Dewasa ini sering bermunculan buku-buku yang mendiskreditkan Kekristenan (atau paling tidak menyerang Kekristenan injili/ortodoks) . Yang termasuk buku semacam ini antara lain novel Da Vinci Code (Dan Brown), terjemahan Injil Yudas, Dinasti Yesus (James Tabor) dan Misquoting Jesus (Bart D. Ehrman). Tidak tertutup kemungkinan akan muncul buku-buku lain yang sejenis. Semua buku ini bukan diterbitkan oleh penerbit Kristen. Dari hal ini kita dengan mudah bisa menduga motif di balik penerjemahan dan penerbitan buku-buku tersebut, yaitu sekadar strategi bisnis untuk mengeruk keuntungan besar dari isu kontroversial (dan disukai banyak orang) atau tendensi ideologis lain yang turut berperan di dalamnya.
Sejauh ini respons orang Kristen di Indonesia terhadap fenomena di atas bisa dibilang cukup bijaksana. Mereka tidak mau mengintimidasi maupun menuntut para penerbit tersebut secara hukum. Dalam era kebebasan pers, orang Kristen memang sudah sepatutnya memiliki wawasan yang luas. Yang harus dilakukan adalah memperdalam pemahaman terhadap kebenaran Alkitab, sehingga tidak dibingungkan oleh berbagai ajaran yang menyimpang. Bukankah Yesus sendiri pernah mengatakan bahwa penyesatan memang harus ada (Mat. 18:7//Luk. 17:1)? Bukankah hal itu justru bermanfaat untuk menguji siapa yang sungguh-sungguh percaya kepada kebenaran dan siapa yang tidak sungguh-sungguh (1Yoh. 2:19)?
Dalam makalah kali ini, kita hanya akan menyoroti buku Misquoting Jesus karya theolog liberal yang bernama Bart D. Ehrman yang diterbitkan oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, tahun 2006. Buku yang mulai diterbitkan pada tanggal 1 November 2005 ini bukanlah satu-satunya buku karya Ehrman yang menyerang Kekristenan injili. Dia sebelumnya sudah menulis dua buku yang memiliki semangat sama, walaupun topik yang dibahas berbeda, yaitu Lost of Christianities: The Battles for Scripture and the Faith We Never Knew dan Lost Scriptures: Books that Did Not Make It into the New Testament. Dia juga yang memberikan rekomendasi dalam buku Dinasti Yesus karya James Tabor. Buku Ehrman yang lain yang paling berkaitan dengan Misquoting Jesus adalahThe Orthodox Corruption of Scripture.
Popularitas Misquoting Jesus
Buku Misquoting Jesus terus menuai popularitas sejak penerbitan pada tanggal 1 November 2005. Ehrman diundang ke berbagai acara talk-show TV ternama. Dalam tempo 3 bulan penjualan buku ini sudah mencapai 100 ribu buku dan terus menanjak menempati posisi sebagai salah satu buku best-seller pada tahun 2006. Popularitas ini sangat istimewa jika dikaitkan dengan topik yang dibahas. Buku Misquoting Jesus membahas tentang kritik teks, yaitu penyelidikan terhadap berbagai salinan kuno Alkitab guna merekonstruksi autografa (naskah asli) Alkitab sampai sedekat mungkin. Topik seperti ini biasanya termasuk dalam salah satu matakuliah yang paling membosankan bagi mahasiswa theologi. Bagaimanapun, gaya penulisan Ehrman yang sederhana dan situasi pasar telah berhasil membuat topik yang membosankan ini menjadi sangat digemari.
Popularitas Misquoting Jesus sangat berhubungan dengan situasi pasar secara umum. Segala sesuatu yang kontroversial seputar kehidupan Yesus dewasa ini merupakan isu yang paling dicari oleh orang-orang postmodernisme. Pemilihan judul “Misquoting Jesus: The Story Behind Who Changed the Bible and Why” juga dilakukan atas pertimbangan komersial. Judul asli yang disukai Ehrman adalah Lost In Transmission, tetapi penerbit memutuskan untuk mengubah usulan ini (mungkin karena kuatir dianggap sebagai buku tentang balap mobil!?). Judul yang ada sekarang dianggap tampak lebih menarik perhatian banyak orang, karena secara langsung menampilkan Yesus yang berbeda dengan Yesus menurut kalangan Kekristenan ortodoks. Dari sisi kaidah penulisan, judul ini justru tidak sesuai dengan isi buku. Dari beberapa kata Alkitab yang keaslian diperdebatkan oleh Ehrman dalam buku ini, tidak ada satu pun yang berisi perkataan Yesus.
Kehadiran Misquoting Jesus turut memberi dukungan mental bagi mereka yang memang sejak semula meragukan kredibilitas Alkitab. Mereka sebelumnya telah memiliki bekal untuk meneguhkan ketidakpercayaan mereka terhadap Alkitab melalui berbagai buku yang mengajarkan bahwa kisah-kisah dalam Alkitab hanyalah mitos Hellenis tentang Yesus yang diciptakan para penulis Alkitab untuk memenuhi kebutuhan gereja pada jaman mereka. Sekarang mereka mendapat peneguhan baru melalui penyelidikan kritik teks yang tampak sangat meragukan kredibilitas Alkitab. Berbagai salinan yang ada – menurut Ehrman – ternyata telah banyak diubah-ubah oleh kalangan Kekristenan ortodoks supaya sesuai dengan doktrin yang mereka anut. Kekristenan sejak awal dipercaya terdiri dari berbagai aliran yang berbeda dan saling berkontradiksi.
Rangkuman Isi Misquoting Jesus
Menurut Ehrman, buku Misquoting Jesus terasa lebih spesial dibandingkan yang lain, karena buku ini merupakan kristalisasi dari pergumulan iman dan akademisnya selama 30 tahun (hlm. xi). Dia lalu menceritakan bagaimana pergumulannya dari seorang Kristen injili akhirnya menjadi seperti sekarang. Apakah cerita singkat tentang pergumulan ini hanya berguna sebagai pendahuluan bagi buku tersebut ataukah dia memiliki motif/pesan yang tersembunyi di baliknya, misalnya “seorang Kristen yang serius dengan kebenaran pasti akan berakhir seperti dia”? Kita tidak pernah mengetahui dengan pasti.
Dalam lingkungan akademis, apa yang disampaikan dalam buku Misquoting Jesus sebenarnya tidak ada hal yang baru. Hampir semua yang ditulis sudah menjadi rahasia umum para theolog biblika. Hal yang baru dalam buku ini adalah keberanian Ehrman untuk membawa diskusi tentang kritik teks (naskah) ke dalam wilayah populer (orang Kristen awam), sebagaimana yang dia akui di halaman xxx. Hal baru lain (yang menurut saya cukup mengagetkan) adalah konklusi negatif dari studi kritik teks yang dilakukan Ehrman. Banyak ahli yang mendalami kritik teks – beberapa di antara mereka bahkan lebih kompeten dan diakui daripada Ehrman – tetapi hasil studi tersebut tidak membuat kepercayaan mereka terhadap ketidakbersalahan Alkitab hilang.
Apakah inti yang ingin disampaikan oleh Ehrman dalam bukunya? Bagaimana alur berpikir Ehrman yang telah membawa dia pada konklusi yang negatif terhadap Alkitab? Dua pertanyaan di atas dapat dengan mudah dijawab hanya dengan membaca bagian kata pengantar dari buku Misquoting Jesus (bab-bab selanjutnya hanyalah penjelasan detil dari pokok pikiran yang sudah dituangkan di bagian awal). Ehrman ingin menunjukkan bahwa Alkitab yang sekarang ada bukanlah firman Allah yang tidak bisa salah, karena ribuan manuskrip yang ada telah mengalami modifikasi oleh para penyalin, sehingga sulit diketahui apakah manuskrip yang ada mencerminkan autografa Alkitab yang sampai sekarang tidak ditemukan. Menurut Ehrman, “hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah kembali ke versi seawal mungkin, tidak soal apakah kita telah mencapai naskah “asli” itu atau tidak” (hlm. 57). Dia sendiri secara eksplisit menyamakan signifikansi Alkitab dengan tulisan Kristen lain di abad-abad berikutnya, bahkan tulisan non-Kristen lain pada jaman itu, misalnya tulisan Josephus, Lusian Samosata dan Plutarkh (hlm. xxix).
Untuk membuktikan hal itu, Ehrman memiliki alur pemikiran yang dapat digambarkan sebagai berikut: (1) tidak ada autografa Alkitab yang ditemukan; (2) manuskrip-manuskrip yang ada saling berlainan dan tidak bisa dipercaya, karena sudah diubah berkali-kali, baik secara tidak sengaja maupun disengaja dengan berbagai motivasi tertentu. Motivasi pengubahan yang tampaknya ditekankan Ehrman adalah motivasi melawan bidat atau penyalahgunaan teks autografa oleh para bidat; (3) tidak ada cara untuk mencapai naskah asli, sehingga Alkitab yang ada sekarang tidak bisa dipercaya, termasuk doktrin-doktrin Kristen yang penting yang didasarkan pada teks-teks yang bermasalah; (4) semua ini menunjukkan Alkitab bukan firman Allah. Mengapa? Kalau Allah memang berfirman, maka Ia akan melakukan mujizat untuk menjaga agar autografa firman-Nya tidak musnah atau menjaga para penyalin Alkitab dari segala bentuk kesalahan. Faktanya, ribuan manuskrip Alkitab mengandung kesalahan, karena itu autografanya pasti bukan firman Allah (hlm. xxv).
Sehubungan dengan autografa – yang tidak mungkin direkonstruksi dan bukan firman Allah – Ehrman menjelaskan bahwa autografa sendiri sangat mungkin mengandung berbagai kesalahan dan kontradiksi, karena para penulisnya memang tidak diinspirasikan oleh Allah. Dengan asumsi seperti ini dia tidak berusaha mengharmonisasikan beberapa teks Alkitab yang sekilas tampak sulit diterima maupun berkontradiksi. Sebaliknya, dia berpendapat bahwa memang ada kemungkinan (dan sudah terbukti) kalau para penulis Alkitab melakukan kesalahan atau saling kontradiktif.
Ketidakadaan Autografa
Sebelum menganalisa kelemahan dalam buku Misquoting Jesus, hal pertama yang perlu dibahas adalah ketidakadaan autografa. Mengapa Allah tidak menjaga keberadaan autografa Alkitab? Apakah hal itu merupakan hal yang sangat serius sekaligus membuktikan bahwa autografa tersebut tidak diilhamkan?
Sehubungan dengan pertanyaan pertama, Allah memang memiliki maksud tertentu dengan tidak melestarikan autografa Alkitab. Dia tidak ingin orang Kristen terjebak pada penyembahan berhala dengan cara mengagungkan bentuk fisik firman Allah itu (tulisan) daripada isinya. Alkitab dan sejarah gereja memberikan banyak contoh dari bahaya seperti ini. Baju efod Gideon disembah oleh bangsa Israel (Hak. 8:27). Terjemahan Alkitab Vulgata dan King James Version saja diperlakukan secara berlebihan oleh orang-orang Kristen seolah-olah firman Tuhan hanya terdapat dalam versi tersebut.
Apakah ketidakadaan autografa merupakan permasalahan yang sangat serius? Tidak seserius yang dipikirkan Ehrman, kecuali kalau alur berpikir Ehrman diaplikasikan secara konsisten, maka hal itu baru akan membawa implikasi yang serius. Di dunia ini tidak ada satu buku kuno atau kitab suci apa pun yang autografanya ditemukan. Kita hanya memiliki berbagai salinan kuno. Seandainya ketidakadaan autografa meruntuhkan kredibilitas autografa tersebut, maka keberadaan dan kebenaran semua buku kuno dan kitab suci juga harus diragukan. Dalam hal inilah inkonistensi Ehrman terlihat dengan jelas. Dia berkali-kali mengutip kitab-kitab kuno di luar Alkitab dan mengasumsikan bahwa kutipan itu pasti benar, padahal semua kutipan itu juga dia dapatkan dari salinan-salinan (tidak ada autografa dari kitab-kitab tersebut yang ditemukan). Mengapa dia tidak mengaplikasikan prinsip ini kepada Alkitab?
Ketika suatu autografa tidak ditemukan lagi, maka jembatan untuk menuju autografa tersebut hanyalah terletak pada berbagai terjemahan kuno dan salinan. Seberapa jauh terjemahan kuno dan salinan kuno tersebut dapat merekonstruksi autografa dapat diukur berdasarkan tes bibliografi (bibliographical test). Manuskrip yang lebih banyak dan lebih dekat dengan waktu penulisan autografa adalah yang lebih bisa dipercaya. Jika diuji memakai kriteria yang objektif ini, maka manuskrip-manuskrip Alkitab tampak sangat unggul dibandingkan kitab-kitab lain, sebagaimana terlihat dari tabel berikut ini:
Analisa Kritis terhadap Misquoting Jesus
Hal positif dalam buku ini adalah pemaparan tentang introduksi umum kritik teks yang dibahas di bab I-IV. Apa yang ditulis Ehrman di bagian itu bisa disebut sebagai sebuah pengantar yang cukup baik, sekalipun ada beberapa detil yang masih bisa diperdebatkan dan perlu dibaca dengan kritis. Pengantar itu juga sangat sederhana dan enak untuk dibaca, sehingga bisa dikonsumsi oleh orang awam. Persoalannya, Ehrman ternyata tidak konsisten dan kurang jeli dalam menerapkan berbagai prinsip kritik teks maupun menarik konklusi dari data yang ada.
Pertama, pernyataan Ehrman bahwa “jumlah perbedaan yang terdapat di antara manuskrip-manuskrip kita lebih banyak daripada jumlah kata-kata dalam Perjanjian Baru” (hlm. xxiv) terlalu bias dan bisa menimbulkan kesan yang salah. Kesan yang timbul adalah “hampir setiap kata dalam Perjanjian Baru diperdebatkan keasliannya”. Kesan ini tentu saja merupakan sesuatu yang tidak benar. Para theolog biblika sudah mengetahui bahwa jumlah kata dalam Perjanjian Baru adalah sekitar 138.000 dan perbedaan variasi bacaan yang ada di berbagai manuskrip mencapai sekitar 400.000, namun hal ini bukanlah sesuatu yang signifikan. Mengapa? Karena berbagai variasi itu hanya berhubungan dengan ayat-ayat tertentu yang jumlahnya hanya sekitar 1% dari keseluruhan kata dalam Perjanjian Baru.
Kedua, Ehrman tidak memberikan perbandingan manuskrip secara detil untuk ayat-ayat yang dia bahas. Ia hanya menyebutkan adanya perbedaan bacaan dalam suatu ayat tanpa menjelaskan manuskrip mana yang lebih bisa dipercaya dalam konteks tersebut. Ketidakadaan penjelasan semacam ini menimbulkan kesan kalau salinan yang berbeda tersebut memiliki peluang yang seimbang, padahal aplikasi kritik teks dengan mudah dapat menunjukkan salinan/bacaan mana yang sesuai dengan autografa. Ketidakadaan penjelasan ini mungkin disengaja oleh Ehrman agar dia mampu menyeret pembaca dengan mudah kepada apa yang dia percayai.
Ketiga, secara umum Ehrman telah menyalahi prinsip dasar dari kritik teks, yaitu membandingkan kata per kata, bukan membandingkan manuskrip per manuskrip. Dari awal pembahasan Ehrman terkesan hanya ingin menekankan perbedaan secara umum antar manuskrip yang ada.. Hal ini memang benar. Tidak ada dua manuskrip yang sama 100%. Bagaimanapun, hal itu tidak berarti bahwa semua manuskrip itu secara keseluruhan tidak bisa dipercayai. Kita harus membandingkan kata per kata dan menentukan kata mana yang lebih sesuai dengan autografa.
Keempat, tidak ada hubungan logis antara ketidakadaan autografa dan penolakan terhadap doktrin inspirasi Alkitab. Inspirasi berkaitan dengan dorongan dan bimbingan Roh Kudus kepada para penulis Alkitab (2Tim. 3:16; 2Ptr. 1:20-21). Hal ini tidak ada kaitan sama sekali dengan salinan maupun terjemahan kuno Alkitab. Sekalipun semua manuskrip mengandung perubahan – entah sedikit atau banyak – bukankah manuskrip-manuskrip itu dalam taraf tertentu tetap menyiratkan autografa? Dengan kata lain, kita tetap akan menemukan bagian dari autografa dalam berbagai manuskrip tersebut.
Kelima, Ehrman telah melakukan kesalahan fatal ketika dia menganggap kritik teks telah berpengaruh besar terhadap doktrin-doktrin penting dalam Kekristenan, seolah-olah hasil kritik teks menuntut diadakannya reformasi doktrin Kekristenan ortodoks. Dia menyoroti beberapa ayat yang dipermasalahkan secara kiritk tekstual, yaitu Matius 24:36; Markus 1:41; Ibrani 2:8-9; Markus 16:9-20; Yohanes 1:18; dan Yohanes 7:53-8:11. Mari kita mengambil salah satu contoh dari 1 Yohanes 5:7-8. Menurut Ehrman, bagian ini tidak terdapat dalam autografa, dengan demikian hal ini meruntuhkan doktrin Tritunggal, karena “hanya di bagian itulah ajaran Tritunggal disebut bahwa ada tiga pribadi ilahi dan ketiganya membentuk satu Allah” (hlm. 81).
Dari semua ayat yang disorot Ehrman, beberapa bisa dipastikan memang tidak ada dalam autografa (Yoh. 7:53-8:11; 1Yoh. 5:7-8) atau kemungkinan besar tidak ada dalam autografa (Mrk. 16:9-20), karena semua ayat itu tidak ditemukan dalam manuskrip-manuskrip kuno; kalaupun ditemukan, ayat-ayat itu hanya ditemukan di bagian margin, diberi tanda khusus yang menunjukkan keraguan penyalinan atau diletakkan di tempat yang berbeda-beda dalam Alkitab. Bagaimanapun, hal ini tidak akan mengubah doktrin Kristen secara mendasar. Kita masih memiliki banyak ayat lain yang mengajarkan nilai teologis yang sama. Seandainya kisah kebangkitan dan perintah Yesus sesudah kebangkitan- Nya di Injil Markus memang tidak asli, kita masih memiliki kisah kebangkitan dan perintah tersebut di kitab-kitab injil lain (Mat. 28; Luk. 24; Yoh. 20). Seandainya kisah perempuan berzinah di Injil Yohanes tidak asli, kita masih bisa mendapatkan figur Yesus yang sama di bagian lain, yaitu figur yang berhikmat (Mat. 22:15-22) dan mengasihi orang berdosa (Luk. 15:1-3; 19:10). Seandainya 1 Yohanes 5:7-8 tidak asli, kita masih memiliki banyak ayat yang mengajarkan Tritunggal (misalnya Mat. 3:16-17; 28:19-20) dan ayat-ayat lain yang meneguhkan keilahian Yesus (misalnya Yoh. 20:28) maupun Roh Kudus (misalnya Kis. 5:4, 9).
Selain tiga ayat di atas, ayat-ayat lain yang dipermasalahkan Ehrman dapat dipastikan ada dalam autografa (Mat. 24:36; Yoh. 1:18; dan Ibr. 2:8-9) atau masih bisa diperdebatkan (Mrk. 1:41). Sekalipun – misalnya – dalam Markus 1:41 kata yang benar bukan “tergeraklah hati-Nya dengan belas kasihan”, tetapi “sambil marah” (seperti yang diusulkan Ehrman), apakah hal ini mempengaruhi figur Yesus secara keseluruhan dalam Injil Markus maupun Alkitab? Bukankah di tempat lain Yesus juga beberapa kali diceritakan marah kepada orang-orang lain (Mrk. 3:5; 8:33; 10:14)? Jadi, baik penyembuhan yang Yesus lakukan didasarkan pada “belas kasihan” (mayoritas versi) maupun “kemarahan” (karena orang kusta itu mungkin meragukan kebaikan-Nya) , ayat itu tetap tidak mengubah doktrin Kristologi.
Keenam, penolakan Ehrman terhadap Alkitab sebagai firman Allah dan sikap dia yang menyamakan Alkitab dengan berbagai kitab lain merupakan sikap yang tidak bisa dipertahankan. Alkitab dan berbagai kitab kuno itu kadangkala (bahkan sering kali) berkontradiksi satu dengan yang lainnya. Seandainya Ehrman memperlakukan semua kitab itu secara sama – yaitu sebagai tulisan manusia belaka – standar kebenaran apa yang dia pakai untuk mengevaluasi kontradiksi tersebut?
Konklusi
Apa yang dipaparkan dalam Misquoting Jesus sebagian berisi pendapat tekstual Ehrman yang tidak tepat. Pada beberapa kasus ketika dia mengambil keputusan tekstual yang tepat, ia menafsirkan hal tersebut secara berlebihan. Lebih parah lagi, tafsiran ini sering kali lebih didasarkan pada presuposisi teologis daripada bukti yang objektif.
Akhirnya, kita perlu memberikan respek kepada Ehrman atas usahanya untuk membawa isu akademis menjadi wacana publik. Sikap ini akan sangat bermanfaat dalam mendidik jemaat lebih memepelajari Alkitab jika diterapkan oleh theolog Injili.
Sumber: Pendalaman Alkitab GKRI Exodus, 24 April 2007
Profil Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. :
Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M., yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus. org) dan dosen di Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet serta dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia.
Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.
"Mengenal Allah merupakan hal penting untuk menjalani hidup kita."
(Prof. J. I. Packer, D.Phil.; Mengenal Allah, hlm. 5)
Sejauh ini respons orang Kristen di Indonesia terhadap fenomena di atas bisa dibilang cukup bijaksana. Mereka tidak mau mengintimidasi maupun menuntut para penerbit tersebut secara hukum. Dalam era kebebasan pers, orang Kristen memang sudah sepatutnya memiliki wawasan yang luas. Yang harus dilakukan adalah memperdalam pemahaman terhadap kebenaran Alkitab, sehingga tidak dibingungkan oleh berbagai ajaran yang menyimpang. Bukankah Yesus sendiri pernah mengatakan bahwa penyesatan memang harus ada (Mat. 18:7//Luk. 17:1)? Bukankah hal itu justru bermanfaat untuk menguji siapa yang sungguh-sungguh percaya kepada kebenaran dan siapa yang tidak sungguh-sungguh (1Yoh. 2:19)?
Dalam makalah kali ini, kita hanya akan menyoroti buku Misquoting Jesus karya theolog liberal yang bernama Bart D. Ehrman yang diterbitkan oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, tahun 2006. Buku yang mulai diterbitkan pada tanggal 1 November 2005 ini bukanlah satu-satunya buku karya Ehrman yang menyerang Kekristenan injili. Dia sebelumnya sudah menulis dua buku yang memiliki semangat sama, walaupun topik yang dibahas berbeda, yaitu Lost of Christianities: The Battles for Scripture and the Faith We Never Knew dan Lost Scriptures: Books that Did Not Make It into the New Testament. Dia juga yang memberikan rekomendasi dalam buku Dinasti Yesus karya James Tabor. Buku Ehrman yang lain yang paling berkaitan dengan Misquoting Jesus adalahThe Orthodox Corruption of Scripture.
Popularitas Misquoting Jesus
Buku Misquoting Jesus terus menuai popularitas sejak penerbitan pada tanggal 1 November 2005. Ehrman diundang ke berbagai acara talk-show TV ternama. Dalam tempo 3 bulan penjualan buku ini sudah mencapai 100 ribu buku dan terus menanjak menempati posisi sebagai salah satu buku best-seller pada tahun 2006. Popularitas ini sangat istimewa jika dikaitkan dengan topik yang dibahas. Buku Misquoting Jesus membahas tentang kritik teks, yaitu penyelidikan terhadap berbagai salinan kuno Alkitab guna merekonstruksi autografa (naskah asli) Alkitab sampai sedekat mungkin. Topik seperti ini biasanya termasuk dalam salah satu matakuliah yang paling membosankan bagi mahasiswa theologi. Bagaimanapun, gaya penulisan Ehrman yang sederhana dan situasi pasar telah berhasil membuat topik yang membosankan ini menjadi sangat digemari.
Popularitas Misquoting Jesus sangat berhubungan dengan situasi pasar secara umum. Segala sesuatu yang kontroversial seputar kehidupan Yesus dewasa ini merupakan isu yang paling dicari oleh orang-orang postmodernisme. Pemilihan judul “Misquoting Jesus: The Story Behind Who Changed the Bible and Why” juga dilakukan atas pertimbangan komersial. Judul asli yang disukai Ehrman adalah Lost In Transmission, tetapi penerbit memutuskan untuk mengubah usulan ini (mungkin karena kuatir dianggap sebagai buku tentang balap mobil!?). Judul yang ada sekarang dianggap tampak lebih menarik perhatian banyak orang, karena secara langsung menampilkan Yesus yang berbeda dengan Yesus menurut kalangan Kekristenan ortodoks. Dari sisi kaidah penulisan, judul ini justru tidak sesuai dengan isi buku. Dari beberapa kata Alkitab yang keaslian diperdebatkan oleh Ehrman dalam buku ini, tidak ada satu pun yang berisi perkataan Yesus.
Kehadiran Misquoting Jesus turut memberi dukungan mental bagi mereka yang memang sejak semula meragukan kredibilitas Alkitab. Mereka sebelumnya telah memiliki bekal untuk meneguhkan ketidakpercayaan mereka terhadap Alkitab melalui berbagai buku yang mengajarkan bahwa kisah-kisah dalam Alkitab hanyalah mitos Hellenis tentang Yesus yang diciptakan para penulis Alkitab untuk memenuhi kebutuhan gereja pada jaman mereka. Sekarang mereka mendapat peneguhan baru melalui penyelidikan kritik teks yang tampak sangat meragukan kredibilitas Alkitab. Berbagai salinan yang ada – menurut Ehrman – ternyata telah banyak diubah-ubah oleh kalangan Kekristenan ortodoks supaya sesuai dengan doktrin yang mereka anut. Kekristenan sejak awal dipercaya terdiri dari berbagai aliran yang berbeda dan saling berkontradiksi.
Rangkuman Isi Misquoting Jesus
Menurut Ehrman, buku Misquoting Jesus terasa lebih spesial dibandingkan yang lain, karena buku ini merupakan kristalisasi dari pergumulan iman dan akademisnya selama 30 tahun (hlm. xi). Dia lalu menceritakan bagaimana pergumulannya dari seorang Kristen injili akhirnya menjadi seperti sekarang. Apakah cerita singkat tentang pergumulan ini hanya berguna sebagai pendahuluan bagi buku tersebut ataukah dia memiliki motif/pesan yang tersembunyi di baliknya, misalnya “seorang Kristen yang serius dengan kebenaran pasti akan berakhir seperti dia”? Kita tidak pernah mengetahui dengan pasti.
Dalam lingkungan akademis, apa yang disampaikan dalam buku Misquoting Jesus sebenarnya tidak ada hal yang baru. Hampir semua yang ditulis sudah menjadi rahasia umum para theolog biblika. Hal yang baru dalam buku ini adalah keberanian Ehrman untuk membawa diskusi tentang kritik teks (naskah) ke dalam wilayah populer (orang Kristen awam), sebagaimana yang dia akui di halaman xxx. Hal baru lain (yang menurut saya cukup mengagetkan) adalah konklusi negatif dari studi kritik teks yang dilakukan Ehrman. Banyak ahli yang mendalami kritik teks – beberapa di antara mereka bahkan lebih kompeten dan diakui daripada Ehrman – tetapi hasil studi tersebut tidak membuat kepercayaan mereka terhadap ketidakbersalahan Alkitab hilang.
Apakah inti yang ingin disampaikan oleh Ehrman dalam bukunya? Bagaimana alur berpikir Ehrman yang telah membawa dia pada konklusi yang negatif terhadap Alkitab? Dua pertanyaan di atas dapat dengan mudah dijawab hanya dengan membaca bagian kata pengantar dari buku Misquoting Jesus (bab-bab selanjutnya hanyalah penjelasan detil dari pokok pikiran yang sudah dituangkan di bagian awal). Ehrman ingin menunjukkan bahwa Alkitab yang sekarang ada bukanlah firman Allah yang tidak bisa salah, karena ribuan manuskrip yang ada telah mengalami modifikasi oleh para penyalin, sehingga sulit diketahui apakah manuskrip yang ada mencerminkan autografa Alkitab yang sampai sekarang tidak ditemukan. Menurut Ehrman, “hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah kembali ke versi seawal mungkin, tidak soal apakah kita telah mencapai naskah “asli” itu atau tidak” (hlm. 57). Dia sendiri secara eksplisit menyamakan signifikansi Alkitab dengan tulisan Kristen lain di abad-abad berikutnya, bahkan tulisan non-Kristen lain pada jaman itu, misalnya tulisan Josephus, Lusian Samosata dan Plutarkh (hlm. xxix).
Untuk membuktikan hal itu, Ehrman memiliki alur pemikiran yang dapat digambarkan sebagai berikut: (1) tidak ada autografa Alkitab yang ditemukan; (2) manuskrip-manuskrip yang ada saling berlainan dan tidak bisa dipercaya, karena sudah diubah berkali-kali, baik secara tidak sengaja maupun disengaja dengan berbagai motivasi tertentu. Motivasi pengubahan yang tampaknya ditekankan Ehrman adalah motivasi melawan bidat atau penyalahgunaan teks autografa oleh para bidat; (3) tidak ada cara untuk mencapai naskah asli, sehingga Alkitab yang ada sekarang tidak bisa dipercaya, termasuk doktrin-doktrin Kristen yang penting yang didasarkan pada teks-teks yang bermasalah; (4) semua ini menunjukkan Alkitab bukan firman Allah. Mengapa? Kalau Allah memang berfirman, maka Ia akan melakukan mujizat untuk menjaga agar autografa firman-Nya tidak musnah atau menjaga para penyalin Alkitab dari segala bentuk kesalahan. Faktanya, ribuan manuskrip Alkitab mengandung kesalahan, karena itu autografanya pasti bukan firman Allah (hlm. xxv).
Sehubungan dengan autografa – yang tidak mungkin direkonstruksi dan bukan firman Allah – Ehrman menjelaskan bahwa autografa sendiri sangat mungkin mengandung berbagai kesalahan dan kontradiksi, karena para penulisnya memang tidak diinspirasikan oleh Allah. Dengan asumsi seperti ini dia tidak berusaha mengharmonisasikan beberapa teks Alkitab yang sekilas tampak sulit diterima maupun berkontradiksi. Sebaliknya, dia berpendapat bahwa memang ada kemungkinan (dan sudah terbukti) kalau para penulis Alkitab melakukan kesalahan atau saling kontradiktif.
Ketidakadaan Autografa
Sebelum menganalisa kelemahan dalam buku Misquoting Jesus, hal pertama yang perlu dibahas adalah ketidakadaan autografa. Mengapa Allah tidak menjaga keberadaan autografa Alkitab? Apakah hal itu merupakan hal yang sangat serius sekaligus membuktikan bahwa autografa tersebut tidak diilhamkan?
Sehubungan dengan pertanyaan pertama, Allah memang memiliki maksud tertentu dengan tidak melestarikan autografa Alkitab. Dia tidak ingin orang Kristen terjebak pada penyembahan berhala dengan cara mengagungkan bentuk fisik firman Allah itu (tulisan) daripada isinya. Alkitab dan sejarah gereja memberikan banyak contoh dari bahaya seperti ini. Baju efod Gideon disembah oleh bangsa Israel (Hak. 8:27). Terjemahan Alkitab Vulgata dan King James Version saja diperlakukan secara berlebihan oleh orang-orang Kristen seolah-olah firman Tuhan hanya terdapat dalam versi tersebut.
Apakah ketidakadaan autografa merupakan permasalahan yang sangat serius? Tidak seserius yang dipikirkan Ehrman, kecuali kalau alur berpikir Ehrman diaplikasikan secara konsisten, maka hal itu baru akan membawa implikasi yang serius. Di dunia ini tidak ada satu buku kuno atau kitab suci apa pun yang autografanya ditemukan. Kita hanya memiliki berbagai salinan kuno. Seandainya ketidakadaan autografa meruntuhkan kredibilitas autografa tersebut, maka keberadaan dan kebenaran semua buku kuno dan kitab suci juga harus diragukan. Dalam hal inilah inkonistensi Ehrman terlihat dengan jelas. Dia berkali-kali mengutip kitab-kitab kuno di luar Alkitab dan mengasumsikan bahwa kutipan itu pasti benar, padahal semua kutipan itu juga dia dapatkan dari salinan-salinan (tidak ada autografa dari kitab-kitab tersebut yang ditemukan). Mengapa dia tidak mengaplikasikan prinsip ini kepada Alkitab?
Ketika suatu autografa tidak ditemukan lagi, maka jembatan untuk menuju autografa tersebut hanyalah terletak pada berbagai terjemahan kuno dan salinan. Seberapa jauh terjemahan kuno dan salinan kuno tersebut dapat merekonstruksi autografa dapat diukur berdasarkan tes bibliografi (bibliographical test). Manuskrip yang lebih banyak dan lebih dekat dengan waktu penulisan autografa adalah yang lebih bisa dipercaya. Jika diuji memakai kriteria yang objektif ini, maka manuskrip-manuskrip Alkitab tampak sangat unggul dibandingkan kitab-kitab lain, sebagaimana terlihat dari tabel berikut ini:
Analisa Kritis terhadap Misquoting Jesus
Hal positif dalam buku ini adalah pemaparan tentang introduksi umum kritik teks yang dibahas di bab I-IV. Apa yang ditulis Ehrman di bagian itu bisa disebut sebagai sebuah pengantar yang cukup baik, sekalipun ada beberapa detil yang masih bisa diperdebatkan dan perlu dibaca dengan kritis. Pengantar itu juga sangat sederhana dan enak untuk dibaca, sehingga bisa dikonsumsi oleh orang awam. Persoalannya, Ehrman ternyata tidak konsisten dan kurang jeli dalam menerapkan berbagai prinsip kritik teks maupun menarik konklusi dari data yang ada.
Pertama, pernyataan Ehrman bahwa “jumlah perbedaan yang terdapat di antara manuskrip-manuskrip kita lebih banyak daripada jumlah kata-kata dalam Perjanjian Baru” (hlm. xxiv) terlalu bias dan bisa menimbulkan kesan yang salah. Kesan yang timbul adalah “hampir setiap kata dalam Perjanjian Baru diperdebatkan keasliannya”. Kesan ini tentu saja merupakan sesuatu yang tidak benar. Para theolog biblika sudah mengetahui bahwa jumlah kata dalam Perjanjian Baru adalah sekitar 138.000 dan perbedaan variasi bacaan yang ada di berbagai manuskrip mencapai sekitar 400.000, namun hal ini bukanlah sesuatu yang signifikan. Mengapa? Karena berbagai variasi itu hanya berhubungan dengan ayat-ayat tertentu yang jumlahnya hanya sekitar 1% dari keseluruhan kata dalam Perjanjian Baru.
Kedua, Ehrman tidak memberikan perbandingan manuskrip secara detil untuk ayat-ayat yang dia bahas. Ia hanya menyebutkan adanya perbedaan bacaan dalam suatu ayat tanpa menjelaskan manuskrip mana yang lebih bisa dipercaya dalam konteks tersebut. Ketidakadaan penjelasan semacam ini menimbulkan kesan kalau salinan yang berbeda tersebut memiliki peluang yang seimbang, padahal aplikasi kritik teks dengan mudah dapat menunjukkan salinan/bacaan mana yang sesuai dengan autografa. Ketidakadaan penjelasan ini mungkin disengaja oleh Ehrman agar dia mampu menyeret pembaca dengan mudah kepada apa yang dia percayai.
Ketiga, secara umum Ehrman telah menyalahi prinsip dasar dari kritik teks, yaitu membandingkan kata per kata, bukan membandingkan manuskrip per manuskrip. Dari awal pembahasan Ehrman terkesan hanya ingin menekankan perbedaan secara umum antar manuskrip yang ada.. Hal ini memang benar. Tidak ada dua manuskrip yang sama 100%. Bagaimanapun, hal itu tidak berarti bahwa semua manuskrip itu secara keseluruhan tidak bisa dipercayai. Kita harus membandingkan kata per kata dan menentukan kata mana yang lebih sesuai dengan autografa.
Keempat, tidak ada hubungan logis antara ketidakadaan autografa dan penolakan terhadap doktrin inspirasi Alkitab. Inspirasi berkaitan dengan dorongan dan bimbingan Roh Kudus kepada para penulis Alkitab (2Tim. 3:16; 2Ptr. 1:20-21). Hal ini tidak ada kaitan sama sekali dengan salinan maupun terjemahan kuno Alkitab. Sekalipun semua manuskrip mengandung perubahan – entah sedikit atau banyak – bukankah manuskrip-manuskrip itu dalam taraf tertentu tetap menyiratkan autografa? Dengan kata lain, kita tetap akan menemukan bagian dari autografa dalam berbagai manuskrip tersebut.
Kelima, Ehrman telah melakukan kesalahan fatal ketika dia menganggap kritik teks telah berpengaruh besar terhadap doktrin-doktrin penting dalam Kekristenan, seolah-olah hasil kritik teks menuntut diadakannya reformasi doktrin Kekristenan ortodoks. Dia menyoroti beberapa ayat yang dipermasalahkan secara kiritk tekstual, yaitu Matius 24:36; Markus 1:41; Ibrani 2:8-9; Markus 16:9-20; Yohanes 1:18; dan Yohanes 7:53-8:11. Mari kita mengambil salah satu contoh dari 1 Yohanes 5:7-8. Menurut Ehrman, bagian ini tidak terdapat dalam autografa, dengan demikian hal ini meruntuhkan doktrin Tritunggal, karena “hanya di bagian itulah ajaran Tritunggal disebut bahwa ada tiga pribadi ilahi dan ketiganya membentuk satu Allah” (hlm. 81).
Dari semua ayat yang disorot Ehrman, beberapa bisa dipastikan memang tidak ada dalam autografa (Yoh. 7:53-8:11; 1Yoh. 5:7-8) atau kemungkinan besar tidak ada dalam autografa (Mrk. 16:9-20), karena semua ayat itu tidak ditemukan dalam manuskrip-manuskrip kuno; kalaupun ditemukan, ayat-ayat itu hanya ditemukan di bagian margin, diberi tanda khusus yang menunjukkan keraguan penyalinan atau diletakkan di tempat yang berbeda-beda dalam Alkitab. Bagaimanapun, hal ini tidak akan mengubah doktrin Kristen secara mendasar. Kita masih memiliki banyak ayat lain yang mengajarkan nilai teologis yang sama. Seandainya kisah kebangkitan dan perintah Yesus sesudah kebangkitan- Nya di Injil Markus memang tidak asli, kita masih memiliki kisah kebangkitan dan perintah tersebut di kitab-kitab injil lain (Mat. 28; Luk. 24; Yoh. 20). Seandainya kisah perempuan berzinah di Injil Yohanes tidak asli, kita masih bisa mendapatkan figur Yesus yang sama di bagian lain, yaitu figur yang berhikmat (Mat. 22:15-22) dan mengasihi orang berdosa (Luk. 15:1-3; 19:10). Seandainya 1 Yohanes 5:7-8 tidak asli, kita masih memiliki banyak ayat yang mengajarkan Tritunggal (misalnya Mat. 3:16-17; 28:19-20) dan ayat-ayat lain yang meneguhkan keilahian Yesus (misalnya Yoh. 20:28) maupun Roh Kudus (misalnya Kis. 5:4, 9).
Selain tiga ayat di atas, ayat-ayat lain yang dipermasalahkan Ehrman dapat dipastikan ada dalam autografa (Mat. 24:36; Yoh. 1:18; dan Ibr. 2:8-9) atau masih bisa diperdebatkan (Mrk. 1:41). Sekalipun – misalnya – dalam Markus 1:41 kata yang benar bukan “tergeraklah hati-Nya dengan belas kasihan”, tetapi “sambil marah” (seperti yang diusulkan Ehrman), apakah hal ini mempengaruhi figur Yesus secara keseluruhan dalam Injil Markus maupun Alkitab? Bukankah di tempat lain Yesus juga beberapa kali diceritakan marah kepada orang-orang lain (Mrk. 3:5; 8:33; 10:14)? Jadi, baik penyembuhan yang Yesus lakukan didasarkan pada “belas kasihan” (mayoritas versi) maupun “kemarahan” (karena orang kusta itu mungkin meragukan kebaikan-Nya) , ayat itu tetap tidak mengubah doktrin Kristologi.
Keenam, penolakan Ehrman terhadap Alkitab sebagai firman Allah dan sikap dia yang menyamakan Alkitab dengan berbagai kitab lain merupakan sikap yang tidak bisa dipertahankan. Alkitab dan berbagai kitab kuno itu kadangkala (bahkan sering kali) berkontradiksi satu dengan yang lainnya. Seandainya Ehrman memperlakukan semua kitab itu secara sama – yaitu sebagai tulisan manusia belaka – standar kebenaran apa yang dia pakai untuk mengevaluasi kontradiksi tersebut?
Konklusi
Apa yang dipaparkan dalam Misquoting Jesus sebagian berisi pendapat tekstual Ehrman yang tidak tepat. Pada beberapa kasus ketika dia mengambil keputusan tekstual yang tepat, ia menafsirkan hal tersebut secara berlebihan. Lebih parah lagi, tafsiran ini sering kali lebih didasarkan pada presuposisi teologis daripada bukti yang objektif.
Akhirnya, kita perlu memberikan respek kepada Ehrman atas usahanya untuk membawa isu akademis menjadi wacana publik. Sikap ini akan sangat bermanfaat dalam mendidik jemaat lebih memepelajari Alkitab jika diterapkan oleh theolog Injili.
Sumber: Pendalaman Alkitab GKRI Exodus, 24 April 2007
Profil Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. :
Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M., yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus. org) dan dosen di Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet serta dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia.
Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.
"Mengenal Allah merupakan hal penting untuk menjalani hidup kita."
(Prof. J. I. Packer, D.Phil.; Mengenal Allah, hlm. 5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar