Seorang Karl Marx dulu pernah berkata, bahwa agama adalah candu bagi masyarakat. Karena agama, masyarakat tidak bisa berpikir realistis dan selalu menggantungkan harapannya kepada Tuhan yang wujudNya pun tidak pernah jelas. Kesesakan dan kenestapaan hidup yang mestinya dihadapi dengan usaha lebih keras dan pantang menyerah justru berakhir pada doa-doa asa yang tak kunjung nyata. Akibatnya masyarakat menjadi suatu komunitas pesakitan yang harus selalu diinfus dengan suatu candu yang bernama agama supaya masyarakat tersebut tidak menjadi liar dan lepas kendali. Hasil akhirnya, sebuah komunitas masyarakat yang rendah produktifitas dan senantiasa bertelut lutut ketika menghadapi lecutan kehidupan yang pahit.
Gambaran pada paragraf di atas secara historis kritis merupakan efek samping dari sebuah gejolak yang bernama Revolusi Industri. Ketika Eropa tengah berjuang untuk menjalani kehidupan yang lebih maju dan lebih baik, sebagian besar diantaranya justru tersiksa dan terinjak-injak oleh kekuasaan uang dan politik. Kaum proletar yang senantiasa merana di bawah kaki kursi empuk kaum borjuis kapitalis justru semakin tidak berdaya dan agama hanya memperburuk keadaan dengan mendekatkan dirinya kepada kekuasaan dan menjadi alat untuk menjinakkan kaum proletar supaya mereka tidak memberontak. Sampai akhirnya Karl Marx dan Marxismenya menjadi alat ampuh yang mampu membuka belenggu pemikiran kaum proletar tersebut untuk mengangkat sabit dan palunya menjadi senjata yang seharusnya menjadi alat kerjanya untuk memberontak terhadap kaum borjuis kapitalis di Eropa Timur. Dan pada pemberontakan itulah agama yang merupakan mitra kerja kaum borjuis akhirnya juga harus dipukul habis oleh kaum proletar. Candu itu akhirnya disterilkan dari urat nadi masyarakat.
Kini lebih dari satu abad setelah pemberontakan itu bertempat di sudut lain dunia yang bernama Republik Indonesia, gejolak lainnya sedang menggelegar. Arus perubahan jaman yang demikian kuat menerpa ternyata tak mampu dibendung. Hampir seluruh sendi kehidupan bangsa terpengaruh dan terinfeksi oleh arus perubahan tersebut. Walaupun sumber dan bentuk infeksi tersebut berbeda-beda untuk masing-masing elemennya. Namun, secara umum boleh dibilang bahwa bangsa ini sedang mengalami krisis paruh baya.
Di tengah-tengah krisis ini layaknya krisis pada umumnya selalu saja ada pihak yang menjadi korban ataupun dikorbankan. Masyarakat kecil layaknya kaum proletar di Eropa secara tragis terus-menerus menjadi korban dan termarjinalkan oleh krisis yang terjadi ini. Sementara itu para penguasa dan pemilik modal tiada henti-hentinya mempeributkan kepentingannya masing-masing yang sangat jarang sekali berpihak kepada masyarakat kecil. Semuanya hanya memikirkan keselamatan pantatnya sendiri. Keegoisan itu bahkan sudah begitu membius sehingga masyarakat kecil pun ikut-ikutan egois dan tidak mau tahu dengan keadaan sekitarnya. Pemikiran rasional yang sangat sederhana di benak mereka, yaitu apa yang bisa mereka makan hari ini dan bagaimana cara mendapatkannya dengan mudah karena perut mereka sudah tak kuasa menahan dahaga lapar yang sudah amat sangat.
Sementara itu, di sisi yang lain umat beragama beramai-ramai mempropagandakan tentang kembali ke jalan yang benar. Masing-masing mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, dan itu adalah wajar. Untuk memperlancar propagandanya, masing-masing agama mempercantik dirinya dengan menggunakan segala kemajuan fasilitas yang ada. Ibarat sebuah perusahaan yang sedang berkembang, agama-agama itu melancarkan jurus-jurus pemasarannya untuk mendekatkan diri dengan umatnya. Berbagai strategi pemasaran agama digunakan mulai dari yang moderat sampai dengan yang fundamentalis. Yang pada intinya untuk menarik minat umat agama supaya mau datang kembali pada institusinya masing-masing sebagai bentuk pengejawantahan bangsa yang katanya religius. Begitu juga yang dilakukan oleh para pemimpin umat Kristen.
Para pemimpin umat Kristen di Republik ini berlomba-lomba untuk menarik minat umatnya dengan caranya masing-masing. Dengan banyaknya denominasi yang berkembang di Indonesia, persaingan untuk merebut minat umat menjadi semakin kompetitif dan menantang. Tak pelak, para para pemimpin umat Kristen pun harus menerapkan strategi yang jitu supaya bisa memenangkan persaingan tersebut. Dengan segala sumber daya yang ada, para pemimpin umat Kristen mempercantik institusinya dengan segala fasilitas yang bisa membuat umatnya betah berada di bawah naungannya. Sementara itu dari sisi umat Kristen sendiri mereka juga seringkali terkorbankan oleh keadaan. Beban pekerjaan yang berat, masalah keuangan yang semakin melilit perut, belum lagi ancaman-ancaman diskriminasi yang membuat keberadaan umat Kristen semakin terpojok yang pada akhirnya membuat umat Kristen frustasi. Tentunya keadaan ini bak gayung bersambut, di tengah-tengah kefrustasian umat, pemimpin umat Kristen menyediakan suatu tempat dimana umat bisa melepaskan semua penat bebannya. Tentunya ini disesuaikan dengan FirmanNya yang berbunyi, datanglah kepada-Ku wahai semua yang berbeban berat dan letih lesu, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Maka, sempurnalah mutualisme itu.
Kaum muda Kristen di satu sisi, mempunyai potensi yang luar biasa tak terbendung. Selain banyak secara kuantitas, secara kualitas mereka juga menggoda bagi para pemimpin umat Kristen. Menyadari bahwa kaum muda adalah penerus tongkat estafet keberadaan Kekristenan di Indonesia, maka secara cerdik para pemimpin umat Kristen senantiasa berusaha untuk menjaga keberadaan dan pertumbuhan mereka di institusinya. Berbagai macam pendekatan dilakukan untuk membuat kaum muda tersebut merasa nyaman berada di institusinya, mulai dari menawarkan pujian-pujian yang rancak dan bergaya muda, pendoktrinan tentang masalah-masalah pribadi (seperti pacaran, seks, dan lainnya) yang kerap melingkupi kehidupan para muda, sampai penyediaan fasilitas yang mewah dan gaul seperti majalah muda Kristen dan yang paling digemari adalah penciptaan selebritis-selebritis muda Kristen. Semuanya untuk membius kaum muda Kristen supaya tidak kabur dari institusinya dan yang terpenting supaya mereka sejalan dengan pemikiran para pemimpin umat Kristen tersebut, sehingga ketika kaum muda ini mengambil alih estafet kepemimpinan gereja mereka tetap berada pada jalur yang sudah ditetapkan.
Secara bertubi-tubi kaum muda Kristen itu didoktrin tentang keselamatan yang selalu dijanjikan oleh Tuhan, janji yang tentu saja adalah benar adanya. Mereka diajarkan untuk mengedepankan spiritualitas individunya dengan cara dilibatkan dalam pelayanan, pembentukan komunitas muda Kristen, dan propaganda melalui media-media yang dikatakan media rohani. Begitu sistematisnya pendoktrinan itu sampai-sampai menyusup sampai ke segala aspek kehidupan para muda tersebut. Penyediaan bahan-bahan doktrinal yang katanya rohani dan Kristiani membanjiri kehidupan para muda ini, sampai-sampai mereka tidak sempat untuk menolehkan pandangannya pada persoalan lain yang ada di luar kehidupan rohani mereka. Mereka telah hanyut dan tenggelam dalam arus doktrinal spiritualitas individu. Satu-satunya sesama yang mereka pedulikan dan sempat pikirkan mungkin hanya orang-orang yang senantiasa bersama mereka ketika mereka beribadah. Hal ini yang kemudian menyebabkan kaum muda Kristen hanya peka terhadap persoalan-persoalan individu mereka dan semakin jauh dari realita sebenarnya yang ada di masyarakat. Kalaupun mereka sadar tentang realita masyarakat, itupun yang masih berhubungan dengan komunitas Kristen itu sendiri.
Kondisi ini yang kemudian menimbulkan suatu stigma di masyarakat bahwa komunitas Kristen termasuk kaum mudanya sebagai komunitas yang eksklusif dan elite. Hakekat garam dan terang semakin jauh api dari panggang. Walaupun pada khotbah-khotbah sering didengungkan tentang garam dan terang, tetapi pada kenyataannya garam dan terang itu hanya terasa dan bersinar di lingkungan komunitas Kristen itu sendiri terutama ketika sedang menjalankan kebaktian ataupun pesta-pesta rohani lainnya. Pada lingkup kehidupan bermasyarakat terutama sebagai individu, dampak garam dan terang itu nyaris tak terasa, hilang sirna tenggelam oleh hingar bingar dunia yang senantiasa bergejolak. Kepekaan sosial individu-individu Kristen pun hanya sebatas karitatif semata, dengan memberikan sedekah kepada yang membutuhkan tanpa sempat memikirkan bagaimana untuk mengurangi kemiskinan secara sistematis dan berkelanjutan. Kaum intelektual Kristen yang idealnya mampu memberikan sumbangsih intelektual bagi kemajuan bangsa dan negara ini justru seringkali terjebak pada pengentasan masalah-masalah pribadi dan komunitasnya. Alasannya cukup sederhana dan rasional, memikirkan diri sendiri saja sudah susah bagaimana mau memikirkan orang lain. Pada akhirnya, kehidupan beragama komunitas Kristen hanya berputar-putar pada komunitasnya sendiri.
Spiritualitas individu yang seringkali dikedepankan, secara tidak disadari namun pasti dan perlahan mulai mengikis kualitas intelektual komunitas Kristen itu sendiri. Dengan dalih iman sebesar biji sesawi mampu memindahkan gunung, seringkali logika berpikir komunitas Kristen hanya terpaku pada hati, hati, dan hati saja. Kalaupun ada upaya peningkatan intelektualitas, itu hanya terbatas pada pendalaman doktrin-doktrin teologis denominasi internal dan pendalaman terhadap ketrampilan menghibur yang dikamuflasekan dalam bentuk pelayanan pesta-pesta rohani, yang pada ujungnya bertujuan untuk menumbuhkembangkan institusi masing-masing. Tidak ada lagi waktu tersisa untuk menujukan intelektualitas itu terhadap pemecahan masalah-masalah kemasyarakatan. Pada akhirnya spiritualitas sosial yang seharusnya menjadi padanan spiritualitas individu seringkali tertendang dengan sendirinya menuju ke pantat untuk menyamankan keberadaan komunitas Kristen di institusinya. Tidak ada lagi cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati, semuanya lebih bangga menjadi merpati saja.
Dengan gambaran yang tertuang di atas, bukanlah suatu keheranan jika institusi Kristen tidak pernah sepi dari kerumunan umatnya. Institusi Kristen secara jelas telah menempatkan dirinya sebagai penghibur umatnya sendiri. Dari pada umat menuangkan rasa frustasinya kepada penghibur-penghibur dunia yang tidak jelas doktrinnya, bukankah lebih baik jika umat itu datang kepada institusi Kristen yang doktrinnya jelas mendatangkan sebuah kelegaan. Pada titik ini muncul sebuah pertanyaan kritis, lalu apa bedanya institusi Kristen itu dengan diskotik dan narkotika yang seringkali menjadi media pelarian orang-orang yang frustasi??? Senada dengan ungkapan Karl Marx pada awal tulisan ini, secara tidak disadari namun pasti institusi Kristen telah menjadi candu bagi umatnya. Candu karena institusi itu secara tidak disadari telah mematikan spiritualitas dan intelektualitas sosial umat serta mengingkari kalau tidak mau dikatakan melupakan manifestasi nyata Hukum Kedua yang sama dengan Hukum yang Pertama. Candu karena institusi itu hanya sekedar menjadi tempat pelarian umat dari permasalahan realita sehari-hari dan bukannya menjadi sebuah kuil penempaan umat untuk mempersiapkan mereka menjadi agen garam dan terang yang sesungguhnya. Candu karena institusi itu hanya memberikan bius penenang kepada umat berupa buaian mujizat-mujizat penyembuhan serta pemulihan dan bukannya bekal senjata untuk bertarung di tengah-tengah masyarakat. Dan candu itu bernama gereja.
Gambaran pada paragraf di atas secara historis kritis merupakan efek samping dari sebuah gejolak yang bernama Revolusi Industri. Ketika Eropa tengah berjuang untuk menjalani kehidupan yang lebih maju dan lebih baik, sebagian besar diantaranya justru tersiksa dan terinjak-injak oleh kekuasaan uang dan politik. Kaum proletar yang senantiasa merana di bawah kaki kursi empuk kaum borjuis kapitalis justru semakin tidak berdaya dan agama hanya memperburuk keadaan dengan mendekatkan dirinya kepada kekuasaan dan menjadi alat untuk menjinakkan kaum proletar supaya mereka tidak memberontak. Sampai akhirnya Karl Marx dan Marxismenya menjadi alat ampuh yang mampu membuka belenggu pemikiran kaum proletar tersebut untuk mengangkat sabit dan palunya menjadi senjata yang seharusnya menjadi alat kerjanya untuk memberontak terhadap kaum borjuis kapitalis di Eropa Timur. Dan pada pemberontakan itulah agama yang merupakan mitra kerja kaum borjuis akhirnya juga harus dipukul habis oleh kaum proletar. Candu itu akhirnya disterilkan dari urat nadi masyarakat.
Kini lebih dari satu abad setelah pemberontakan itu bertempat di sudut lain dunia yang bernama Republik Indonesia, gejolak lainnya sedang menggelegar. Arus perubahan jaman yang demikian kuat menerpa ternyata tak mampu dibendung. Hampir seluruh sendi kehidupan bangsa terpengaruh dan terinfeksi oleh arus perubahan tersebut. Walaupun sumber dan bentuk infeksi tersebut berbeda-beda untuk masing-masing elemennya. Namun, secara umum boleh dibilang bahwa bangsa ini sedang mengalami krisis paruh baya.
Di tengah-tengah krisis ini layaknya krisis pada umumnya selalu saja ada pihak yang menjadi korban ataupun dikorbankan. Masyarakat kecil layaknya kaum proletar di Eropa secara tragis terus-menerus menjadi korban dan termarjinalkan oleh krisis yang terjadi ini. Sementara itu para penguasa dan pemilik modal tiada henti-hentinya mempeributkan kepentingannya masing-masing yang sangat jarang sekali berpihak kepada masyarakat kecil. Semuanya hanya memikirkan keselamatan pantatnya sendiri. Keegoisan itu bahkan sudah begitu membius sehingga masyarakat kecil pun ikut-ikutan egois dan tidak mau tahu dengan keadaan sekitarnya. Pemikiran rasional yang sangat sederhana di benak mereka, yaitu apa yang bisa mereka makan hari ini dan bagaimana cara mendapatkannya dengan mudah karena perut mereka sudah tak kuasa menahan dahaga lapar yang sudah amat sangat.
Sementara itu, di sisi yang lain umat beragama beramai-ramai mempropagandakan tentang kembali ke jalan yang benar. Masing-masing mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, dan itu adalah wajar. Untuk memperlancar propagandanya, masing-masing agama mempercantik dirinya dengan menggunakan segala kemajuan fasilitas yang ada. Ibarat sebuah perusahaan yang sedang berkembang, agama-agama itu melancarkan jurus-jurus pemasarannya untuk mendekatkan diri dengan umatnya. Berbagai strategi pemasaran agama digunakan mulai dari yang moderat sampai dengan yang fundamentalis. Yang pada intinya untuk menarik minat umat agama supaya mau datang kembali pada institusinya masing-masing sebagai bentuk pengejawantahan bangsa yang katanya religius. Begitu juga yang dilakukan oleh para pemimpin umat Kristen.
Para pemimpin umat Kristen di Republik ini berlomba-lomba untuk menarik minat umatnya dengan caranya masing-masing. Dengan banyaknya denominasi yang berkembang di Indonesia, persaingan untuk merebut minat umat menjadi semakin kompetitif dan menantang. Tak pelak, para para pemimpin umat Kristen pun harus menerapkan strategi yang jitu supaya bisa memenangkan persaingan tersebut. Dengan segala sumber daya yang ada, para pemimpin umat Kristen mempercantik institusinya dengan segala fasilitas yang bisa membuat umatnya betah berada di bawah naungannya. Sementara itu dari sisi umat Kristen sendiri mereka juga seringkali terkorbankan oleh keadaan. Beban pekerjaan yang berat, masalah keuangan yang semakin melilit perut, belum lagi ancaman-ancaman diskriminasi yang membuat keberadaan umat Kristen semakin terpojok yang pada akhirnya membuat umat Kristen frustasi. Tentunya keadaan ini bak gayung bersambut, di tengah-tengah kefrustasian umat, pemimpin umat Kristen menyediakan suatu tempat dimana umat bisa melepaskan semua penat bebannya. Tentunya ini disesuaikan dengan FirmanNya yang berbunyi, datanglah kepada-Ku wahai semua yang berbeban berat dan letih lesu, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Maka, sempurnalah mutualisme itu.
Kaum muda Kristen di satu sisi, mempunyai potensi yang luar biasa tak terbendung. Selain banyak secara kuantitas, secara kualitas mereka juga menggoda bagi para pemimpin umat Kristen. Menyadari bahwa kaum muda adalah penerus tongkat estafet keberadaan Kekristenan di Indonesia, maka secara cerdik para pemimpin umat Kristen senantiasa berusaha untuk menjaga keberadaan dan pertumbuhan mereka di institusinya. Berbagai macam pendekatan dilakukan untuk membuat kaum muda tersebut merasa nyaman berada di institusinya, mulai dari menawarkan pujian-pujian yang rancak dan bergaya muda, pendoktrinan tentang masalah-masalah pribadi (seperti pacaran, seks, dan lainnya) yang kerap melingkupi kehidupan para muda, sampai penyediaan fasilitas yang mewah dan gaul seperti majalah muda Kristen dan yang paling digemari adalah penciptaan selebritis-selebritis muda Kristen. Semuanya untuk membius kaum muda Kristen supaya tidak kabur dari institusinya dan yang terpenting supaya mereka sejalan dengan pemikiran para pemimpin umat Kristen tersebut, sehingga ketika kaum muda ini mengambil alih estafet kepemimpinan gereja mereka tetap berada pada jalur yang sudah ditetapkan.
Secara bertubi-tubi kaum muda Kristen itu didoktrin tentang keselamatan yang selalu dijanjikan oleh Tuhan, janji yang tentu saja adalah benar adanya. Mereka diajarkan untuk mengedepankan spiritualitas individunya dengan cara dilibatkan dalam pelayanan, pembentukan komunitas muda Kristen, dan propaganda melalui media-media yang dikatakan media rohani. Begitu sistematisnya pendoktrinan itu sampai-sampai menyusup sampai ke segala aspek kehidupan para muda tersebut. Penyediaan bahan-bahan doktrinal yang katanya rohani dan Kristiani membanjiri kehidupan para muda ini, sampai-sampai mereka tidak sempat untuk menolehkan pandangannya pada persoalan lain yang ada di luar kehidupan rohani mereka. Mereka telah hanyut dan tenggelam dalam arus doktrinal spiritualitas individu. Satu-satunya sesama yang mereka pedulikan dan sempat pikirkan mungkin hanya orang-orang yang senantiasa bersama mereka ketika mereka beribadah. Hal ini yang kemudian menyebabkan kaum muda Kristen hanya peka terhadap persoalan-persoalan individu mereka dan semakin jauh dari realita sebenarnya yang ada di masyarakat. Kalaupun mereka sadar tentang realita masyarakat, itupun yang masih berhubungan dengan komunitas Kristen itu sendiri.
Kondisi ini yang kemudian menimbulkan suatu stigma di masyarakat bahwa komunitas Kristen termasuk kaum mudanya sebagai komunitas yang eksklusif dan elite. Hakekat garam dan terang semakin jauh api dari panggang. Walaupun pada khotbah-khotbah sering didengungkan tentang garam dan terang, tetapi pada kenyataannya garam dan terang itu hanya terasa dan bersinar di lingkungan komunitas Kristen itu sendiri terutama ketika sedang menjalankan kebaktian ataupun pesta-pesta rohani lainnya. Pada lingkup kehidupan bermasyarakat terutama sebagai individu, dampak garam dan terang itu nyaris tak terasa, hilang sirna tenggelam oleh hingar bingar dunia yang senantiasa bergejolak. Kepekaan sosial individu-individu Kristen pun hanya sebatas karitatif semata, dengan memberikan sedekah kepada yang membutuhkan tanpa sempat memikirkan bagaimana untuk mengurangi kemiskinan secara sistematis dan berkelanjutan. Kaum intelektual Kristen yang idealnya mampu memberikan sumbangsih intelektual bagi kemajuan bangsa dan negara ini justru seringkali terjebak pada pengentasan masalah-masalah pribadi dan komunitasnya. Alasannya cukup sederhana dan rasional, memikirkan diri sendiri saja sudah susah bagaimana mau memikirkan orang lain. Pada akhirnya, kehidupan beragama komunitas Kristen hanya berputar-putar pada komunitasnya sendiri.
Spiritualitas individu yang seringkali dikedepankan, secara tidak disadari namun pasti dan perlahan mulai mengikis kualitas intelektual komunitas Kristen itu sendiri. Dengan dalih iman sebesar biji sesawi mampu memindahkan gunung, seringkali logika berpikir komunitas Kristen hanya terpaku pada hati, hati, dan hati saja. Kalaupun ada upaya peningkatan intelektualitas, itu hanya terbatas pada pendalaman doktrin-doktrin teologis denominasi internal dan pendalaman terhadap ketrampilan menghibur yang dikamuflasekan dalam bentuk pelayanan pesta-pesta rohani, yang pada ujungnya bertujuan untuk menumbuhkembangkan institusi masing-masing. Tidak ada lagi waktu tersisa untuk menujukan intelektualitas itu terhadap pemecahan masalah-masalah kemasyarakatan. Pada akhirnya spiritualitas sosial yang seharusnya menjadi padanan spiritualitas individu seringkali tertendang dengan sendirinya menuju ke pantat untuk menyamankan keberadaan komunitas Kristen di institusinya. Tidak ada lagi cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati, semuanya lebih bangga menjadi merpati saja.
Dengan gambaran yang tertuang di atas, bukanlah suatu keheranan jika institusi Kristen tidak pernah sepi dari kerumunan umatnya. Institusi Kristen secara jelas telah menempatkan dirinya sebagai penghibur umatnya sendiri. Dari pada umat menuangkan rasa frustasinya kepada penghibur-penghibur dunia yang tidak jelas doktrinnya, bukankah lebih baik jika umat itu datang kepada institusi Kristen yang doktrinnya jelas mendatangkan sebuah kelegaan. Pada titik ini muncul sebuah pertanyaan kritis, lalu apa bedanya institusi Kristen itu dengan diskotik dan narkotika yang seringkali menjadi media pelarian orang-orang yang frustasi??? Senada dengan ungkapan Karl Marx pada awal tulisan ini, secara tidak disadari namun pasti institusi Kristen telah menjadi candu bagi umatnya. Candu karena institusi itu secara tidak disadari telah mematikan spiritualitas dan intelektualitas sosial umat serta mengingkari kalau tidak mau dikatakan melupakan manifestasi nyata Hukum Kedua yang sama dengan Hukum yang Pertama. Candu karena institusi itu hanya sekedar menjadi tempat pelarian umat dari permasalahan realita sehari-hari dan bukannya menjadi sebuah kuil penempaan umat untuk mempersiapkan mereka menjadi agen garam dan terang yang sesungguhnya. Candu karena institusi itu hanya memberikan bius penenang kepada umat berupa buaian mujizat-mujizat penyembuhan serta pemulihan dan bukannya bekal senjata untuk bertarung di tengah-tengah masyarakat. Dan candu itu bernama gereja.
"You shall know the truth, and the truth shall make you free"
Baca juga: *-* Kepalsuan *-* Otokritik seorang Kristen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar