranya ada yang sangat berpengaruh. Salah satu organisasi demikian adalah Campus Crusade-nya Bill Bright. Bright merupakan mahasiswa di Fuller Seminary ketika ia merasa prihatin atas kebutuhan rohani para mahasiswa dan mulai melayani di antara mereka. Ia tidak menyelesaikan kuliah, namun meninggalkan kampus pada tahun 1951 untuk mendirikan organisasinya. Selama bertahun-tahun anggota Crusade memiliki hubungan yang dekat dengan Fuller Seminary dan telah banyak menyerap pandangan posisi itu. Dalam bukunya, Revolution Now, Bright menyatakan bahwa Kristus adalah seorang revolusioner terbesar yang pernah ada dan mengajak para pengikutNya untuk mencari suatu strategi yang dapat membantu mengubah dunia. Sebuah film yang diproduksi oleh Crusade menggunakan judul demikian - Come Help Change the World. Ini kelihatannya mengabaikan pengajaran alkitabiah yang jelas, bahwa misi jemaat bukanlah mengubah dunia, namun memberitakan Injil, sehingga dapat membawa kumpulan orang keluar dari dunia untuk menjadi mempelai bagi Kristus. Crusade memiliki hubungan yang erat dengan tim penginjilan ekumenis Billy Graham, dan banyak Injili Baru terkemuka terlibat di dalam dewan Campus Crusade, orang-orang seperti Harold Ockenga, Mark Hatfield dan Dan Fuller. Seorang mantan pengerja Campus Crusade menyebutkan karakteristik pelayanan mereka:
Salah satu alasan mengapa pengajaran Campus Crusade demikian populer adalah karena pengerja Campus Crusade diajarkan untuk tidak menggunakan "jargon Kristen", seperti saksi, bertobat, berubah, darah, neraka, dosa, diselamatkan, kekudusan, dan kesesatan ... Kebanyakan mahasiswa dan anggota staff Campus Crusade yang bergabung bersama saya tetap menolak untuk meninggalkan gereja-gereja dan denominasi yang sesat ... Dalam semua pertemuan Campus Crusade yang pernah saya hadiri, saya merasa tidak pernah sekalipun mendengar kata baptisan itu disebutkan ... Mereka kelihatannya menganggap jemaat lokal sebagai sebuah tubuh malang dan meronta-ronta yang terdesak membutuhkan program dan metodologi super-semarak yang memberi nafas hidup dari Crusade.[50]
Kelompok lain yang mewakili semangat Injili Baru adalah Inter-Varsity dan World Vision. Kelompok-kelompok kurang terkenal lainnya yang tak terhitung dapat ditambahkan ke jumlah tersebut.
Salah satu dari media terkuat untuk penyebaran pengajaran Injili Baru adalah National Association of Evangelicals (NAE). Didirikan pada tahun 1942, organisasi ini telah menjadi corong suara dari para pemimpin gerakan Injili Baru. Sementara NAE mendahului munculnya Injili Baru, kaum Injili Baru ketika sungguh-sungguh mulai tampil, meneguhkan dan mempromosikan NAE. Berbagai denominasi yang tercakup di dalam NAE akan memberikan gagasan theologis untuk dimasukkan ke dalam organisasi itu. Beberapa di antara anggota kelompok tersebut adalah sebagai berikut:
The Baptist General Conference
Assemblies of God
Christian and Missionary Alliance
Evangelical Free Church
Church of God
The Wesleyan Church
International Pentecostal Holiness Church
Free Methodist Church
Keanggotaannya dibebani dengan kekudusan yang berat dan gereja-gereja Pentakosta. Sebenarnya, keanggotaan NAE-lah yang telah memberi banyak kehormatan kepada badan-badan tersebut di dalam kalangan injili, sehingga mereka tidak perlu mengedepankan identifikasi mereka.
NAE memiliki kecenderungan ekumenis yang luas, baik pada tingkat nasional maupun melalui afiliasi regional mereka. Virgil Law, pemimpin dan jurubicara Washington Association of Evangelicals, menyatakan bahwa "kaum injili kadang-kadang merasa mereka lebih sama dengan kaum Protestan liberal yang mereka tinggalkan 40 tahun yang lalu dibandingkan dengan saudara-saudara dari kaum fundamentalis".[51] Ia meneruskan pengamatannya bahwa "kaum injili menyambut hangat kaum liberal".[52]
NAE mengambil posisi yang jelas menentang pemisahan gerejawi (church/ecclesiastical separation). Ketua pertamanya, Harold Ockenga, yang pada saat itu merupakan gembala Park Street Church di Boston, menjelaskan keyakinannya sebagai berikut: "Strategi fundamentalis adalah salah. Hal ini memunculkan semboyan untuk memiliki jemaat yang murni, baik sebagai jemaat maupun sebagai denominasi. Eksegesis 2 Kor. 6: 14-18 dan perumpamaan tentang ilalang merupakan dasar ekklesiologinya. Praktek menyedihkan yang disebut "paham keluar-dari" berkembang. Keyakinan bahwa seseorang harus memiliki dan akan menemukan sebuah jemaat yang murni di dunia menyebabkan perpecahan".[53]
NAE mempunyai karakteristik semangat damai dan kooperatif. Mereka berusaha sedapat mungkin untuk inklusif. Ia sungguh-sungguh merupakan "koalisi injili baru".[54]Sementara para pemimpin yang mendirikan NAE terutama berasal dari kaum Calvinis, mereka melihat ada peluang untuk mengembangkan kerjasama yang luas di antara berbagai kelompok yang berbeda, yang dalam penilaian mereka, tidak harus mengorbankan keyakinan pribadi. Sehingga judul sejarah pertama yang definitif dari kelompok itu adalah Cooperation Without Compromise (Kerjasama Tanpa Kompromi).
NAE mempunyai banyak organisasi afiliasi. Salah satunya adalah National Religious Broadcasters (NRB = Badan Penyiar Agama Nasional). Salah satu alasan utama dibentuknya organisasi NRB adalah konflik mengenai siaran agama. Federal Council of Churches (pendahulu dari National Council of Churches yang sekarang) membujuk jaringan-jaringan utama untuk menolak menjual jam-siar kepada penyiar-penyiar agama dengan alasan bahwa hal ini akan menghentikan masalah "keributan agama". Namun sebenarnya, penyiar fundamentalis telah berhasil menjangkau semakin banyak pendengar yang bisa ditolerir oleh para pemimpin yang sesat, sehingga mereka berusaha menghentikannya. Pembatasan siaran rohani merupakan bagian dari perang mereka melawan fundamentalisme. NRB dibentuk pada tahun 1944 untuk melindungi hak penyiar injili dan untuk memungkinkan mereka untuk terus mengudara. NRB kini menaungi spektrum yang luas, termasuk radio rohani, pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok televisi (kebanyakan orang Injili Baru) dan telah menjangkau keluar benua Amerika Serikat, termasuk orang-orang dari negara lain.
Mengkontaminasi Amanat Agung
Injili Baru mempunyai pengaruh yang mendunia melalui berbagai organisasi misi, demikian juga melalui konferensi-konferensi dunia yang dihadiri oleh orang-orang dari berbagai negara. Jadi, permasalahan Injili Baru tidak terbatas di Amerika Serikat saja, tetapi akan dihadapi oleh misionari dari negeri lain.
Salah satu faktor utama awal mendunianya penyebaran pengajaran Injili Baru adalah Kongres Dunia Injili yang diselenggarakan di Berlin pada tahun 1966. Billy Graham menjadi motivator utama di balik kongres ini. Banyak informasi mengenai hal itu bisa diperoleh di dalam dua buku-besar, One Race, One Gospel, One Task, yang diedit oleh Carl Henry dan Stanley Mooneyham. Carl McIntire, seorang pemimpin fundamentalis, dilarang masuk kongres tersebut, walaupun ia memegang surat kepercayaan pers. Namun, Oral Roberts, pemimpin Pentakosta, disambut dengan tangan terbuka. Ini merupakan salah satu pertemuan internasional yang menyebarkan virus Injili Baru kepada sejumlah besar para pemimpin dari negeri lain. Pada tahun 1969 Kongres Injili Amerika Serikat dilaksanakan di Minneapolis. Kira-kira lima ribu orang hadir dan pembicaranya adalah Billy Graham dan yang lain. Dalam pertemuan itu ditekankan masalah aksi sosial.
Key '73 merupakan jaringan lain dari rangkaian usaha keras misi ekumenis itu. Ia merupakan usaha penginjilan ke kota-kota dan masyarakat-masyarakat secara serentak dan membenua. Terdapat 130 kelompok gereja yang berpartisipasi. Komite Eksekutifnya terdiri dari Presbyterian, Baptis Amerika, Methodis, Southern Baptist, Anglikan dan lain-lain. Themanya adalah "Memanggil Benua Kita Datang Kepada Kristus". Gagasan usaha tersebut lahir dalam sebuah pertemuan khusus di Marriot Key Bridge Motor Hotel di Arlington, Virginia, pada tahun 1967. Apa yang dinamakan dengan Key Bridge Consultation ini dipimpin oleh Billy Graham dan Carl Henry dan terdiri atas kira-kira empatpuluh pemimpin. Mereka memutuskan mengembangkan beberapa rencana untuk menghadapi setiap orang di Amerika Utara dengan Injil. Walau itu merupakan tujuan yang mulia, namun metode pencapaiannya diputuskan secara ekumenis. Para pemimpin di antara beberapa denominasi yang paling sesat, seperti misalnya United Methodist Church, turut ambil bagian. Demikian juga dengan kelompok-kelompok Katolik Roma. Perhatikan penjelasan para uskup Katolik di Missouri ketika mereka memanggil orang setia untuk turut ambil bagian:
Kami, Uskup-uskup Katolik Missouri, dengan sukacita mengumumkan kepada anda semua, bahwa sebagai wakil umat Katolik, kami telah menerima sebuah undangan untuk bergabung di dalam program yang dikenal dengan Key '73 ...
Ia akan dipenuhi dengan semangat ekumenisme yang asli... Salah satu cara untuk memupuk pembaharuan hubungan pribadi kita dengan Kristus adalah dengan sepenuh hati mengambil bagian di dalam pengorbanan diri Kristus di dalam Misa, ketaatan penuh kepada Kristus yang hadir di dalam Ekaristi, yakni pertemuan pribadi dengan Kristus sang Pemulih dan Pendamai di dalam Sakramen Penebusan Dosa... penggunaan Rosario... Kita harus berusaha keras untuk memperdalam ketaatan dan kesetiaan kepada Bapa Tersuci. Paus Paulus VII.[55]
Sedikit sekali yang memperhatikan perbedaan antara kesesatan dan orang percaya. Salah satu brosur Key '73 berkata, "Key '73 merupakan sebuah tanda yang penuh pengharapan, sehingga peperangan antara sebuah fundamentalisme yang mati dan sebuah liberalisme yang tidak bernyawa kini ditinggalkan di belakang, dan hanya merupakan perang bagi mereka yang ingin hidup dengan masa lalu".[56] Pernyataan ini tentu saja hanya merupakan wujud suatu angan-angan, yaitu, bahwa fundamentalisme dan liberalisme telah mati, sehingga kita pindah kepada masalah yang lebih besar dan lebih baik. Sebenarnya, masih ada peperangan sengit antara kesalahan, seperti yang terwujud di dalam liberalisme. Dan kebenaran, seperti yang terwujud di dalam fundamentalisme.
Pada tahun 1974 langkah berikutnya diambil untuk memperluas cakupan Injili Baru ke seluruh dunia. Kongres Internasional Penginjilan Dunia diselenggarakan di Lausanne, Switzerland. Sekali lagi, sebuah semangat ekumenis menang. Billy Graham menjadi ketua kehormatan. Tokoh lain yang menjadi komite perencana adalah Bill Bright, Leighton Ford, Don Hoke, Harold Lindsell, Stan Mooneyham, dan Clyde Taylor. Graham dan Carl Henry berbicara disitu, demikian juga Malcolm Muggeridge, Ralph Winter, George Peters, Rene Padilla, Donald McGavran, John Stott dan lain-lain. Ada yang berkomentar, bahwa kongres tersebut jelas sekali merupakan "Sebuah Konsorsium Kompromi". Sekitar dua-perlima orang injili yang hadir adalah anggota gereja yang berafiliasi dengan World Council of Churches (Dewan Gereja-gereja Dunia). Billy Graham menegaskan kembali fakta bahwa ia mempunyai "hubungan yang hangat" dengan World Council of Churches dan berharap akan terus demikian. Konsep penginjilan ekumenis didorong dengan kuat.
Pertemuan di Lausanne memberikan dorongan yang besar kepada apa yang dinamakan "ethno-theological" atau pendekatan "kontekstualisasi" bagi pekerjaan misi luar negeri. Salah satu sub-komitenya adalah "Konsultasi Lausanne mengenai Injil dan Budaya". diketuai oleh John Stott. Ia berpendapat bahwa "hanya ... dengan hasil Kongres Lausanne mengenai Penginjilan Dunia pada tahun 1974, para pemilih injili yang secara bulat mengakui budaya sebagai pusat kepentingan sebagai jalan komunikasi yang efektif bagi Injil"[57] Ini memang sebuah pernyataan yang sangat signifikan. Benarkah "budaya" memiliki peran utama yang terpenting di dalam memberitakan Injil? Ini jelas suatu penyimpangan dari pandangan misi yang tradisional (dan, kami yakin, yang alkitabiah). Kita tidak boleh mengadaptasikan diri kepada manusia. Manusia yang seharusnya menundukkan diri kepada Allah. Allah tidak mempunyai pengajaran yang harus dibentuk oleh budaya manusia. Ia mempunyai pengajaran yang menyatakan sebuah ultimatum kepada manusia yang tersesat, bahwa mereka harus bertobat dan kembali kepadaNya.
Apa yang dimaksud dengan "kontekstualisasi"? Ada yang mengatakan istilah tersebut "mengacu kepada titik yang meninggalkan pemikiran theologi sistematik menuju kepada pandangan sejarah kontemporer yang bertentangan dengan tradisi alkitabiah".[58]Dengan kata lain, orang berusaha agar pengajaran dapat disesuaikan dengan keinginan manusia dan pemikiran mereka, bukan yang memanggil mereka untuk menerima pola pemikiran Alkitab. McGavran, sang 'imam agung' "Gerakan Pertumbuhan Gereja" menyampaikan hasil penelitian yang mengagetkan ini: "Hambatan besar orang untuk bertobat adalah masalah sosial, bukan theologis. Akan banyak orang Islam dan Hindu yang segera bertobat, jika ada jalan bagi mereka untuk menjadi Kristen tanpa meninggalkan saudara mereka, yang bagi mereka kelihatan seperti pengkhianatan".[59]
Kitab Suci secara khusus menyatakan bahwa hambatan pertobatan adalah karena masalah theologis. Manusia sudah mati karena dosa-dosanya (Ef. 2: 1), dan benar-benar buta akan kebenaran rohani (2 Kor. 4: 3-4). Tidak seorangpun yang mencari Allah (Rom. 3: 11); mereka dihinggapi kekerasan hati (Rom. 2: 5). Semua penyesuaian kultural (budaya) di dunia tidak akan mengatasi keadaan-keadaan ini. Hanya pekerjaan Roh Allah yang berkuasa melalui pemberitaan Injillah yang akan menghasilkan perubahan!
Dari pertemuan Lausanne I (dibandingkan dengan pertemuan Lausanne II yang berikutnya), hadirlah gegap-gempita "Perjanjian Lausanne". Keputusan pertemuan itu menghasilkan limabelas pernyataan yang dianggap merupakan cermin "konsensus injili" dalam hal-hal tertentu yang menjadi pedoman bagi doktrin dan praktek. Ada dua hal yang perlu dicatat. Yang pertama berkaitan dengan Kitab Suci. Pernyataan itu berbunyi, "Kami mengakui inspirasi, kepenuhan kebenaran dan otoritas Allah, baik di dalam keseluruhan Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sebagai satu-satunya Firman Allah yang tertulis, tanpa kesalahan di dalam semua pernyataannnya, dan merupakan satu-satunya pedoman iman dan praktek yang sempurna".[60]Susunan kata tersebut diciptakan untuk memenuhi keinginan Injili Baru yang mempertahankan posisi bahwa Alkitab tidak "tegas" (mengajar dengan otoritas yang mutlak) mengenai hal-hal seperti geografis, ilmu pengetahuan, atau rincian sejarah, kecuali hanya doktrin yang penting untuk keselamatan. Bidang lain adalah yang berkaitan dengan Roh Kudus. Pernyataan itu mendorong orang Kristen untuk berdoa mohon kunjungan khusus dari Roh Kudus, sehingga "segala karuniaNya bisa memperkaya tubuh Kristus".[61]Hal ini termasuk untuk mengakomodasi kaum kharismatik yang hadir dalam jumlah besar. Salah satu uraian yang paling menyedihkan mengenai keadaan evangelikalisme pada saat itu adalah keterangan yang dimuat di dalam sebuah artikel yang ditulis oleh pimpinan salah satu seminari injili yang paling bergengsi di Amerika, sebuah institusi yang dianggap oleh banyak kalangan sebagai fundamentalis. Sebagai peserta yang diundang, ia menyimpulkan bahwa walaupun kita tidak setuju dengan metode orang lain, kita tidak boleh mengkritik mereka yang mencoba menginjil. Sebagai anggota Independent Fundamental Churches of America (Gereja-gereja Fundamental Independen Amerika), ia menulis sebuah artikel untuk publikasi resmi mereka. (Harus dicamkan secara terbuka, bahwa banyak anggota organisasi tersebut tidak menyetujui kesimpulannya.) Penulis tersebut mengatakan,
Bagi penulis, tantangan yang kita hadapi di dalam IFCA bukanlah pertanyaan mengenai apakah Konferensi Lausanne itu harus begini atau begitu... Masalah sesungguhnya yang kita hadapi adalah pertanyaan mengenai apa yang harus kita lakukan secara konstruktif sebagai sebuah gerakan dan sebagai individu dan gereja agar Injil bisa diberitakan kepada segala makhluk. Sebelum kita sendiri secara bulat menyepakati tugas penginjilan dunia, kita tidak boleh mengkritik orang lain yang secara jujur berusaha ke arah itu.[62]
Sayangnya, pengamatan yang baru dikutip di atas merupakan ciri-ciri jawaban dari berbagai kalangan injili untuk mengkompromikan program sejenis ini. Ia kekurangan semangat juang untuk membongkar kesalahan yang seharusnya diperoleh di dalam analisis seorang pemimpin Kristen terhadap pandangan theologis yang demikian campur-aduk seperti yang ditemukan di dalam konferensi di Lausanne. Penulis menyurati pemimpin Kristen tersebut pada saat itu. Sebagian surat tersebut dikutip disini, karena membahas beberapa hal yang sangat penting yang harus dihadapi orang Kristen.
Saya baru saja selesai membaca artikel anda dalam Voice edisi Maret-April tentang Kongres Penginjilan Dunia di Lausanne. Saya sangat kecewa dengan artikel tersebut. Artikel itu tidak memaparkan bahaya tersembunyi dan kompromi terbuka dari pertemuan tersebut yang dulu pernah dinyatakan di dalam Kongres Berlin beberapa tahun yang lalu. Anda memang menyebutkan fakta bahwa ada diantara mereka yang orthodoksi theologisnya diragukan, tetapi anda tidak menekankan hal penting ini seperti yang dikatakan Kitab Suci. Jelas "khalayak ramai yang campur-aduk" ini sama sekali tidak mewakili posisi historis IFCA seperti yang saya pahami. Bagi saya kelihatannya tantangan yang dihadapi IFCA berkaitan langsung dengan pertanyaan "mengenai apakah Konferensi Lausanne memang harus demikian".
Hal ini merupakan masalah yang sangat penting. Ada atau tidaknya orang-orang yang hadir disitu yang mempunyai hati bagi misi dunia dan keprihatinan kepada orang-orang yang terhilang ada disamping masalah ini. Masalahnya adalah apakah keprihatinan ini dinyatakan di dalam kerangka alkitabiah atau tidak. Saya yakin tidak ...
Gaya kompromi yang dicerminkan di Lausanne harus benar-benar diungkapkan oleh orang-orang yang memegang posisi pimpinan dan memiliki pengaruh. Banyak diantara kita yang "sungguh-sungguh memiliki beban komitmen untuk penginjilan dunia", karena itu kita percaya bahwa kita memiliki hak dan kewajiban alkitabiah untuk mengkritik mereka yang berusaha keras untuk menginjil dalam konteks yang tidak alkitabiah.[63]
Christian Century yang liberal memberikan komentar mengenai pertemuan Lausanne: "Selain itu, 'Perjanjian Lausanne', yang merupakan sebuah penegasan iman dan kesaksian injili yang singkat namun berbasis luas, membuat jelas bahwa banyak orang Protestan konservatif telah siap menumpahkan isi koper fundamentalis yang menghambat mereka untuk mengambil bagian secara penuh di dalam kehidupan gerejawi yang mendunia".[64]
Pada tahun 1989 Kongres Penginjilan Dunia Internasional kedua bersidang di Manila. Billy Graham juga merupakan salah seorang pendukung pertemuan ini. Ada yang menyebut pertemuan itu sebagai "Global Camp Meeting" . Pertemuan itu diikuti oleh berbagai peserta yang berasal dari latar-belakang dan perspektif theologis yang berbeda. Paling sedikit ada tiga masalah menonjol yang muncul dari pertemuan ini:
1. Bisakah kharismatik dan non-kharismatik bekerjasama?
2. Sampai tahap apa misi injili akan menjangkau pelayanan sosial?
3. Bagaimana orang menanggapi suara yang berkembang dari gereja "Dunia Ketiga"?
Leighton Ford menjadi ketua kongres tersebut. Pesertanya berasal dari setiap denominasi besar mulai dari Katolik Roma sampai kelompok injili, dan dari garis utama Protestan sampai kelompok kharismatik. Ada yang menyebut kongres tersebut merupakan pertemuan antar-kultural dan antar-denominasional terbesar yang pernah ada.
Nomor pertama dari ketiga masalah yang disebut di atas secara khusus sangat penting. Kelompok kharismatik hadir dalam jumlah yang besar. Jack Hayford, seorang gembala Pentakosta dari California, mengajukan satu permintaan yang kuat kepada semua kalangan injili agar terbuka bagi manifestasi "tanda-tanda dan mujizat" yang ajaib. Katanya, gereja akan berkembang, jika mengalami "tanda-tanda dan mujizat".
Ada desakan luas agar orang Kristen terlibat dengan masalah sosial. Banyak yang merasa, bahwa "Manifesto Manila" yang dicetuskan itu merupakan pernyataan resmi kongres tersebut, terlalu berat mencerminkan theologi pembebasan. Dalam keadaan yang terbaik, theologi pembebasan menekankan perlunya untuk mengoreksi penyakit-penyakit sosial dunia melalui usaha gereja. Bagi para theolog pembebasan, keselamatan dipersamakan dengan transformasi sosial dan politis. Dalam keadaan yang terburuk, theologi pembebasan merupakan suatu gerakan sosial yang keras, revolusioner, yang diwarnai dengan Marxisme.
Banyak yang gembira dengan keluasan yang ditunjukkan di dalam pertemuan itu. "Lebih-lebih karena konferensi tersebut memanifestasikan rasa persatuan yang luar biasa, sebab kaum kharismatik dan non-kharismatik bergandengan tangan dan beribadah bersama, dan orang Katolik Roma dan Orthodoks disambut sebagai peserta dan mendapat perlakuan yang sama".[65]Pengamat yang sama mencatat, "Perkembangan penting lainnya adalah melunaknya sikap keras Lausanne yang ada sampai saat ini terhadap Dewan Gereja-gereja Dunia. Sebuah ranting zaitun diulurkan bagi gerakan ekumenis".[66]
Richard Heldenbrand meneliti dampak Injili Baru terhadap misi dalam karyanya yang sangat berwawasan, Christianity and New Evangelical Philosophies. Dengan secara khusus mengevaluasi dampak pekerjaan misi Charles Kraft dan Eugene Nida, Heldenbrand mencatat bahwa pekerjaan mereka membawa efek yang merugikan. Pada masa itu Kraft adalah dosen di Fuller Theological Seminary dan Nida menjadi Sekretaris di Persatuan Terjemahan Alkitab Amerika. Mereka mengemukakan sebuah pendekatan terjemahan Alkitab dan pemberitaan Injil yang mengatakan bahwa pertimbangan yang terpenting adalah apakah para pendengar itu memahami pesan yang disampaikan, bukan apakah pesan itu akurat atau tidak. "Fokus lama di dalam penerjemahan adalah bentuk dari pesan tersebut ... Tetapi fokus yang baru telah berubah dari bentuk pesan menjadi tanggapan dari si penerima pesan".[67]
Sementara kita jelas menginginkan terjemahan yang bisa dimengerti oleh orang biasa, kita juga harus selalu waspada agar terjemahan tersebut membawa arti yang sesungguhnya dari teks yang asli. Jika kita tidak melakukan hal itu, maka Kitab Suci hanya merupakan sebongkah tanah liat yang bisa dibentuk seenaknya oleh si penerjemah. Penekanan harus selalu diberikan kepada pesan tersebut, karena ia adalah pesan dari Allah dan tidak boleh dirusak dengan cara apapun. "Nabi yang beroleh mimpi, biarlah menceritakan mimpinya itu, dan nabi yang beroleh firmanKu, biarlah menceritakan firmanKu itu dengan benar! ... Bukankah firmanKu seperti api, demikianlah firman Tuhan dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu?" (Yer. 23: 28-29).
Melihat Melalui Kacamata Kitab Suci
Bagaimana orang harus menguji Injili Baru dari sudut Kitab Suci? Pertama-tama harus dicatat bahwa prinsip akomodatif tidak diajarkan di dalam Perjanjian Baru. Kita tidak boleh memangkas pesan atau mengubah metode Allah agar pesan kita didengar orang. Hamba Allah harus "memilah firman kebenaran itu dengan benar" (rightly dividing the word of truth - KJV). LAI menerjemahkan dengan "berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu" (II Tim 2: 15). Ada yang menerjemahkannya "memotong dengan lurus" (cutting a straight course) di dalam Firman Kebenaran, dan ada juga yang menerjemahkannya "memperlakukan dengan benar" (correctly handling). Permasalahannya adalah kita tidak boleh menyesuaikan Firman Allah dengan keinginan manusia. Kita tidak boleh "serupa dengan dunia ini" (Rom. 12: 2), atau seperti yang dikatakan orang, "Jangan biarkan dunia membentuk anda menurut cetakannya".
Sementara semangat ekumenis bagi beberapa kalangan kelihatan sangat bersaudara dan baik, namun hal ini tidak sesuai dengan instruksi Allah kepada orang percaya. Kerapkali konsep yang ada di balik pendekatan ini adalah mengutamakan kasih daripada doktrin. Kaum ekumenis kadang-kadang merujuk Yoh. 17: 11, dimana Yesus mendoakan "supaya mereka menjadi satu". Mereka mencela orang Kristen yang menentang gerakan ekumene, menuduh mereka tidak taat kepada perintah ini dan membangkitkan "dosa perpecahan". Namun kita perlu diingatkan, bahwa permintaan Tuhan kita ini telah terjawab, dan orang-orang percaya adalah satu di dalam tubuh Kristus (I Kor. 12: 13; Ef. 2: 22). Ayat tersebut tidak berbicara tentang kesatuan organisasional, tetapi berbicara tentang kesatuan rohani. Mencapai kesatuan organisasional dengan mengkompromikan doktrin adalah salah. Secara khusus Paulus menulis, "Tetapi aku menasehatkan kamu, saudara-saudara, supaya kamu waspada terhadap mereka, yang bertentangan dengan pengajaran yang telah kamu terima, menimbulkan perpecahan dan godaan. Sebab itu hindarilah mereka!" (Rom. 16: 17).
Salah satu aspek Injili Baru yang memprihatinkan kaum fundamentalis adalah theologi kharismatik yang sudah merembes ke dalamnya. Para pendiri Injili Baru itu sendiri bukan kharismatik, tetapi mereka memberikan suatu penghargaan baru dengan mendesak bahwa kita harus menerima doktrin kharismatik sebagai sebuah pilihan hidup, bukan mencelanya sebagai sebuah kesalahan yang tidak alkitabiah. Kelihatannya penulis harus mengemukakan dua hal: (1) Pandangan kaum kharismatik mengenai Roh Kudus dan pekerjaanNya adalah salah. (2) Kita harus menolak posisi mereka dan orang Kristen harus diajarkan bahwa theologi dan praktek kharismatik adalah bertentangan dengan pengajaran Alkitab. Namun pendekatan ini tidak populer bagi kaum injili modern. Hal ini terlalu konfrontatif, terlalu memecah-belah, dan tidak ada kasih.
Buku ini tidak akan membahas kelemahan kharismatik.[68]Paulus bicara dengan jelas mengenai kewajiban kita sebagai gembala dan pemimpin-pemimpin Kristen: "... berpegang kepada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat, supaya ia sanggup menasehati orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya" (Titus 1: 9). Itu adalah bagian positif dari pelayanan. Bagian yang negatif juga sama pentingnya. Ketika bicara tentang mereka yang mengajarkan doktrin yang salah, Paulus mengatakan, "... Karena itu tegorlah mereka dengan tegas supaya mereka menjadi sehat dalam iman" (Titus 1: 13). Membiarkan pengajaran sesat disebarluaskan bukanlah suatu tanda keluwesan atau keramahan.
Injili Baru telah melakukan kerusakan besar. Ia telah merembes di dalam kalangan injili. Ia telah melemahkan fondasi alkitabiah banyak gereja dan organisasi dan menekankan prinsip pragmatis terhadap theologi. Dalam bab berikut, kita akan meneliti satu orang yang mempopulerkan pendekatan ini lebih dari yang lain, yakni Evangelis Billy Graham.>
--------------------------------------------------------------------------------------------
[1]Harold Lindsell, "The Bible in the Balance", hal. 320.
[2]Sherman Roddy, "Fundamentalists and Ecumenicity", Christian Century, 1 October 1958, hal. 1110.
[3]Vernon Grounds, "Fundamentalism and Evangelicalism: Legitimate Labels or Illicit Libels?" Dicetak oleh Conservative Baptist Theological Seminary, Denver.
[4]George Marsden, "From Fundamentalism to Evangelicalism: A Historical Analysis", dalam The Evangelicals, diedit oleh David Wells dan John Woodbridge.
[5]Richard Quebedeaux, "The Worldly Evangelicals", hal. 85.
[6]Surat dari Edward J. Carnell kepada konstituensi Sekolah Theologi Fuller.
[7]Arnold Hearn, "Fundamentalist Renaissance", Christian Century, 30 April 1958, hal. 528.
[8]Harold Ockenga, "Resurgent Evangelical Leadership", Christianity Today, 10 Oktober 1960, hal. 13.
[9]Carl Henry, "YFC's 'Cheer for Jesus' No Substitute for the Apostles' Creed", World, 11 Maret 1990.
[10]George Marsden, "Reforming Fundamentalism", hal. 63.
[11] Ibid.
[12]George Marsden, "Understanding Fundamentalism and Evangelicalism", hal. 67.
[13] Ibid., hal. 71-72.
[14]James D. Hunter, "Evangelicalism: The Coming Generation", hal. 33.
[15]Carl F. H. Henry, "The New Coalitions", Christianity Today, 17 September 1989, hal. 26.
[16]"Is Evangelical Theology Changing?" Christian Life, Maret 1956.
[17]Ronald Nash, "The New Evangelicalism", hal. 42.
[18] "Is Evangelical Theology Changing?"Christian Life, Maret 1956, hal. 19.
[19]Donald Bloesch, "The Evangelical Renaissance", hal. 149.
[20] Ibid., hal. 150.
[21] Ibid.
[22]J. Randall Peterson, "Evangelicalism: A Movement's Direction", Evangelical Newsletter, 20 Desember 1985, hal. 4.
[23]J. Elwin Wright, "The Issue of Separation", United Evangelical Action, 15 Agustus 1945, hal. 13.
[24] Ibid.
[25]Marsden, "Reforming Fundamentalism", hal. 6-7.
[26] Ibid., hal. 7-8.
[27] Ibid., hal. 6-7.
[28]David Wells, "An American Evangelical Theology: The Painful Transition from Theoria to Praxis", dalam "Evangelicalism and Modern America", diedit oleh George Marsden, hal. 90.
[29]Franky Schaeffer, "Bad News for Modern Man", hal. 45.
[30]David Neff, "Bad News for Modern Man", hal. 45.
[31] Christian Beacon, 17 Januari 1957.
[32]Ian Murray, "David Martyn Lloyd-Jones: The Fight of Faith", hal. 504.
[33] Ibid., hal. 666.
[34] Ibid., hal. 444.
[35]Schaeffer, hal. 67.
[36] Ibid., hal. 68.
[37]Marsden, "Reforming Fundamentalism", hal. 266-267.
[38]Francis A. Schaeffer, hal. 100.
[39]Francis A. Schaeffer, interview, "Schaeffer Reflects on 50 Years of Denominational Ins and Outs", Christianity Today, 10 April 1981, hal. 29.
[40]Hunter, hal. 183.
[41] Ibid.
[42] Ibid., hal. 9.
[43]Robert Ligthner, "Neoevangelicalism Today", hal. 171.
[44]Hunter, hal. 184.
[45]John Woodbridge, Mark Noll, Nathan Hatch, "The Gospel in America", hal. 130.
[46]Harold Lindsell, "The Strange Case of Fuller Theological Seminary", dalam "The Battle for the Bible", hal. 106-121.
[47]Robert Wutnow, "The Struggle for America's Soul", hal. 175.
[48]Marsden, "Reforming Fundamentalism", hal. 158.
[49]Editorial, "On Meeting Changing Issues", Christianity Today, 4 Maret 1957, hal. 20.
[50]Charles Dunn, "Campus Crusade: Its Message and Methods", Faith for the Family, Oktober 1980, hal. 3, 18-19.
[51]John McCoy, "Evangelical Churches Have Foot in Each Camp", Seattle Post-Intelligencer, 22 Febr 1986, hal. 6.
[52] Ibid.
[53]Harold Ockenga, "From Fundamentalism Through New Evangelicalism to Evangelicalism", dalam Evangelical Roots, diedit oleh Kenneth Kantzer, hal. 42.
[54]Joel Carpenter, "The Fundamentalist Leaven and the Rise of an Evangelical United Front", dalam The Evangelical Tradition in America, diedit oleh Leonard Sweet, hal. 283.
[55]M. H. Reynolds, "Key '73: An Appraisal", Hal. 22.
[56] Ibid., hal. 35.
[57]John R.W. Stott, "Kata Pengantar" untuk Down to Earth, diedit oleh John R. W. Stott dan Robert Coote, hal. Vii.
[58]Nikos A. Nissiotis, Surat edaran, Oktober 1970.
[59]Donald McGavran, "Understanding Church Growth", hal. 310.
[60]John Millheim, "A Consortium of Compromise", Baptist Bulletin, Oktober 1974.
[61] Ibid.
[62]John F. Walvoord, "The Lausanne Congress on Evangelism", Voice, Maret-April 1975, hal. 22.
[63]Surat pribadi Ernest Pickering kepada John F. Walvoord.
[64]Richard Pierard, "Lausanne II: Reshaping World Evangelicalism", Voice, Maret-April 1975, hal. 22.
[65] Ibid.
[66] Ibid. (Ranting zaitun merupakan simbol perdamaian - penerjemah).
[67]Eugene Nida dan Charles Taber, "The Theory and Practice of Translation", hal. 1.
[68]Beberapa kesalahan mendasar dari gerakan kharismatik dapat diringkas sebagai berikut: (1) tidak menyadari bahwa mujizat Perjanjian Baru adalah dibatasi sampai pada masa rasul, (2) mengangkat karunia yang kecil peranannya (bahasa lidah) ke tempat yang lebih tinggi, (3) tidak bisa membedakan karunia-karunia rohani yang permanen dengan karunia-karunia yang bersifat sementara, (4) salah-paham terhadap tujuan dari karunia bahasa lidah yang asli, dan (5) penekanan pada iman yang berpusat pada pengalaman yang bertentangan dengan iman yang theologis. Untuk informasi yang lebih mendalam mengenai gerakan kharismatik, silakan merujuk kepada buku-buku: Victor Budgen, "Charismatics and the Word of God"; Thomas R. Edgar, "Miraculous Gifts: Are They for Today?"; Robert Gromacki, "The Modern Tongues Movement"; John F. MacArthur, "Charismatic Chaos"; dan Ernest D. Pickering, "Charismatic Confusion".
sumber: http://lexicalife.blogspot.com/2008/11/tragedy-of-compromise-bagian-2.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar