Minggu, Januari 22, 2012

IMLEK DITINJAU DARI PERSPEKTIF MISI KRISTEN

Pendahuluan: Tahun Baru Imlek yang jatuh pada tanggal 1 Februari 2003 adalah hari yang sangat istimewa bagi orang-orang Tionghoa. Karena baru untuk pertama kalinya setelah dilarang selama kurang lebih tiga puluh-an tahun, Imlek bisa dirayakan secara umum dan terbuka. Pemerintah di bawah pimpinan ibu Megawati Soekarno Putri secara resmi menjadikan Hari Imlek sebagai hari libur nasional.

Bagi orang-orang Tionghoa Kristen pengakuan resmi tersebut di samping menggembirakan, tetapi juga memprihatinkan. Menggembirakan karena kita boleh merayakan hari raya kita sendiri dengan bebas dan terbuka; menyaksikan juga kebudayaan dan tradisi Tionghoa dipentaskan secara bebas dan terbuka. Hal yang memprihatinkan adalah kesempatan menginjili kepada orang-orang Tionghoa sekarang jauh lebih sulit dibandingkan dengan dulu. Tetapi sebagai umat yang percaya kita berkeyakinan tidak ada yang mustahil bagi Allah dan firman Tuhan yang berkuasa tidak akan kembali dengan sia-sia.

Menurut penulis pada masa mendatang metode penginjilan kepada orang Tionghoa harus berubah, tidak bisa disampaikan dengan metode amatiran, tetapi dengan profesional. Maksudnya, jika dulu kita dapat hanya menyampaikan Injil saja, tetapi sekarang harus ditambah dengan pengetahuan tentang kebudayaan dan tradisi Tionghoa. Dengan pengetahuan tersebut agar Injil dapat diperkenalkan via kebudayaan dan tradisi Tionghoa. Menurut hemat penulis metode ini jauh lebih efektif dalam rangka penginjilan. Dengan tujuan tersebut, artikel ini ditulis dengan maksud dapat kiranya dijadikan kontribusi mewujudkan penginjilan yang lebih efektif di kalangan orang Tionghoa.

Ternyata Tahun Baru Imlek mempunyai sejarah yang cukup lama. Menurut penelitian para pakar, Imlek sudah dirayakan pada zaman Dinasti Sia, yaitu tahun 2200 SM. Walaupun hari perayaan berganti-ganti sesuai dengan dinasti yang berkuasa, barulah pada tahun 104, zaman raja Han U Tie hari Imlek ditetapkan secara permanen sehingga sampai sekarang.

Sebenarnya Imlek dirayakan dalam rangka menyambut berakhirnya musim dingin dan permulaan musim semi. Tetapi kemudian kegiatan perayaan ini ditambah dengan pengaruh beberapa agama, pengajaran, dan kepercayaan yang beredar di kalangan masyarakat (Min Cien Sin Yang) pada waktu itu, sehingga perayaan Imlek menjadi perayaan yang sarat dengan bau keagamaan dan kepercayaan.

Sebagai orang Kristen Tionghoa, apakah kita boleh ikut merayakan Tahun Baru Imlek? Orang Kristen bukan saja boleh ikut merayakan, bahkan dapat dijadikan sarana penginjilan.

Kegiatan untuk menyambut Imlek sudah diadakan satu minggu sebelumnya. Kegiatan tersebut disebut sebagai upacara sembahyang untuk menghantar Dewa Dapur (Cao Shen) naik ke langit. Menurut kepercayaan orang Tionghoa Dewa Dapur adalah utusan Dewa Langit untuk mengawasi kegiatan setahun dari setiap keluarga. Kemudian setahun sekali, pada tanggal 24 Desember, tahun Imlek naik ke langit untuk memberi laporan. Satu hari sebelum Dewa Dapur naik, diadakan meja sembahyang dengan pengharapan laporan yang diberikan untuk keluarga mereka dari segi baiknya saja.

Dari upacara ini terlihat kebenaran Alkitab diungkapkan secara gamblang. Kebenaran yang diangkat adalah pernyataan bahwa setiap manusia, baik kaya atau miskin, berpendidikan maupun tidak adalah orang yang berdosa. Terlihat kerinduan mereka untuk mendapat kelepasan dari konsekuensi dosa, cuma sayang metode kelepasan adalah dengan cara manusia. Paulus mengatakan bahwa tiada seorangpun yang bisa melakukan hukum Taurat (Ukuran untuk mendapat kelepasan) diselamatkan (Rm. 3: 28). Oleh karena itu Yesus perlu datang, dan mati untuk pengampunan atau kelepasan dari hukuman. Manusia hanya dengan iman saja menerima, maka peroleh selamat (Rm. 3: 23-26).

Malam tahun baru keluarga kumpul bersama dan dinamakan "Toan Yen",setelah itu diadakan acara soja teh (Chin Cha). Anak cucu berbaris secara bergiliran menyuguhkan teh dengan cara berlutut sebagai tanda "anak berbakti". Orang Kristen tidak ada salahnya untuk melibatkan diri, karena penyampaian teh meskipun dengan berlutut bukan berarti "penyembahan", karena objek yang kita hormati orang tua yang masih hidup, bukan roh, maka tidak ada kaitan dengan ritual. Dengan melibatkan diri menunjukkan bahwa orang Kristen juga berbakti pada orang tua.

Kegiatan pada hari Imlek adalah upacara sembahyang pada arwah yang sudah meninggal. Tentu orang Kristen tidak boleh melibatkan diri dalam upacara tersebut. Alasan ada dua, yaitu: pertama, objek yang disembahyangi berbentuk roh dan ini sudah masuk pada ritual, soal keagamaan, soal penyembahan. Kedua, Alkitab dengan jelas mengungkapkan bahwa arwah yang meninggal hanya pergi kedua tempat, yaitu sorga atau ke tempat penyiksaan dan tidak ke mana-mana. Jika demikian roh siapa yang kita sembahyang? Roh penguasa udara.

Kegiatan selanjutnya adalah berkunjungan, yaitu yang muda berkunjung ke orang tua. Kegiatan ini sangat disenangi orang-orang muda, karena usai berkunjungan, maka pihak orang yang terlebih tua akan memberi angpao. Kegiatan ini dapat pula dipakai sarana penginjilan. Yang terlebih muda dapat menggunakan kesempatan waktu menerima angpoa memberi buku-buku rohani atau traktat; jika yang tua dapat di dalam angpo bukan saja berisi uang dan juga ayat-ayat Alkitab.

Masih banyak kegiatan setelah itu, tetapi berhubung ruang untuk artikel ini sangat terbatas, maka penulis terpaksa harus berhenti sampai di sini. Kiranya artikel ini dapat membantu, khususnya orang Kristen Tionghoa, berada di tengah-tengah keluarga yang belum percaya. (oleh Pdt. Dr. Paulus Daun, Th. M.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar