Dari pernikahanku dengan Kania, kami memiliki seorang putri yang diberi nama Kamila. Kamila tumbuh menjadi anak yang lincah. Suatu kali Kamila merengek-rengek minta dibelikan bola dan aku membelikannya. Disuatu siang, saat menjemput Kamila dari sekolah, aku melihat putriku begitu asyik menendang bola hingga ke tengah jalan. Tatkala melihat sebuah truk akan menabraknya, aku berlari untuk menyelamatkannya. Seketika truk bermuatan pasir itu menghantam tubuhku hingga aku tak sadarkan diri. Waktu sadar kedua kakiku sudah diamputasi. Tanpa kaki aku tak bisa lagi bekerja, karena aku bekerja sebagai pengantar barang ke rumah para konsumen.
Setelah peristiwa itu perekonomian keluargaku morat-marit. Uang pesangon dan tabungan kami segera ludes. Kania akhirnya memutuskan pergi ke Malaysia untuk bekerja. Setelah setahun pergi, Kania tak pernah lagi memberi kabar. Dengan segala keprihatinan aku bekerja serabutan dengan menggunakan tanganku. Suatu kali Kamila mengatakan bahwa dia juga ingin menjadi TKI ke Malaysia. Aku pun tak kuasa untuk menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku baik-baik saja. Hampir 3 tahun sudah Kamila di sana, dia tidak pernah telat mengirimiku uang. Dia tidak suka pada sikap tuannya yang sudah 4 kali menikah.
Kamila bilang dia ingin pulang karena dia sering diganggu. Aku senang mengetahui itu, tetapi aku sangat terkejut saat mendapat surat yang mengabarkan bahwa Kamilaku diancam hukuman mati karena telah membunuh tuannya. Aku pergi ke Malaysia karena Kamila ingin aku ada di sisinya di saat-saat terakhirnya. Kamila sangat kurus. Saat aku masuk ia memelukku erat, seolah tak ingin melepasku. “Bapak, Iya takut,” katanya lirih. Ternyata lelaki tua itu ingin meniduri Kamila, tapi Kamila mendorongnya hingga ia terjatuh dari jendela kamar dan mati. Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena istri lelaki itu menuntut Kamila dihukum mati. Aku sudah berusaha menemui wanita itu, tapi ia tak sudi menemuiku.
Saat Kamila menjalani hukuman gantung, wanita itu hadir. Seorang petugas mengatakan bahwa ia ada dibelakangku, tapi aku tak ingin melihatnya. Setelah jenazah puteriku diturunkan, wanita itu berjalan menghampiri jenazah. Aku mendongakkan kepalaku dan dengan mataku yang samar oleh air mata, aku melihat wajah yang kukenal. “Kania….” “Mas Har, kau….” ”Kau…, kau membunuh anakmu sendiri, Kania!” “Dia….Iya?” serunya getir. “Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin menjadi pemain bola….” “Tidak….tidak…,” kata Kania, ia mengguncang tubuh Kamila sambil menjerit histeris. Seorang petugas menghampiri Kania dan memberikan secarik kertas yang tergenggam di tangan Kamila. “Terima kasih Mama,” itulah isinya. Ternyata Kamila tahu bahwa majikannya adalah ibunya sendiri.
Ada kalanya penyesalan sama sekali tak berguna, karena itu biarlah kita belajar menjadi lebih bijak, berlapang dada dan penuh pengampunan dalam menjalani hidup yang penuh ujian ini.
DOA
Tuhan, seringkali aku mengeraskan hatiku sehingga hidupku semakin pahit. Mampukan aku untuk hidup bijak dan penuh pengampunan dalam menjalani hidup yang penuh ujian ini.
Kata-kata bijak: Jika kita terus berupaya berlaku benar dan mengampuni, tidak akan ada penyesalan yang fatal dalam hidup ini.
Hai anakku, janganlah pertimbangan dan kebijaksanaan itu menjauh dari matamu, peliharalah itu, maka itu akan menjadi kehidupan bagi jiwamu, dan perhiasan bagi lehermu. Maka engkau akan berjalan di jalanmu dengan aman, dan kakimu tidak akan terantuk.
Siapa lekas naik darah, berlaku bodoh, tetapi orang yang bijaksana, bersabar.
(Amsal 3:21-23; 14:17)
(Sumber: Manna Sorgawi, Selasa, 13 Januari 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar