Jangan lalai dalam mempergunakan karunia yang ada padamu, yang telah diberikan kepadamu oleh nubuat dan dengan penumpangan tangan sidang penatua (I Tim.4:14).
Sebab itu marilah kita tinggalkan asas-asas pertama dari ajaran tentang Kristus dan beralih kepada perkembangannya yang penuh. Janganlah kita meletakkan lagi dasar pertobatan dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, dan dasar kepercayaan kepada Allah, yaitu ajaran tentang pelbagai pembaptisan, penumpangan tangan, kebangkitan orang-orang mati dan hukuman kekal (Ibrani 6:1-2).
Penumpangan tangan yang dilakukan oleh Rasul Paulus terhadap Timotius dalam suratnya terlihat berhubungan dengan pelaksanaan tugas, bukan tindakan berkat-memberkat. Rasul Paulus tetap konsisten bahwa acara keimamatan berkat-memberkat itu urusan masa lampau, yaitu urusan ibadah simbolik. Kini kita ada di zaman ibadah hakekat tidak ada lagi acara tumpang-menumpang tangan untuk memberkati orang. Berkat Tuhan akan diterima seseorang langsung dari Tuhan tanpa melalui penumpangan tangan seorang imam karena setiap orang percaya adalah imam bagi dirinya sendiri.
Penumpangan tangan Rasul Paulus atas dua belas orang di Efesus (Kis.19:6) adalah pembaptisan ke dalam Roh Kudus. Ada empat kali pembaptisan Roh Kudus (Kis. 2, 8, 10, 19), sesuai dengan tahapan pemberitaan Injil yang dipatok Tuhan Yesus (Kis.1:8), dari Yerusalem, Yudea, Samaria, dan ujung bumi (luar Yahudi) dengan pelaksanaan dua kali tanpa penumpangan tangan (Kis. 2 & 10) dan dua kali dengan penumpangan tangan (Kis. 8 & 19), oleh Rasul Petrus (Kis. 8) pemimpin Rasul untuk orang Yahudi, dan Rasul Paulus (Kis. 19) Rasul Khusus untuk non-Yahudi.
Tidak ditemukan penumpangan tangan untuk pemberkatan di dalam kitab Perjanjian Baru. Penumpangan tangan untuk pengukuhan jabatan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul Paulus terhadap Timotius adalah sebuah bentuk perestuan (approve) atas nama jemaat terhadap seseorang untuk memangku jabatan dalam sebuah jemaat lokal, misalnya pengangkatan Gembala, Penginjil, Guru Injil dan Diaken.
Rasul Paulus menyebut ‘sidang penatua’ sangat mungkin adalah peristiwa pentahbisan Timotius sebagai Gembala Jemaat Efesus yang dipimpin oleh Rasul Paulus bersama sejumlah Gembala jemaat lain yang turut memberi restu (approve).
Sangat masuk akal dan sangat bijak untuk mendapatkan rekomendasi dari sejumlah orang yang pernah ditahbiskan dalam proses mengangkat seseorang ke dalam suatu jabatan. Sejumlah orang yang pernah ditahbiskan memberi rekomendasi positif dan menyatakan dukungan mereka melalui turut menumpangkan tangan. Inilah yang disebut oleh Rasul Paulus dengan ‘sidang penatua.’
Gereja alkitabiah harus mewaspadai kesalahan fatal ‘praktik keimamatan’ yang sesungguhnya telah dihapuskan Allah. Ingat, keimamatan ayah yang dimulai dari zaman Adam sampai zaman Harun tidak boleh dilaksanakan dengan nama samaran family-altar. Dan keimamatan Harun pun telah dilikuidasi oleh Tuhan ketika Yohanes tampil (Mat.11:13, Luk.16:16). Allah mempertegas penghapusan sistem keimamatan dengan mengoyak tirai Bait Allah yang memisahkan ruang maha kudus.
Setiap orang yang bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus langsung mendapatkan posisi orang kudus (I Kor.1:2, Ef.1:1), karena langsung mengenakan posisi Tuhan Yesus, atau posisi anak Allah (Yoh.1:12). Bahkan keimamatan orang Kristen Perjanjian Baru lebih dari keimamatan ayah dan keimamatan Harun, yaitu keimamatan yang rajani (I Pet.2:9, Wah.1:6 dst.). Tidak boleh ada orang yang mengangkat dirinya sebagai orang yang lebih kudus untuk memberkati kumpulan orang-orang kudus (mengangkat tangan untuk doa berkat pada akhir kebaktian).
Tindakan menumpangkan tangan untuk memberkati orang bisa dilihat sebagai tindakan yang salah bahkan sesat karena sama dengan mengangkat diri sebagai imam atau berusaha menjadi perantara antara Allah dan manusia. Gereja-gereja Protestan dan Reformed gagal melihat kebenaran ini ketika mereka keluar dari Roma Katolik. Sedangkan gereja-gereja Injili dan Kharismatik, tanpa pengertian telah ikut-ikutan melakukan hal yang amat salah ini.
Kalau Luther melihat kesalahan Roma Katholik dan memprotes mereka, salahkah jika anggota jemaat mereka hari ini yang sadar dan mengikuti naluri pemimpin mereka juga memprotes gereja mereka? Bolehkah mereka marah kalau pengikut mereka keluar dari gereja yang salah seperti yang dilakukan oleh pendiri denominasi mereka? Camkanlah!
Sumber: Pedang Roh 54 Edisi LIV Tahun XIII Januari-Februari-Maret 2008
Sebab itu marilah kita tinggalkan asas-asas pertama dari ajaran tentang Kristus dan beralih kepada perkembangannya yang penuh. Janganlah kita meletakkan lagi dasar pertobatan dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, dan dasar kepercayaan kepada Allah, yaitu ajaran tentang pelbagai pembaptisan, penumpangan tangan, kebangkitan orang-orang mati dan hukuman kekal (Ibrani 6:1-2).
Penumpangan tangan yang dilakukan oleh Rasul Paulus terhadap Timotius dalam suratnya terlihat berhubungan dengan pelaksanaan tugas, bukan tindakan berkat-memberkat. Rasul Paulus tetap konsisten bahwa acara keimamatan berkat-memberkat itu urusan masa lampau, yaitu urusan ibadah simbolik. Kini kita ada di zaman ibadah hakekat tidak ada lagi acara tumpang-menumpang tangan untuk memberkati orang. Berkat Tuhan akan diterima seseorang langsung dari Tuhan tanpa melalui penumpangan tangan seorang imam karena setiap orang percaya adalah imam bagi dirinya sendiri.
Penumpangan tangan Rasul Paulus atas dua belas orang di Efesus (Kis.19:6) adalah pembaptisan ke dalam Roh Kudus. Ada empat kali pembaptisan Roh Kudus (Kis. 2, 8, 10, 19), sesuai dengan tahapan pemberitaan Injil yang dipatok Tuhan Yesus (Kis.1:8), dari Yerusalem, Yudea, Samaria, dan ujung bumi (luar Yahudi) dengan pelaksanaan dua kali tanpa penumpangan tangan (Kis. 2 & 10) dan dua kali dengan penumpangan tangan (Kis. 8 & 19), oleh Rasul Petrus (Kis. 8) pemimpin Rasul untuk orang Yahudi, dan Rasul Paulus (Kis. 19) Rasul Khusus untuk non-Yahudi.
Tidak ditemukan penumpangan tangan untuk pemberkatan di dalam kitab Perjanjian Baru. Penumpangan tangan untuk pengukuhan jabatan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul Paulus terhadap Timotius adalah sebuah bentuk perestuan (approve) atas nama jemaat terhadap seseorang untuk memangku jabatan dalam sebuah jemaat lokal, misalnya pengangkatan Gembala, Penginjil, Guru Injil dan Diaken.
Rasul Paulus menyebut ‘sidang penatua’ sangat mungkin adalah peristiwa pentahbisan Timotius sebagai Gembala Jemaat Efesus yang dipimpin oleh Rasul Paulus bersama sejumlah Gembala jemaat lain yang turut memberi restu (approve).
Sangat masuk akal dan sangat bijak untuk mendapatkan rekomendasi dari sejumlah orang yang pernah ditahbiskan dalam proses mengangkat seseorang ke dalam suatu jabatan. Sejumlah orang yang pernah ditahbiskan memberi rekomendasi positif dan menyatakan dukungan mereka melalui turut menumpangkan tangan. Inilah yang disebut oleh Rasul Paulus dengan ‘sidang penatua.’
Gereja alkitabiah harus mewaspadai kesalahan fatal ‘praktik keimamatan’ yang sesungguhnya telah dihapuskan Allah. Ingat, keimamatan ayah yang dimulai dari zaman Adam sampai zaman Harun tidak boleh dilaksanakan dengan nama samaran family-altar. Dan keimamatan Harun pun telah dilikuidasi oleh Tuhan ketika Yohanes tampil (Mat.11:13, Luk.16:16). Allah mempertegas penghapusan sistem keimamatan dengan mengoyak tirai Bait Allah yang memisahkan ruang maha kudus.
Setiap orang yang bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus langsung mendapatkan posisi orang kudus (I Kor.1:2, Ef.1:1), karena langsung mengenakan posisi Tuhan Yesus, atau posisi anak Allah (Yoh.1:12). Bahkan keimamatan orang Kristen Perjanjian Baru lebih dari keimamatan ayah dan keimamatan Harun, yaitu keimamatan yang rajani (I Pet.2:9, Wah.1:6 dst.). Tidak boleh ada orang yang mengangkat dirinya sebagai orang yang lebih kudus untuk memberkati kumpulan orang-orang kudus (mengangkat tangan untuk doa berkat pada akhir kebaktian).
Tindakan menumpangkan tangan untuk memberkati orang bisa dilihat sebagai tindakan yang salah bahkan sesat karena sama dengan mengangkat diri sebagai imam atau berusaha menjadi perantara antara Allah dan manusia. Gereja-gereja Protestan dan Reformed gagal melihat kebenaran ini ketika mereka keluar dari Roma Katolik. Sedangkan gereja-gereja Injili dan Kharismatik, tanpa pengertian telah ikut-ikutan melakukan hal yang amat salah ini.
Kalau Luther melihat kesalahan Roma Katholik dan memprotes mereka, salahkah jika anggota jemaat mereka hari ini yang sadar dan mengikuti naluri pemimpin mereka juga memprotes gereja mereka? Bolehkah mereka marah kalau pengikut mereka keluar dari gereja yang salah seperti yang dilakukan oleh pendiri denominasi mereka? Camkanlah!
Sumber: Pedang Roh 54 Edisi LIV Tahun XIII Januari-Februari-Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar