Pada tahun 1292, Marco Polo mampir di pulau Sumatera ketika mengantar putri Mongol untuk dinikahkan dengan putra mahkota Persia. Marco Polo dapatkan di pulau Sumatera sudah ada penduduk namun masih sangat primitif bahkan dalam catatannya menyatakan masih kanibal. Pada tanggal 23 Juni 1596, kapal dagang Belanda mampir di pulau Jawa, dan mendapat kan bahwa pulau itu sangat subur dan penuh dengan rempah-rempah yang sangat diinginkan masyarakat Eropa.
Pada tahun 1619, Belanda mulai datang sebagai pedagang dengan perusahaannya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dalam bahasa Inggris disebut Dutch East India Company (DEIC) untuk berdagang dengan penduduk kepulauan Nusantara. Dari berdagang kemudian pemerintah Belanda mengirim gubernur dan pasukan yang awalnya untuk keamanan perusahaan dan akhirnya memerintah seluruh kepulauan Nusantara. Sekitar 200 tahun pemerintah Belanda tidak mengijinkan pemberitaan Injil di kepulauan Nusantara. Nederlandsch Indische Kerk (Gereja Hindia Belanda) adalah gereja khusus untuk orang-orang Belanda. Mereka bahkan tidak mengijinkan Pribumi menghadiri kebaktian mereka.
Pada tahun 1811 Napoleon Bonaparte mengalahkan daratan Eropa termasuk Belanda. Sir Stamford Raffles, Gubernur koloni Inggris di India mengetahui situasi di Eropa dan memimpin 11 ribu pasukan dari India menyerbu wilayah Hindia-Belanda (Indonesia) yang memiliki 18 ribu pasukan yang terdiri dari Belanda, Perancis dan Jawa. Raffles menang sehingga Indonesia di bawah Inggris.
Raffles tercatat yang menemukan candi Borobudur yang telah tertutup tanah. Dan Ia sangat ingin orang-orang di kepulauan Nusantara mendengarkan Injil yang sudah terjadi di India oleh William Carey, sehingga ia menulis surat dan meminta misionari dari Inggris. William Carey, seorang tokoh misi Baptis dari Inggris, yang juga disebut "bapak misi modern" mendirikan British Missionary Society pada tahun 1792. Dalam tempo satu tahun, ia telah membuka posnya di Kalkuta, India. Dari sana, ia mengorganisasi misinya dan mengirim banyak utusan ke semua sudut Asia, termasuk Jawa. Setelah Carey berkonsultasi dengan Raffles, tibalah waktunya untuk mengirim William Robinson sebagai misionari Baptis pertama ke Pulau Jawa. Robinson tiba di Batavia pada 1 Mei 1813. Jadi semua orang Kristen di Indonesia perlu ingat bahwa selain gereja Belanda, Nederland Indische Kerk, maka gereja Baptis adalah yang pertama masuk ke Nusantara (Indonesia).
Pada tahun 1814, pusat misi Baptis di India mengirim lagi dua orang misio-nari untuk membantu Robinson. Mereka adalah James Reily dan William Milne. Namun William Milne memilih untuk menjadi misionari ke China dan segera berangkat ke China. Dan Misi Baptis tambah lagi anggota, Thomas Trowt, dan Thomas Philip.
Pada Mei 1815, J.C. Supper, Gottlob Bruckner, dan Joseph Kam, dikirim oleh London Missionary Society bekerja sama dengan Netherlands Missionary Society tiba di Nusantara. Mereka bekerja di gereja Indische Kerk, dan karena misionari Baptis memberitakan Injil kepada Pribumi, maka mereka pun ikut membuka diri memberitakan Injil kepada Pribumi. Joseph Kam ke Maluku, Gottlob Bruckner ke Semarang, dan Johann. C. Supper di Batavia. Berbeda dengan teman mereka dari misi Baptis yang memberitakan Injil kepada penduduk asli, mereka bekerja di bawah gereja pemerintah Inggris/Belanda.
Hal yang sangat menarik terjadi pada Gottlob Bruckner. Ketika tiba di Semarang ia merasa jemaat yang dilayaninya lesu tak bergairah. Ketika didiskusikannya dengan Robinson dan Twort, mereka sampai kepada kesim-pulan, anggota jemaat yang tidak lahir baru karena doktrin yang salah. Dan setelah banyak diskusi ia menyadaribahwa baptisan bayi sesungguhnya adalah penyebab anggota jemaat tidak lahir baru. Dan kesalahan yang berpasangan dengan baptisan bayi ialah baptisan percik.
Pada tanggal 7 April 1816, Bruckner meminta Thomas Twort membaptiskannya dengan baptisan alkitabiah yaitu selam setelah ia membuat pengakuan iman. Tentu satu minggu kemudian Bruckner dipecat gerejanya, dan suport dananya dihentikan. Akhirnya ia terpaksa harus menumpang makan di rumah Twort. Teman-teman misi Baptis kemudian harus pontang-panting mencarikan suport dana bagi Bruckner. Setelah Twort bekerja selama 2 tahun di Semarang, di tempat dia menikmati sebuah hubungan yang baik dengan seorang pegawai Jawa, ia mampu melengkapi sepertiga bagian dari sebuah kamus Jawa-Inggris, sebelum ia mengalami nasib yang sangat mengenaskan. Dalam sebuah periode singkat, Trowt telah membuka sebuah sekolah untuk penduduk setempat dan telah mengembangkan sebuah hubungan yang sangat dekat dengan Bupati Sura Adimenggala yang sangat terbuka terhadap pendidikan Barat.
Adimenggala mengirim kedua putranya, Saleh dan Shukur, untuk belajar dengan Marshman dari Serampore, dari tahun 1812 sampai 1814. Sekolah ini disponsori oleh misi Baptis. Trowt berdiskusi dengan Adimenggala, berencana untuk mendirikan sebuah sekolah, menerbitkan berbagai buku dalam Bahasa Jawa, dan mendirikan sebuah sekolah untuk orang Jawa di Semarang. Menurut Trowt, Adimenggala sangat mendukung rencananya. Trowt menderita disentri dan demam, dan selama 2 tahun ia terus menderita berbagai penyakit serius. Ia meninggal pada 25 Oktober 1816.
Sebelum kematiannya, Trowt bisa berbahasa Melayu dengan lancar dan mulai menguasai Bahasa Jawa. Andai Trowt tidak meninggal terlebih dulu, misi Baptis di Semarang mungkin telah meninggalkan sebuah peninggalan yang sangat berharga. Thomas Philips, yang menggantikan Trowt di Semarang, juga meninggal dini setelah mengalami penderitaan fisik dan mental. Nampaknya, kondisi kehidupan di negara tropis dan lingkungan sosial menghasilkan sebuah penghalang besar, yang pada akhirnya menghabiskan stamina fisik dan mental mereka. Minimnya fasilitas kesehatan, situasi politik yang tidak menentu, dan dana yang pas-pasan yang diberikan oleh badan misi, tidak cukup untuk membuat mereka memiliki peluang mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai. Kebanyakan dari mereka terserang demam, malaria, tifus, dan disentri.
Bruckner sangat berhasil dalam mempelajari bahasa Jawa, ia meneruskan kamus yang dimulai oleh Twort. Bahkan ia berhasil menerjemahkan Alkitab ke bahasa Jawa. Tetapi mengalami kesulitan untuk mencetaknya karena Nusantara kembali diperintah oleh Belanda pada tahun 1816 yang tidak bersahabat dengan para pemberitaan Injil.
Sejak pemerintahan dikembalikan kepada Belanda dan secara bersamaan pelarangan penyebaran agama Kristen kembali diadakan. Kebijakan keagamaan Raffles yang bebas menjadi terbatas oleh kebijakan otoritas Belanda yang sangat berhati-hati. Hal ini dilakukan demi menjaga keseimbangan dalam kehidupan keagamaan, namun terutama untuk menjaga agar tidak timbul guncangan dan hal-hal yang dapat memicu perlawanan pada komunitas Islam di Jawa. Satu-satunya misionari yang diizinkan oleh pemerintah Belanda untuk terus bekerja adalah Gottlob Bruckner. Hal ini tentu saja tidak disebabkan oleh keberhasilannya dalam menyebarkan agama di antara para penduduk Jawa di Semarang. Sebaliknya, mereka memberikan izin karena Bruckner adalah satu-satunya misionari yang gaya bekerjanya diam-diam dan tidak menonjol.
Bruckner bekerja di Jawa selama 43 tahun, tanpa tercatat seorang pun sebagai `buah` dari tugasnya untuk memberitakan Injil. Ia tidak membaptis siapa pun. Namun sepanjang hidupnya, dengan stamina fisik dan mental yang luar biasa, Bruckner berhasil menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa dan tulisan Jawa. Ia menyelesaikan karyanya dalam waktu yang relatif singkat, sekitar 8 tahun. Walaupun ia diterima baik oleh penguasa, `buah` yang terpenting dari karyanya, yang dilakukan dengan bersemangat, sangat terhalang. Atmosfer politis di seluruh Hindia Belanda mulai menunjukkan gejala kekacauan.
Puncak kesulitan yang disebabkan oleh pemerintah Belanda selama periode ini, terutama kepada para misionari "non-Belanda" adalah penyitaan dan pelarangan penyebaran karya monumental Bruckner: Perjanjian Baru edisi Bahasa Jawa. Bruckner telah menyelesaikan manuskrip tersebut pada 1823. Ia harus menunggu selama 5 tahun sebelum ia bisa pergi ke Serampore dengan seorang putranya untuk mencetak teksnya, dan di sana, ia menunggu selama 3 tahun. Akhirnya, 3000 copy berhasil dicetak. Dengan sukacita, ia mengambil 2100 copy untuk Batavia dan memberikan-nya kepada Dutch Bible Society -- ia sendiri hanya menerima 300 copy.
Sebelum membagikan Alkitab, direktur Dutch Bible Society merasa perlu untuk meminta izin Gubernur Jenderal. Keputusan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal sangat mengecewakan Bruckner, katanya: Perang baru saja berakhir; situasi yang tidak menguntungkan ini akan digunakan oleh orang untuk memberontak lagi jika kitab tersebut dibagikan di kalangan pribumi!" Terjemahan bersejarah Perjanjian Baru "untuk sementara waktu ditahan, sampai keadaan memungkinkan." Sayangnya, kebanyakan dari kitab tersebut dimakan rayap ketika berada di gudang pelabuhan Tanjung Priok. Pada 1848, dan 17 tahun kemudian, sisa hasil terjemahan tersebut dibebas-kan dari "penahanan".
Fase pertama kepeloporan misi Baptis di Jawa, telah dihalangi dan menemui kegagalan. Iblis telah memakai orang yang menyebut dirinya Kristen untuk menghalangi Injil. Bahkan Bruckner, orang terakhir pada periode ini, tidak berhasil memenuhi harapan rekan-rekannya dari misi Baptis. Tidak ada seorang Jawa pun yang memilih untuk mendengar pesannya dan mengikuti jejak imannya. Namun, Bruckner telah memulai sebuah fase penting, sebuah fase yang diperlukan untuk pembentukan Gereja Kristen untuk orang Jawa: ia telah mempersiapkan sebuah manuskrip suci yang akan dibaca oleh orang Jawa sebagai fondasi kehidupan kerohanian mereka. Ia telah melaksanakan sebuah tugas yang tidak dapat dilakukan oleh siapa pun juga. Orang Jawa tidak dapat melakukannya, orang Kristen dari misi Belanda juga tidak. Bruckner sendirilah yang menyelesaikan tugas ini, yaitu menerjemahkan Alkitab ke bahasa Jawa dengan tulisan Jawa tidak dapat dilakukan orang lain selain Gottlob Bruckner.
Nederlandsch Bijbelgenootschap mengirim J. F. C. Gericke ke Jawa pada 1826. Ia merupakan orang pertama dari kalangan misi yang memiliki bakat besar dalam linguistik, dan ia mendemonstrasikan sebuah profesionalisme yang melampaui ke-mampuan Bruckner. Gericke menggunakan terjemahan Bruckner sebagai sumber utamanya, dalam upayanya untuk menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Jawa. Periode ketiga ini diakhiri dengan sepucuk surat dari Bruckner pada rekan-rekannya di pusat misi Baptis di Serampore, 2 bulan sebelum kematiannya pada 9 Juli 1857.
Kisah pertama sej arah agama Kristen di Jawa dimulai dengan penuh antusiasme dan berakhir dengan kekecewaan. Karya Bruckner, pada paruh awal abad ke-19 merupakan representasi pergumulan para pelopor. Paruh kedua abad ke-19 merupakan kisah kedua dalam sejarah ini. Banyak badan misi baru muncul dengan berbagai cara, sehingga terdapat peluang yang lebih besar untuk berhasil. Para aktor dan layarnya mungkin berganti, namun karya terjemahan Bruckner merupakan sebuah pilar dalam sejarah yang akan menjadi pendukung utama untuk masa perkembangan agama Kristen di Jawa pada periode selanjutnya. (disadur dari buku: Mission at the Crossroads dan Java Saga : Christian progress in Muslim Java, David Bentley-Taylor, OMF Books, 1975 - 148 halaman).
Pemberitaan Injil ke Sumatera Samuel Munson lahir tanggal 23 Maret 1804 di New Sharser Maine, sedang Henry Lyman lahir tanggal 23 November 1809 di Northhampton, Amerika Serikat. Pada tanggal 9 Juli 1833, para jemaat Baptis di Boston, Amerika Serikat, membuat perjamuan jemaat. Dalam pesta itu, semua perhatian tertuju pada dua pengkhotbah muda, Samuel Munson dan Henry Lyman dan istri mereka yang akan berangkat membelah samudera menuju sebuah negeri jauh yang belum per-nah mereka kunjungi sebelumnya.
Negeri yang mereka tuju bernama Hindia Belanda, yang kelak akan menjadi tanah pekuburan mereka sendiri. Munson dan Lyman menumpang kapal bernama “Dunkan”, dengan sebuah acara pelepasan yang mengharukan dari anggota jemaat Gereja Baptis Boston. Keduanya melambai dan menatap para jemaat yang berbaris di bibir pelabuhan, hingga Benua Amerika lenyap sama sekali di belakang mereka.
Setelah berlayar selama 105 hari, Munson dan Lyman melihat sosok Pulau Jawa, dan kapal mereka merapat ke Batavia. Di kota yang sedang berkembang ini, keduanya mendapat sambutan dari seorang rohaniawan berkebangsaan Inggris, Gembala Madhurst. Selain dibekali pengetahuan teologia, mereka juga dibekali keterampilan medis. Dari surat-surat yang mereka kirimkan ke Boston, diketahui bahwa mereka sangat sibuk dengan para pasien yang datang tiap hari.
Setelah menguasai Bahasa Melayu, Munson dan Lyman mulai mengurus izin pada pemerintah Belanda untuk berangkat ke Tanah Batak. Gubernur Jenderal Pemerintahan Belanda di Batavia meluluskan permintaan mereka. Tanah Batak adalah impian Munson sejak ia sekolah theologi. Ia mendapatkan literatur yang menceritakan keindahan kawasan ini, berikut masyarakatnya yang masih menganut kepercayaan kuno, sipelebegu (sejenis animisme).
Tepat pada hari Selasa, 8 April 1834, Munson dan Lyman berangkat meninggalkan anak isteri mereka di Batavia dengan menumpang kapal besar “Mederika”. Mereka berada di antara para serdadu Belanda beserta tawanannya.
Pada 19 April 1834, atau sebelas hari sejak keberangkatan dari Jawa, mereka tiba di Bengkulu. Munson dan Lyman tinggal di sini selama 4 hari. Lalu pada tanggal 26 April 1834, mereka sudah menjejakkan kaki di Padang. Gembala Gereja Belanda, Ward menyambut keduanya. Munson dan Lyman mendapat banyak informasi penting dari beliau, karena Ward sudah pernah mengunjungi Tanah Batak pada tahun 1824. Menurut Ward, orang Batak adalah masyarakat yang ramah tamah. Ward juga menceritakan penyambutan raja-raja Batak terhadap dirinya yang disertai tarian (tortor).
Akhirnya, pada 17 Juni 1834, Munson dan Lyman tiba di T anah Batak untuk pertama kalinya, yakni Sibolga. Tuan Bonnet, seorang pejabat Belanda, menyambut mereka dengan hangat. Dia bahkan memberikan perlengkapan untuk keberangkatan mereka selanjutnya ke arah Silindung. Dalam perjalanan, Munson dan Lyman disertai seorang penerjemah, tukang masak, polisi, dan 8 pendamping lain.
Rombongan kecil ini berangkat pada suatu sore yang teduh tanggal 23 Juni 1834, menembus belantara, lembah, dan pegunungan yang bergelombang selama 6 hari. Kadang-kadang, mereka harus merangkak seperti ekspedisi kelompok pecinta alam ketika melalui medan yang sangat sulit. Rura Silindung yang mereka tuju adalah sebuah lembah yang datar dan indah di sebelah utara Tapanuli.
Ketika sampai di kampung Raja Suasa, misionari Munson dan Lyman menerima saran dari Raja Suasa agar mereka menginformasikan lebih dulu kedatangan mereka di Silindung. Saat itu, suasana di Rura Silindung (sekarang Kota Tarutung) memang masih diwarnai kemelut akibat ekses dari Perang Bonjol. Namun Munson dan Lyman memilih menghemat waktu agar segera tiba di Silindung. Tepat enam hari sejak berangkat dari Sibolga, satu sore yang indah menyambut mereka di pinggiran sebuah kampung. Munson mengutus penerjemah untuk mengetahui keadaan di kampung tersebut sebelum memasukinya. Namun setelah beberapa jam, si penerjemah tak kunjung kembali. Menimbang cerita Gembala Ward, kedua misionaris itu tidak curiga kalau-kalau sesuatu telah terjadi.
Dalam keadaan yang belum dapat memutuskan tindakan selanjutnya, tiba-tiba semak belukar di sekitar mereka terkuak dan berderak. Serombongan orang muncul dari balik pepohonan seraya berteriak, “Mulak, mulak ma hamu!” (Pulang, pulanglah kalian!). Kedua missionari itu terkejut, dan pada saat yang sama mereka menyadari bahwa para pengikut lain telah menghilang entah kemana, kecuali Jan. Munson dan Lyman, dengan bahasa isyarat sesanggupnya, berupaya menggambarkan maksud tulus keda-tangan mereka ke daerah itu. Tapi komunikasi tampaknya tidak nyambung, dan terjadilah salah pengertian. Melihat gelagat yang makin buruk, tiba-tiba Jan mengambil bedil yang dibawa Munson dari Padang, dan hendak menembakkannya ke arah orang ramai itu. Tindakan itu dicegah Munson. Tapi sayang, pada saat yang hampir bersamaan, terdengar letusan bedil dari arah lain dan Lyman roboh bercucuran darah.
Detik-detik berikutnya makin menegangkan dan memperkecil peluang untuk saling pengertian. Munson yang malang masi h mencoba memberi isyarat dengan menunjukkan Alkitab yang dibawanya, tapi suasana terlanjur panas dan chaos. Ia dipukuli hingga jatuh tanpa melawan maupun menunjukkan rasa takut. Jan melarikan diri dan bersembunyi di kerapatan hutan. Ia berhasil lolos dan kembali ke Sibolga dalam keadaan payah, lalu menemui Tuan Bonnet. Informasi tentang insiden tersebut digambarkan oleh Jan.
Kesimpulan
Karena kasih Kristus kepada orang Indonesia, para misionari datang menempuh perjalanan berbulan-bulan agar orang-orang diselamatkan. Dan orang dari Gereja Baptis yang pertama melakukan itu. Seandainya bangsa Indonesia lain tidak tahu, setidaknya orang Kristen Indonesia tahu bahwa Gereja Baptis adalah gereja paling awal selain gereja Belanda di bumi Nusantara. Misionari Baptis adalah yang paling awal memberitakan Injil baik di pulau Jawa maupun Sumatera. Aneh sekali, ketika saya mendengar alumni GI TS bercerita tentang pemimpin gereja yang berkata bahwa mereka tidak boleh memberitakan Injil di wilayahnya. Siapa yang menentukan bahwa itu adalah wilayah gereja tertentu? Ada juga pemimpin gereja yang sok berkuasa yang menanyakan surat ijin gereja. Gereja Baptis adalah gereja pertama di bumi Nusantara, sebelum ada Indonesia, bahkan sebelum Sumpah Pemuda.***
Sumber: Dr. Suhento Liauw, Th.D dalam Jurnal Teologi PEDANG ROH Edisi 80, Juli-September 2014
Pada tahun 1619, Belanda mulai datang sebagai pedagang dengan perusahaannya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dalam bahasa Inggris disebut Dutch East India Company (DEIC) untuk berdagang dengan penduduk kepulauan Nusantara. Dari berdagang kemudian pemerintah Belanda mengirim gubernur dan pasukan yang awalnya untuk keamanan perusahaan dan akhirnya memerintah seluruh kepulauan Nusantara. Sekitar 200 tahun pemerintah Belanda tidak mengijinkan pemberitaan Injil di kepulauan Nusantara. Nederlandsch Indische Kerk (Gereja Hindia Belanda) adalah gereja khusus untuk orang-orang Belanda. Mereka bahkan tidak mengijinkan Pribumi menghadiri kebaktian mereka.
Pada tahun 1811 Napoleon Bonaparte mengalahkan daratan Eropa termasuk Belanda. Sir Stamford Raffles, Gubernur koloni Inggris di India mengetahui situasi di Eropa dan memimpin 11 ribu pasukan dari India menyerbu wilayah Hindia-Belanda (Indonesia) yang memiliki 18 ribu pasukan yang terdiri dari Belanda, Perancis dan Jawa. Raffles menang sehingga Indonesia di bawah Inggris.
Raffles tercatat yang menemukan candi Borobudur yang telah tertutup tanah. Dan Ia sangat ingin orang-orang di kepulauan Nusantara mendengarkan Injil yang sudah terjadi di India oleh William Carey, sehingga ia menulis surat dan meminta misionari dari Inggris. William Carey, seorang tokoh misi Baptis dari Inggris, yang juga disebut "bapak misi modern" mendirikan British Missionary Society pada tahun 1792. Dalam tempo satu tahun, ia telah membuka posnya di Kalkuta, India. Dari sana, ia mengorganisasi misinya dan mengirim banyak utusan ke semua sudut Asia, termasuk Jawa. Setelah Carey berkonsultasi dengan Raffles, tibalah waktunya untuk mengirim William Robinson sebagai misionari Baptis pertama ke Pulau Jawa. Robinson tiba di Batavia pada 1 Mei 1813. Jadi semua orang Kristen di Indonesia perlu ingat bahwa selain gereja Belanda, Nederland Indische Kerk, maka gereja Baptis adalah yang pertama masuk ke Nusantara (Indonesia).
Pada tahun 1814, pusat misi Baptis di India mengirim lagi dua orang misio-nari untuk membantu Robinson. Mereka adalah James Reily dan William Milne. Namun William Milne memilih untuk menjadi misionari ke China dan segera berangkat ke China. Dan Misi Baptis tambah lagi anggota, Thomas Trowt, dan Thomas Philip.
Pada Mei 1815, J.C. Supper, Gottlob Bruckner, dan Joseph Kam, dikirim oleh London Missionary Society bekerja sama dengan Netherlands Missionary Society tiba di Nusantara. Mereka bekerja di gereja Indische Kerk, dan karena misionari Baptis memberitakan Injil kepada Pribumi, maka mereka pun ikut membuka diri memberitakan Injil kepada Pribumi. Joseph Kam ke Maluku, Gottlob Bruckner ke Semarang, dan Johann. C. Supper di Batavia. Berbeda dengan teman mereka dari misi Baptis yang memberitakan Injil kepada penduduk asli, mereka bekerja di bawah gereja pemerintah Inggris/Belanda.
Hal yang sangat menarik terjadi pada Gottlob Bruckner. Ketika tiba di Semarang ia merasa jemaat yang dilayaninya lesu tak bergairah. Ketika didiskusikannya dengan Robinson dan Twort, mereka sampai kepada kesim-pulan, anggota jemaat yang tidak lahir baru karena doktrin yang salah. Dan setelah banyak diskusi ia menyadaribahwa baptisan bayi sesungguhnya adalah penyebab anggota jemaat tidak lahir baru. Dan kesalahan yang berpasangan dengan baptisan bayi ialah baptisan percik.
Pada tanggal 7 April 1816, Bruckner meminta Thomas Twort membaptiskannya dengan baptisan alkitabiah yaitu selam setelah ia membuat pengakuan iman. Tentu satu minggu kemudian Bruckner dipecat gerejanya, dan suport dananya dihentikan. Akhirnya ia terpaksa harus menumpang makan di rumah Twort. Teman-teman misi Baptis kemudian harus pontang-panting mencarikan suport dana bagi Bruckner. Setelah Twort bekerja selama 2 tahun di Semarang, di tempat dia menikmati sebuah hubungan yang baik dengan seorang pegawai Jawa, ia mampu melengkapi sepertiga bagian dari sebuah kamus Jawa-Inggris, sebelum ia mengalami nasib yang sangat mengenaskan. Dalam sebuah periode singkat, Trowt telah membuka sebuah sekolah untuk penduduk setempat dan telah mengembangkan sebuah hubungan yang sangat dekat dengan Bupati Sura Adimenggala yang sangat terbuka terhadap pendidikan Barat.
Adimenggala mengirim kedua putranya, Saleh dan Shukur, untuk belajar dengan Marshman dari Serampore, dari tahun 1812 sampai 1814. Sekolah ini disponsori oleh misi Baptis. Trowt berdiskusi dengan Adimenggala, berencana untuk mendirikan sebuah sekolah, menerbitkan berbagai buku dalam Bahasa Jawa, dan mendirikan sebuah sekolah untuk orang Jawa di Semarang. Menurut Trowt, Adimenggala sangat mendukung rencananya. Trowt menderita disentri dan demam, dan selama 2 tahun ia terus menderita berbagai penyakit serius. Ia meninggal pada 25 Oktober 1816.
Sebelum kematiannya, Trowt bisa berbahasa Melayu dengan lancar dan mulai menguasai Bahasa Jawa. Andai Trowt tidak meninggal terlebih dulu, misi Baptis di Semarang mungkin telah meninggalkan sebuah peninggalan yang sangat berharga. Thomas Philips, yang menggantikan Trowt di Semarang, juga meninggal dini setelah mengalami penderitaan fisik dan mental. Nampaknya, kondisi kehidupan di negara tropis dan lingkungan sosial menghasilkan sebuah penghalang besar, yang pada akhirnya menghabiskan stamina fisik dan mental mereka. Minimnya fasilitas kesehatan, situasi politik yang tidak menentu, dan dana yang pas-pasan yang diberikan oleh badan misi, tidak cukup untuk membuat mereka memiliki peluang mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai. Kebanyakan dari mereka terserang demam, malaria, tifus, dan disentri.
Bruckner sangat berhasil dalam mempelajari bahasa Jawa, ia meneruskan kamus yang dimulai oleh Twort. Bahkan ia berhasil menerjemahkan Alkitab ke bahasa Jawa. Tetapi mengalami kesulitan untuk mencetaknya karena Nusantara kembali diperintah oleh Belanda pada tahun 1816 yang tidak bersahabat dengan para pemberitaan Injil.
Sejak pemerintahan dikembalikan kepada Belanda dan secara bersamaan pelarangan penyebaran agama Kristen kembali diadakan. Kebijakan keagamaan Raffles yang bebas menjadi terbatas oleh kebijakan otoritas Belanda yang sangat berhati-hati. Hal ini dilakukan demi menjaga keseimbangan dalam kehidupan keagamaan, namun terutama untuk menjaga agar tidak timbul guncangan dan hal-hal yang dapat memicu perlawanan pada komunitas Islam di Jawa. Satu-satunya misionari yang diizinkan oleh pemerintah Belanda untuk terus bekerja adalah Gottlob Bruckner. Hal ini tentu saja tidak disebabkan oleh keberhasilannya dalam menyebarkan agama di antara para penduduk Jawa di Semarang. Sebaliknya, mereka memberikan izin karena Bruckner adalah satu-satunya misionari yang gaya bekerjanya diam-diam dan tidak menonjol.
Bruckner bekerja di Jawa selama 43 tahun, tanpa tercatat seorang pun sebagai `buah` dari tugasnya untuk memberitakan Injil. Ia tidak membaptis siapa pun. Namun sepanjang hidupnya, dengan stamina fisik dan mental yang luar biasa, Bruckner berhasil menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa dan tulisan Jawa. Ia menyelesaikan karyanya dalam waktu yang relatif singkat, sekitar 8 tahun. Walaupun ia diterima baik oleh penguasa, `buah` yang terpenting dari karyanya, yang dilakukan dengan bersemangat, sangat terhalang. Atmosfer politis di seluruh Hindia Belanda mulai menunjukkan gejala kekacauan.
Puncak kesulitan yang disebabkan oleh pemerintah Belanda selama periode ini, terutama kepada para misionari "non-Belanda" adalah penyitaan dan pelarangan penyebaran karya monumental Bruckner: Perjanjian Baru edisi Bahasa Jawa. Bruckner telah menyelesaikan manuskrip tersebut pada 1823. Ia harus menunggu selama 5 tahun sebelum ia bisa pergi ke Serampore dengan seorang putranya untuk mencetak teksnya, dan di sana, ia menunggu selama 3 tahun. Akhirnya, 3000 copy berhasil dicetak. Dengan sukacita, ia mengambil 2100 copy untuk Batavia dan memberikan-nya kepada Dutch Bible Society -- ia sendiri hanya menerima 300 copy.
Sebelum membagikan Alkitab, direktur Dutch Bible Society merasa perlu untuk meminta izin Gubernur Jenderal. Keputusan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal sangat mengecewakan Bruckner, katanya: Perang baru saja berakhir; situasi yang tidak menguntungkan ini akan digunakan oleh orang untuk memberontak lagi jika kitab tersebut dibagikan di kalangan pribumi!" Terjemahan bersejarah Perjanjian Baru "untuk sementara waktu ditahan, sampai keadaan memungkinkan." Sayangnya, kebanyakan dari kitab tersebut dimakan rayap ketika berada di gudang pelabuhan Tanjung Priok. Pada 1848, dan 17 tahun kemudian, sisa hasil terjemahan tersebut dibebas-kan dari "penahanan".
Fase pertama kepeloporan misi Baptis di Jawa, telah dihalangi dan menemui kegagalan. Iblis telah memakai orang yang menyebut dirinya Kristen untuk menghalangi Injil. Bahkan Bruckner, orang terakhir pada periode ini, tidak berhasil memenuhi harapan rekan-rekannya dari misi Baptis. Tidak ada seorang Jawa pun yang memilih untuk mendengar pesannya dan mengikuti jejak imannya. Namun, Bruckner telah memulai sebuah fase penting, sebuah fase yang diperlukan untuk pembentukan Gereja Kristen untuk orang Jawa: ia telah mempersiapkan sebuah manuskrip suci yang akan dibaca oleh orang Jawa sebagai fondasi kehidupan kerohanian mereka. Ia telah melaksanakan sebuah tugas yang tidak dapat dilakukan oleh siapa pun juga. Orang Jawa tidak dapat melakukannya, orang Kristen dari misi Belanda juga tidak. Bruckner sendirilah yang menyelesaikan tugas ini, yaitu menerjemahkan Alkitab ke bahasa Jawa dengan tulisan Jawa tidak dapat dilakukan orang lain selain Gottlob Bruckner.
Nederlandsch Bijbelgenootschap mengirim J. F. C. Gericke ke Jawa pada 1826. Ia merupakan orang pertama dari kalangan misi yang memiliki bakat besar dalam linguistik, dan ia mendemonstrasikan sebuah profesionalisme yang melampaui ke-mampuan Bruckner. Gericke menggunakan terjemahan Bruckner sebagai sumber utamanya, dalam upayanya untuk menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Jawa. Periode ketiga ini diakhiri dengan sepucuk surat dari Bruckner pada rekan-rekannya di pusat misi Baptis di Serampore, 2 bulan sebelum kematiannya pada 9 Juli 1857.
Kisah pertama sej arah agama Kristen di Jawa dimulai dengan penuh antusiasme dan berakhir dengan kekecewaan. Karya Bruckner, pada paruh awal abad ke-19 merupakan representasi pergumulan para pelopor. Paruh kedua abad ke-19 merupakan kisah kedua dalam sejarah ini. Banyak badan misi baru muncul dengan berbagai cara, sehingga terdapat peluang yang lebih besar untuk berhasil. Para aktor dan layarnya mungkin berganti, namun karya terjemahan Bruckner merupakan sebuah pilar dalam sejarah yang akan menjadi pendukung utama untuk masa perkembangan agama Kristen di Jawa pada periode selanjutnya. (disadur dari buku: Mission at the Crossroads dan Java Saga : Christian progress in Muslim Java, David Bentley-Taylor, OMF Books, 1975 - 148 halaman).
Pemberitaan Injil ke Sumatera Samuel Munson lahir tanggal 23 Maret 1804 di New Sharser Maine, sedang Henry Lyman lahir tanggal 23 November 1809 di Northhampton, Amerika Serikat. Pada tanggal 9 Juli 1833, para jemaat Baptis di Boston, Amerika Serikat, membuat perjamuan jemaat. Dalam pesta itu, semua perhatian tertuju pada dua pengkhotbah muda, Samuel Munson dan Henry Lyman dan istri mereka yang akan berangkat membelah samudera menuju sebuah negeri jauh yang belum per-nah mereka kunjungi sebelumnya.
Negeri yang mereka tuju bernama Hindia Belanda, yang kelak akan menjadi tanah pekuburan mereka sendiri. Munson dan Lyman menumpang kapal bernama “Dunkan”, dengan sebuah acara pelepasan yang mengharukan dari anggota jemaat Gereja Baptis Boston. Keduanya melambai dan menatap para jemaat yang berbaris di bibir pelabuhan, hingga Benua Amerika lenyap sama sekali di belakang mereka.
Setelah berlayar selama 105 hari, Munson dan Lyman melihat sosok Pulau Jawa, dan kapal mereka merapat ke Batavia. Di kota yang sedang berkembang ini, keduanya mendapat sambutan dari seorang rohaniawan berkebangsaan Inggris, Gembala Madhurst. Selain dibekali pengetahuan teologia, mereka juga dibekali keterampilan medis. Dari surat-surat yang mereka kirimkan ke Boston, diketahui bahwa mereka sangat sibuk dengan para pasien yang datang tiap hari.
Setelah menguasai Bahasa Melayu, Munson dan Lyman mulai mengurus izin pada pemerintah Belanda untuk berangkat ke Tanah Batak. Gubernur Jenderal Pemerintahan Belanda di Batavia meluluskan permintaan mereka. Tanah Batak adalah impian Munson sejak ia sekolah theologi. Ia mendapatkan literatur yang menceritakan keindahan kawasan ini, berikut masyarakatnya yang masih menganut kepercayaan kuno, sipelebegu (sejenis animisme).
Tepat pada hari Selasa, 8 April 1834, Munson dan Lyman berangkat meninggalkan anak isteri mereka di Batavia dengan menumpang kapal besar “Mederika”. Mereka berada di antara para serdadu Belanda beserta tawanannya.
Pada 19 April 1834, atau sebelas hari sejak keberangkatan dari Jawa, mereka tiba di Bengkulu. Munson dan Lyman tinggal di sini selama 4 hari. Lalu pada tanggal 26 April 1834, mereka sudah menjejakkan kaki di Padang. Gembala Gereja Belanda, Ward menyambut keduanya. Munson dan Lyman mendapat banyak informasi penting dari beliau, karena Ward sudah pernah mengunjungi Tanah Batak pada tahun 1824. Menurut Ward, orang Batak adalah masyarakat yang ramah tamah. Ward juga menceritakan penyambutan raja-raja Batak terhadap dirinya yang disertai tarian (tortor).
Akhirnya, pada 17 Juni 1834, Munson dan Lyman tiba di T anah Batak untuk pertama kalinya, yakni Sibolga. Tuan Bonnet, seorang pejabat Belanda, menyambut mereka dengan hangat. Dia bahkan memberikan perlengkapan untuk keberangkatan mereka selanjutnya ke arah Silindung. Dalam perjalanan, Munson dan Lyman disertai seorang penerjemah, tukang masak, polisi, dan 8 pendamping lain.
Rombongan kecil ini berangkat pada suatu sore yang teduh tanggal 23 Juni 1834, menembus belantara, lembah, dan pegunungan yang bergelombang selama 6 hari. Kadang-kadang, mereka harus merangkak seperti ekspedisi kelompok pecinta alam ketika melalui medan yang sangat sulit. Rura Silindung yang mereka tuju adalah sebuah lembah yang datar dan indah di sebelah utara Tapanuli.
Ketika sampai di kampung Raja Suasa, misionari Munson dan Lyman menerima saran dari Raja Suasa agar mereka menginformasikan lebih dulu kedatangan mereka di Silindung. Saat itu, suasana di Rura Silindung (sekarang Kota Tarutung) memang masih diwarnai kemelut akibat ekses dari Perang Bonjol. Namun Munson dan Lyman memilih menghemat waktu agar segera tiba di Silindung. Tepat enam hari sejak berangkat dari Sibolga, satu sore yang indah menyambut mereka di pinggiran sebuah kampung. Munson mengutus penerjemah untuk mengetahui keadaan di kampung tersebut sebelum memasukinya. Namun setelah beberapa jam, si penerjemah tak kunjung kembali. Menimbang cerita Gembala Ward, kedua misionaris itu tidak curiga kalau-kalau sesuatu telah terjadi.
Dalam keadaan yang belum dapat memutuskan tindakan selanjutnya, tiba-tiba semak belukar di sekitar mereka terkuak dan berderak. Serombongan orang muncul dari balik pepohonan seraya berteriak, “Mulak, mulak ma hamu!” (Pulang, pulanglah kalian!). Kedua missionari itu terkejut, dan pada saat yang sama mereka menyadari bahwa para pengikut lain telah menghilang entah kemana, kecuali Jan. Munson dan Lyman, dengan bahasa isyarat sesanggupnya, berupaya menggambarkan maksud tulus keda-tangan mereka ke daerah itu. Tapi komunikasi tampaknya tidak nyambung, dan terjadilah salah pengertian. Melihat gelagat yang makin buruk, tiba-tiba Jan mengambil bedil yang dibawa Munson dari Padang, dan hendak menembakkannya ke arah orang ramai itu. Tindakan itu dicegah Munson. Tapi sayang, pada saat yang hampir bersamaan, terdengar letusan bedil dari arah lain dan Lyman roboh bercucuran darah.
Detik-detik berikutnya makin menegangkan dan memperkecil peluang untuk saling pengertian. Munson yang malang masi h mencoba memberi isyarat dengan menunjukkan Alkitab yang dibawanya, tapi suasana terlanjur panas dan chaos. Ia dipukuli hingga jatuh tanpa melawan maupun menunjukkan rasa takut. Jan melarikan diri dan bersembunyi di kerapatan hutan. Ia berhasil lolos dan kembali ke Sibolga dalam keadaan payah, lalu menemui Tuan Bonnet. Informasi tentang insiden tersebut digambarkan oleh Jan.
Kesimpulan
Karena kasih Kristus kepada orang Indonesia, para misionari datang menempuh perjalanan berbulan-bulan agar orang-orang diselamatkan. Dan orang dari Gereja Baptis yang pertama melakukan itu. Seandainya bangsa Indonesia lain tidak tahu, setidaknya orang Kristen Indonesia tahu bahwa Gereja Baptis adalah gereja paling awal selain gereja Belanda di bumi Nusantara. Misionari Baptis adalah yang paling awal memberitakan Injil baik di pulau Jawa maupun Sumatera. Aneh sekali, ketika saya mendengar alumni GI TS bercerita tentang pemimpin gereja yang berkata bahwa mereka tidak boleh memberitakan Injil di wilayahnya. Siapa yang menentukan bahwa itu adalah wilayah gereja tertentu? Ada juga pemimpin gereja yang sok berkuasa yang menanyakan surat ijin gereja. Gereja Baptis adalah gereja pertama di bumi Nusantara, sebelum ada Indonesia, bahkan sebelum Sumpah Pemuda.***
Sumber: Dr. Suhento Liauw, Th.D dalam Jurnal Teologi PEDANG ROH Edisi 80, Juli-September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar