Orang Kaya Yang Bodoh
Kemudian Ia mengatakan kepada mereka suatu perumpamaan, kata-Nya: "Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya... Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh...” (Luk.12:16,20)
Tindakan menyimpan uang atau menabung adalah hal yang sangat baik. Siapa pun yang mempunyai anak yang hanya memboroskan seluruh uang yang dimilikinya tanpa menyimpan, akan sedih dan kuatir tentang masa depan anaknya itu. Kita mengajar anak-anak kita untuk hidup dengan penuh perhitungan, jangan hidup boros.
Namun orang kaya yang diceritakan Tuhan Yesus, disebutkan telah membanggakan, dan menaruh pengharapan pada hartanya. Ia tidak melihat bahwa sesudah kematian, kita akan masuk ke dalam kekekalan, dan kemuliaan yang akan diberikan kepada kita akan tergantung dari seberapa kita berbuat kepada Tuhan di dunia ini.
Orang Kaya dalam perumpamaan Tuhan juga tidak tahu, atau tidak mau tahu, bahwa kita dapat menyimpan harta kita di Sorga. Seharusnya siapapun yang percaya bahwa ia akan pergi ke Sorga, ia akan menyimpan sebagian besar hartanya di Sorga, bukan di bumi yang sementara. Kita sering mendengar orang berkata bahwa ia beriman, atau ia percaya, namun dari sikap hidup maupun tindakan sehari-harinya justru menunjukkan bahwa ia sebenarnya tidak percaya.
Penulis pernah mendengar kesaksian seseorang bahwa ia tidak berani menikmati kekayaan duniawinya tanpa memi kirkan perkara sorgawi. Ketika ia mau membeli sebuah mobil yang berharga lima ratus juta, ia mempersembahkan lima ratus juta untuk proyek penginjilan.
Ketika mendengar kesaksian tersebut, tentu penulis sangat bersyukur, dan berpikir seandainya banyak orang Kristen alkitabiah berpikir dan bertindak demikian, maka dana penginjilan, dana untuk seminar, akan berlimpahan dan kekristenan alkitabiah akan semakin bertumbuh. Tetapi fakta memberitahukan kita bahwa kebanyakan orang Kristen tidak percaya pada kata-kata Alkitab atau tidak percaya sepenuh-penuhnya ayat-ayat Alkitab. Ibarat seorang yang menyaksikan seseorang berjalan di atas tali menyeberangi Niagara. Ia percaya bahwa orang tersebut mampu menyeberangi Niagara melalui seutas tali, namun ketika ditawarkan kepadanya untuk dipikul di punggungnya, ia tidak mau.
Kita temukan banyak orang yang percaya Tuhan Yesus, namun tidak berani melakukan tindakan iman. Wajar sekali jika timbul pertanyaan, betulkah ia percaya, atau seberapa percayakah ia?
Bahkan dalam hidup ini penulis telah menyaksikan orang yang filosofi hidupnya lebih buruk dari orang kaya dalam perumpamaan Tuhan Yesus. Kalau orang kaya dalam perumpamaan Tuhan hanya menyimpan hartanya, namun ada banyak orang kaya yang berdosa dengan hartanya, mereka bahkan membeli dosa dengan hartanya. Mereka berjudi dan melacur serta bermabokan dengan harta mereka.
Sikap paling negatif orang kaya biasanya adalah menanamkan sikap cinta uang kepada anak-cucu mereka. Penulis pernah diundang oleh seorang pengusaha yang sudah mengenal kebenaran untuk menginjili anaknya. Baru duduk dan ayahnya memperkenalkan penulis bahwa penulis adalah seorang Gembala Jemaat, langsung dibalas oleh anaknya, “Pa, saya tidak mau bicara tentang agama. Jangan bicara tentang agama dengan saya.” Tentu penulis hanya tersenyum heran melihat penolakan yang spontan dan tegas itu. Sikap demikian tentu tidak tumbuh dalam semalam, melainkan melalui pembentukan yang bertahun-tahun. Anak itu tumbuh di tengah-tengah suasana yang tidak peduli pada Tuhan, melainkan hanya uang, dan uang saja. Orang tuanya telah mencekokinya dengan filosofi uang dan harta, bahwa ia nanti besar harus bisa mencari uang, memburu uang. Di keluarganya sama sekali tidak pernah ada suasana kerohanian.
Sangat sulit untuk mendapatkan orang tua yang mengajari dan menanamkan prinsip seperti Ayub kepada anak-anaknya. Kebanyakan orang tua sekarang seperti Lot dan orang kaya yang bodoh ini. Sedikit sekali orang tua yang mengajari anaknya untuk bersyukur karena mereka tidak percaya ada Tuhan yang baik dan yang patut diucapkan syukur. Sedikit sekali orang tua yang mengindoktrinasi anak-anaknya tentang Sorga dan tentang hal-hal sesudah kematian jasmani. Tentu si orang tua harus sangat yakin akan hal-hal itu barulah ia akan mengajarkannya kepada anak-anaknya.
Penulis pernah bertemu dengan seorang ayah yang tidak mau anak-anaknya terlalu rohani. Ia takut anak-anaknya terlalu rohani sehingga akan mengambil keputusan untuk menjadi hamba Tuhan. Ia mengerem antusiasme anak-anaknya terhadap kebenaran rohani. Padahal antusiasme itu jika ditahan ia akan berhenti dan perlahan-lahan mati. Ia akan menyebabkan anak-anaknya terhilang dan binasa. Di dalam kekekalan nanti ia akan sangat menyesal dan akan mengaku bahwa dirinya telah sangat bodoh.
Walaupun sekarang posisi ayah bukan lagi sebagai imam, namun peranan seorang ayah untuk keselamatan jiwa anak-anaknya sangat besar. Seorang ayah dapat mempersiapkan hati anak-anaknya untuk menyambut kebenaran, atau sebaliknya dapat menutup hati anak-anaknya terhadap kebenaran. Yang menutup hati anak-anaknya terhadap kebenaran melalui mengisi hati mereka dengan uang dan harta serta filosofi duniawi adalah ayah yang bodoh, yang menjerumuskan anak-anaknya ke Neraka.
Bendahara Yang Cerdik
Lalu tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu, karena ia telah bertindak dengan cerdik. Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang. Dan Aku berkata kepadamu: Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi." (Luk.16:8-9).
Banyak orang tidak mengerti maksud Tuhan menceritakan kisah ini. Mengapa bendahara yang tidak jujur itu dipuji. Sesungguhnya jawabannya tersembunyi di ayat 9-nya, yaitu mengikat persahabatan dengan Mamon yang tidak jujur.
Sebelum seseorang diselamatkan, ia bagaikan seorang bendahara yang bekerja pada illah dunia ini. Kepadanya dipercayakan harta duniawi (Mamon). Semakin ia mengasihi dunia ia akan dipercayakan semakin banyak Mamon. Namun setelah dia bertobat dan diselamatkan, ia bagaikan bendahara yang tidak jujur terhadap tuannya, yaitu illah dunia ini. Bahkan ia dilihat sebagai tidak setia dan berkhianat.
Ia harus tahu bahwa illah dunia ini bukan lagi tuannya, karena ia telah beralih kepada tuan yang lain. Ia juga harus tahu bahwa suatu hari ia pasti akan diberhentikan oleh tuannya, illah dunia ini. Namun selagi ia masih memegang harta duniawi yaitu harta milik illah dunia ini, ia sepatut-nya cerdik memanfaatkan harta illah dunia ini “supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi.”
Semua orang Kristen yang telah lahir baru harus menyadari bahwa status anda di hadapan illah dunia ini adalah orang yang telah berkhianat. Dulu anda adalah manusia duniawi yang hidup untuk dunia dengan nafsu duniawi. Kini anda adalah manusia baru yang telah dibeli tunai dengan darah Kristus. Karena terkesan oleh anugerah yang amat besar maka kita menghambakan diri kepadaNya secara sukarela. Kita tahu persis bahwa kita akan pergi ke tempat tuan kita yang baru yaitu Yesus Kristus. Keberadaan kita di dunia ini hanya bersifat sementara.
Tentu kita mau anak-cucu kita juga akan berkumpul dengan kita di Sorga sana. Tidak salah jika kita menyediakan mereka bekal untuk bertahan di dunia ini sambil menunggu evakuasi. Tetapi jika kita membiarkan mereka mencintai dunia ini adalah sesuatu yang sangat bodoh. Jika mereka memegang harta illah dunia ini terlalu banyak, akan membuat mereka merasa illah dunia ini mengasihi mereka, mempercayai mereka, dan bisa meluluhkan hati mereka. Dan kita tidak tahu akankah mereka mentransfer dana yang dipercayakan kepada kita ke negeri seberang sana jika kita tinggalkan untuk mereka? Bukankah bijaksana jika kita mentransfer sebagiannya bagi kita supaya ketika kita menghadap raja kita ada sesuatu di tangan kita? Bagaimana seandainya anak-anak kita terbujuk oleh illah dunia ini sehingga tidak memihak kepada raja kita yang baik, agung dan mulia? Atau bahkan, tidakkah harta yang kita tinggalkan kepada anak-cucu kita bisa menjerumuskan mereka ke dalam pelukan illah dunia ini?
Bendahara yang cerdik tahu bahwa ia harus mentransfer hartanya ke “kemah abadi” supaya ketika dia diusir oleh tuan dunia ini (mati), ia diterima dan akan memiliki harta sorgawi. Betapa cerdik bendahara ini, sehingga tuannya bahkan memuji kecerdikannya.
Dengan cerita ini Tuhan mengkritik anak-anak terang dengan berkata, “sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang.” Betul Tuhan, anak-anak terang saking bodohnya, sudah tahu akan diusir masih tidak rela mentransfer hartanya ke tempat barunya. Beberapa tahun lalu saya membaca komentar Ariel Sharon, PM Israel tentang semakin meningkatnya suasana antisemit di Perancis, bahwa orang Yahudi di Perancis yang tidak segera menjual aset kekayaannya dan pindah adalah bodoh.”
Setelah komentarnya, kontan harga saham dan harga properti di Perancis anjlok, sehingga PM Perancis marah-marah. Namun, jika kita cermati inti komentar Ariel Sharon, itu sesungguhnya sangat benar dan sangat bijak. Ketika suasana anti-Yahudi di Jerman semakin meningkat awal abad 20, Yahudi yang berhasil menjual aset mereka dan pindah ke USA adalah yang paling pintar dan bijak. Sedangkan yang bodoh mengulur-ulur waktu hingga last minute, dan bukan hanya harta mereka dihabiskan Hittler bahkan berikut orang-orangnya.***
Sumber: Jurnal Teologi PEDANG ROH Edisi 66 Januari-Februari-Maret 2011
Kemudian Ia mengatakan kepada mereka suatu perumpamaan, kata-Nya: "Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya... Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh...” (Luk.12:16,20)
Tindakan menyimpan uang atau menabung adalah hal yang sangat baik. Siapa pun yang mempunyai anak yang hanya memboroskan seluruh uang yang dimilikinya tanpa menyimpan, akan sedih dan kuatir tentang masa depan anaknya itu. Kita mengajar anak-anak kita untuk hidup dengan penuh perhitungan, jangan hidup boros.
Namun orang kaya yang diceritakan Tuhan Yesus, disebutkan telah membanggakan, dan menaruh pengharapan pada hartanya. Ia tidak melihat bahwa sesudah kematian, kita akan masuk ke dalam kekekalan, dan kemuliaan yang akan diberikan kepada kita akan tergantung dari seberapa kita berbuat kepada Tuhan di dunia ini.
Orang Kaya dalam perumpamaan Tuhan juga tidak tahu, atau tidak mau tahu, bahwa kita dapat menyimpan harta kita di Sorga. Seharusnya siapapun yang percaya bahwa ia akan pergi ke Sorga, ia akan menyimpan sebagian besar hartanya di Sorga, bukan di bumi yang sementara. Kita sering mendengar orang berkata bahwa ia beriman, atau ia percaya, namun dari sikap hidup maupun tindakan sehari-harinya justru menunjukkan bahwa ia sebenarnya tidak percaya.
Penulis pernah mendengar kesaksian seseorang bahwa ia tidak berani menikmati kekayaan duniawinya tanpa memi kirkan perkara sorgawi. Ketika ia mau membeli sebuah mobil yang berharga lima ratus juta, ia mempersembahkan lima ratus juta untuk proyek penginjilan.
Ketika mendengar kesaksian tersebut, tentu penulis sangat bersyukur, dan berpikir seandainya banyak orang Kristen alkitabiah berpikir dan bertindak demikian, maka dana penginjilan, dana untuk seminar, akan berlimpahan dan kekristenan alkitabiah akan semakin bertumbuh. Tetapi fakta memberitahukan kita bahwa kebanyakan orang Kristen tidak percaya pada kata-kata Alkitab atau tidak percaya sepenuh-penuhnya ayat-ayat Alkitab. Ibarat seorang yang menyaksikan seseorang berjalan di atas tali menyeberangi Niagara. Ia percaya bahwa orang tersebut mampu menyeberangi Niagara melalui seutas tali, namun ketika ditawarkan kepadanya untuk dipikul di punggungnya, ia tidak mau.
Kita temukan banyak orang yang percaya Tuhan Yesus, namun tidak berani melakukan tindakan iman. Wajar sekali jika timbul pertanyaan, betulkah ia percaya, atau seberapa percayakah ia?
Bahkan dalam hidup ini penulis telah menyaksikan orang yang filosofi hidupnya lebih buruk dari orang kaya dalam perumpamaan Tuhan Yesus. Kalau orang kaya dalam perumpamaan Tuhan hanya menyimpan hartanya, namun ada banyak orang kaya yang berdosa dengan hartanya, mereka bahkan membeli dosa dengan hartanya. Mereka berjudi dan melacur serta bermabokan dengan harta mereka.
Sikap paling negatif orang kaya biasanya adalah menanamkan sikap cinta uang kepada anak-cucu mereka. Penulis pernah diundang oleh seorang pengusaha yang sudah mengenal kebenaran untuk menginjili anaknya. Baru duduk dan ayahnya memperkenalkan penulis bahwa penulis adalah seorang Gembala Jemaat, langsung dibalas oleh anaknya, “Pa, saya tidak mau bicara tentang agama. Jangan bicara tentang agama dengan saya.” Tentu penulis hanya tersenyum heran melihat penolakan yang spontan dan tegas itu. Sikap demikian tentu tidak tumbuh dalam semalam, melainkan melalui pembentukan yang bertahun-tahun. Anak itu tumbuh di tengah-tengah suasana yang tidak peduli pada Tuhan, melainkan hanya uang, dan uang saja. Orang tuanya telah mencekokinya dengan filosofi uang dan harta, bahwa ia nanti besar harus bisa mencari uang, memburu uang. Di keluarganya sama sekali tidak pernah ada suasana kerohanian.
Sangat sulit untuk mendapatkan orang tua yang mengajari dan menanamkan prinsip seperti Ayub kepada anak-anaknya. Kebanyakan orang tua sekarang seperti Lot dan orang kaya yang bodoh ini. Sedikit sekali orang tua yang mengajari anaknya untuk bersyukur karena mereka tidak percaya ada Tuhan yang baik dan yang patut diucapkan syukur. Sedikit sekali orang tua yang mengindoktrinasi anak-anaknya tentang Sorga dan tentang hal-hal sesudah kematian jasmani. Tentu si orang tua harus sangat yakin akan hal-hal itu barulah ia akan mengajarkannya kepada anak-anaknya.
Penulis pernah bertemu dengan seorang ayah yang tidak mau anak-anaknya terlalu rohani. Ia takut anak-anaknya terlalu rohani sehingga akan mengambil keputusan untuk menjadi hamba Tuhan. Ia mengerem antusiasme anak-anaknya terhadap kebenaran rohani. Padahal antusiasme itu jika ditahan ia akan berhenti dan perlahan-lahan mati. Ia akan menyebabkan anak-anaknya terhilang dan binasa. Di dalam kekekalan nanti ia akan sangat menyesal dan akan mengaku bahwa dirinya telah sangat bodoh.
Walaupun sekarang posisi ayah bukan lagi sebagai imam, namun peranan seorang ayah untuk keselamatan jiwa anak-anaknya sangat besar. Seorang ayah dapat mempersiapkan hati anak-anaknya untuk menyambut kebenaran, atau sebaliknya dapat menutup hati anak-anaknya terhadap kebenaran. Yang menutup hati anak-anaknya terhadap kebenaran melalui mengisi hati mereka dengan uang dan harta serta filosofi duniawi adalah ayah yang bodoh, yang menjerumuskan anak-anaknya ke Neraka.
Bendahara Yang Cerdik
Lalu tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu, karena ia telah bertindak dengan cerdik. Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang. Dan Aku berkata kepadamu: Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi." (Luk.16:8-9).
Banyak orang tidak mengerti maksud Tuhan menceritakan kisah ini. Mengapa bendahara yang tidak jujur itu dipuji. Sesungguhnya jawabannya tersembunyi di ayat 9-nya, yaitu mengikat persahabatan dengan Mamon yang tidak jujur.
Sebelum seseorang diselamatkan, ia bagaikan seorang bendahara yang bekerja pada illah dunia ini. Kepadanya dipercayakan harta duniawi (Mamon). Semakin ia mengasihi dunia ia akan dipercayakan semakin banyak Mamon. Namun setelah dia bertobat dan diselamatkan, ia bagaikan bendahara yang tidak jujur terhadap tuannya, yaitu illah dunia ini. Bahkan ia dilihat sebagai tidak setia dan berkhianat.
Ia harus tahu bahwa illah dunia ini bukan lagi tuannya, karena ia telah beralih kepada tuan yang lain. Ia juga harus tahu bahwa suatu hari ia pasti akan diberhentikan oleh tuannya, illah dunia ini. Namun selagi ia masih memegang harta duniawi yaitu harta milik illah dunia ini, ia sepatut-nya cerdik memanfaatkan harta illah dunia ini “supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi.”
Semua orang Kristen yang telah lahir baru harus menyadari bahwa status anda di hadapan illah dunia ini adalah orang yang telah berkhianat. Dulu anda adalah manusia duniawi yang hidup untuk dunia dengan nafsu duniawi. Kini anda adalah manusia baru yang telah dibeli tunai dengan darah Kristus. Karena terkesan oleh anugerah yang amat besar maka kita menghambakan diri kepadaNya secara sukarela. Kita tahu persis bahwa kita akan pergi ke tempat tuan kita yang baru yaitu Yesus Kristus. Keberadaan kita di dunia ini hanya bersifat sementara.
Tentu kita mau anak-cucu kita juga akan berkumpul dengan kita di Sorga sana. Tidak salah jika kita menyediakan mereka bekal untuk bertahan di dunia ini sambil menunggu evakuasi. Tetapi jika kita membiarkan mereka mencintai dunia ini adalah sesuatu yang sangat bodoh. Jika mereka memegang harta illah dunia ini terlalu banyak, akan membuat mereka merasa illah dunia ini mengasihi mereka, mempercayai mereka, dan bisa meluluhkan hati mereka. Dan kita tidak tahu akankah mereka mentransfer dana yang dipercayakan kepada kita ke negeri seberang sana jika kita tinggalkan untuk mereka? Bukankah bijaksana jika kita mentransfer sebagiannya bagi kita supaya ketika kita menghadap raja kita ada sesuatu di tangan kita? Bagaimana seandainya anak-anak kita terbujuk oleh illah dunia ini sehingga tidak memihak kepada raja kita yang baik, agung dan mulia? Atau bahkan, tidakkah harta yang kita tinggalkan kepada anak-cucu kita bisa menjerumuskan mereka ke dalam pelukan illah dunia ini?
Bendahara yang cerdik tahu bahwa ia harus mentransfer hartanya ke “kemah abadi” supaya ketika dia diusir oleh tuan dunia ini (mati), ia diterima dan akan memiliki harta sorgawi. Betapa cerdik bendahara ini, sehingga tuannya bahkan memuji kecerdikannya.
Dengan cerita ini Tuhan mengkritik anak-anak terang dengan berkata, “sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang.” Betul Tuhan, anak-anak terang saking bodohnya, sudah tahu akan diusir masih tidak rela mentransfer hartanya ke tempat barunya. Beberapa tahun lalu saya membaca komentar Ariel Sharon, PM Israel tentang semakin meningkatnya suasana antisemit di Perancis, bahwa orang Yahudi di Perancis yang tidak segera menjual aset kekayaannya dan pindah adalah bodoh.”
Setelah komentarnya, kontan harga saham dan harga properti di Perancis anjlok, sehingga PM Perancis marah-marah. Namun, jika kita cermati inti komentar Ariel Sharon, itu sesungguhnya sangat benar dan sangat bijak. Ketika suasana anti-Yahudi di Jerman semakin meningkat awal abad 20, Yahudi yang berhasil menjual aset mereka dan pindah ke USA adalah yang paling pintar dan bijak. Sedangkan yang bodoh mengulur-ulur waktu hingga last minute, dan bukan hanya harta mereka dihabiskan Hittler bahkan berikut orang-orangnya.***
Sumber: Jurnal Teologi PEDANG ROH Edisi 66 Januari-Februari-Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar