PENGANTAR
Pemeriksaan oleh Pansus Bank Century berlangsung secara terbuka yang diliput oleh media massa. Rakyat yang berminat dapat mengikutinya secara langsung. Walaupun demikian, materinya cukup rumit, sehingga tidak mudah dicerna dan dipahami oleh rakyat banyak.
Tulisan ini mencoba membuatnya mudah dimengerti. Data dan informasinya tidak hanya dari Laporan Audit Investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tetapi dilengkapi dengan notulen rapat-rapat KSSK, dan pemeriksaan serta dengar pendapat oleh Pansus dengan banyak orang.
Booklet ini mempunyai sub judul “Mengapa skandal Bank Century banyak menimbulkan keresahan dan kemarahan?” Kasusnya sendiri tidak termasuk yang luar biasa. Apalagi kalau dibandingkan dengan ekses dan korupsi yang menyertai bail out besar-besaran ratusan bank dalam krisis tahun 1997-1998. Jumlahnya meliputi BLBI sebesar Rp. 144 trilyun yang oleh BPK dinyatakan bahwa sekitar 90% tidak dapat dipertanggung jawabkan. Kemudian penyuntikan bank-bank yang rusak tetapi sudah menjadi milik pemerintah ini dengan Obligasi Rekapitalisasi (OR) Perbankan sebesar Rp. 430 trilyun. Kalau surat utang negara ini dibayar tepat waktu, bunga yang harus dibayarkan sebesar Rp. 600 trilyun, sehingga kewajiban pemerintah minimal sebesar Rp. 1.030 trilyun. Namun kalau OR yang jatuh tempo diperpanjang tenornya, biaya bunganya membengkak. Angka Rp. 6,7 trilyun menjadi kecil kalau dibandingkan dengan angka-angka historis tersebut.
Toh keresahan masyarakat dan media massa dalam kasus Bank Century cukup luar biasa. Menurut saya “ledakan” ini tidak dapat dipisahkan dari rasa resah, gundah, marah yang sudah lama berkembang dalam hati nurani banyak orang. Kasus Century merupakan het laatste druppel die de emmer doet overlopen yang berarti “tetesan air terakhir yang membuat air dalam ember yang sudah penuh meluap keluar”. Para juru bicara Presiden, “Ohio Boys” dan ekonom kelompok “Berkeley Mafia” perlu merenung lebih dalam dan tidak hanya berteknokratik, yang lantas bingung atau tetap congkak ketika menghadapi hati nurani, rasa keadilan, rasa dipinggirkan, rasa diperlakukan sewenang-wenang. Semuanya ini memang tidak bisa dibuktikan, apalagi kalau pembuktiannya harus diukur dengan jumlah lembar uang kertas tunai, yang diakhiri dengan pertanyaan: “apakah negara dirugikan?”
Tentang pertanyaan yang paling krusial, yaitu apakah kebijakan melakukan bail out dapat dibenarkan, pendirian pemerintah sangat jelas, yaitu mesti dilakukan karena pemerintah yakin secara mutlak, bahwa kalau bail out tidak dilakukan, sistem keuangan dan kemudian keseluruhan perekonomian Indonesia pasti hancur dan luluh lantah. Apa alasannya? Keyakinan, dan karena itu tidak perlu dibuktikan secara eksak. Pembuktian secara eksak memang tidak mungkin diberikan, karena gejala sosial ekonomi tidak dapat diramalkan secara pasti dan eksak sebelumnya seperti halnya hubungan sebab akibat dalam ilmu pasti dan fisika.
Bukankah KSSK sudah mengeluarkan semua indikator kuantitatif, yang akhirnya diterjemahkan ke dalam satu faktor saja, yaitu faktor psikologis? Benar, tetapi justru inilah yang menjadi masalah. Banyak praktisi bisnis keuangan merasa bahwa dalam kehidupan bisnis keuangan yang nyata tidak dirasakan adanya bahaya yang disebutnya “sistemik”. Krisis subprime mortgage di AS tidak besar pengaruhnya terhadap Indonesia, karena kecilnya Indonesia dalam peta ekonomi dunia. Yang terpengaruh hanyalah ekspor yang menurun sebentar.
Faktor yang paling membuat masyarakat marah ialah adanya dugaan bahwa BC dipakai sebagai bank pencucian uang dalam jumlah besar, yang kemudian disalurkan untuk pembiayaan kegiatan-kegiatan politik. Ketika uang ini “dirampok” oleh para pemilik BC, dengan berbagai alasan dikatakan bahwa BC harus di bail out at any cost. Itulah sebabnya biaya bail out tidak dihitung dengan cermat sebelumnya, yang akhirnya membengkak sampai sepuluh kali lipat dari perkiraan sebelumnya.
Dugaan kuat yang tidak bisa dibuktikan lambat laun menjadi persepsi dan keyakinan, yang dalam interaksi politik dihayati sebagai “kenyataan” tanpa peduli dan tanpa mau mengetahui kondisi yang sebenarnya. Yang berlaku hukum “pokoknya”.
Sikap yang demikian sedikit banyak dipicu oleh sikap para teknokrat yang juga “pokoknya”, yaitu “pokoknya kerusakan BC sistemik yang kalau tidak di bail out habis-habisan dengan cara apa saja, termasuk mengubah Peraturan Bank Indonesia, seluruh perekonomian bangsa akan hancur lebur, titik.” Ketika dicecar oleh Pansus, prinsip “pokoknya” ini diperkuat dengan pernyataan: “Pokoknya saya berani mempertanggung jawabkan di dunia maupun di akhirat.”
Masyarakat di luar lembaga resmi berangsur-angsur juga mengambil sikap “pokoknya” aku akan berdemo dengan cara apa saja, yaitu membawa kerbau, menambahi taring dan darah pada gambar petinggi negara, membakar dan menginjak fotonya dan sebagainya.
Fakta yang mengemuka dari Laporan BPK dan pemeriksaan oleh Pansus memang luar biasa aneh, luar biasa janggal dan luar biasa beraninya para pejabat tinggi itu melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri, sikap mereka yang congkak menganggap semua anggota masyarakat bodoh dan pasti dapat menerima apa saja yang mereka lakukan hanya dengan senyum yang “dewata”.
Marilah kita baca bagaimana duduk perkaranya?
KELAHIRAN BANK CENTURY (BC) SUDAH BERMASALAH
Bank Century (BC) adalah hasil merger dari Bank CIC, Bank Pikko dan Bank Danpac. Merger didahului dengan akuisisi Danpac dan Pikko serta kepemilikan saham CIC oleh Chinkara perusahaan berdomisili di Bahama dengan pemegang saham mayoritas dan pengendali: Rafat Ali Rizvi (RAR).
AKUISISI DILAKUKAN DENGAN BANYAK PELANGGARAN
Pada tanggal 21 November 2001 BI memberikan persetujuan prinsip untuk melakukan akuisisi, walaupun Chinkara tidak memenuhi persyaratan administratif berupa:
* tidak melakukan publikasi akuisisi oleh Chinkara
* tidak adanya laporan keuangan Chinkara 3 tahun terakhir
* tidak ada rekomendasi oleh pihak berwewenang di negara asal Chinkara
Pada tanggal 5 Juli 2002 BI memberikan izin akuisisi walaupun terjadi pelanggaran-pelanggaran sebagai berikut:
(1) Pada CIC terdapat Surat-Surat Berharga 9SSB) fiktif senilai USD 25 juta yang melibatkan Chinkara.
(2) SSB berisiko tinggi, tetapi Penyisihan Penghapusan Aset Produktif (PAPAP) tidak dilakukan; seandainya dilakukan sebagaimana mestinya, CAR menjadi negatif.
(3) Karena pembayaran kewajiban General Sales Management 102 (GSM 102) dan terjadinya penarikan dana pihak ketiga (DPK) dalam jumlah besar, BC kesulitan likuiditas dan melanggar Posisi Devisa Neto (PDN).
(4) Dalam Bank Pikko terdapat kredit kepada Texmaco yang macet, yang selanjutnya ditukarkan dengan Medium Term Notes (MTN) Dresdner Bank yang tidak memiliki notes rating sehingga bank wajib membentuk PPAP yang berakibat CAR menjadi negatif.
MERGER JUGA DILAKUKAN DENGAN BANYAK PELANGGARAN
Pada tanggal 6 Desember 2004 BI memberikan izin merger 3 bank menjadi Bank Century dengan melakukan berbagai pelanggaran.
Walaupun merger tidak memenuhi persyaratan yang berlaku, izin merger diberikan pada tanggal 6 Desember 2004.
Dasarnya adalah rekomendasi/catatan yang diberikan oleh Direktur Pengawasan BI, S. Anton Tarihoran kepada Deputi Gubernur BI Aulia Pohan dan Deputi Senior Gubernur BI Anwar Nasution tertanggal 22 Juli 2004.
Bentuk pelanggaran-pelanggaran dalam memberikan izin merger adalah sebagai berikut:
(1) Surat Surat Berharga (SSB) Bank CIC yang macet dianggap lancar, yang menjadikan Capital Adequacy Ratio (CAR)-nya seolah-olah memenuhi persyaratan merger.
(2) Fit & Proper Test atas RAR yang tidak lulus ditunda penilaiannya dan tidak diproses lebih lanjut.
(3) Tidak pernah ada Rapat Dewan Gubernur BI sebelum memberi izin merger.
(4) Terjadi manipulasi oleh Direktur BI bidang Pengawasan Bank BI S. Anton Tarihoran yang mengatakan bahwa Gubernur BI Burhanudin Abdullah telah setuju, yang kemudian sudah dibantah oleh Burhannudin Abdullah.
PELANGGARAN-PELANGGARAN YANG SEGERA SAJA DILAKUKAN SETELAH BERDIRINYA ATAS PENGETAHUAN DAN PEMBIARAN OLEH BI
Dengan CAR negatif 132,5 % BC tidak ditempatkan dalam pengawasan khusus. (hanya dalam pengawasan intensif)
Per 31 Oktober 2005 CAR BC negatif 132,5%. Menurut peraturan yang berlaku BC harus ditempatkan dalam pengawasan khusus, di mana BI mempunyai kekuatan memaksa pemegang saham untuk menyelesaikan permasalahan BC dalam jangka waktu yang jelas.
Namun Deputi Gubernur Siti Fajriah hanya menempatkan BC dalam pengawasan intensif atas usulan Direktur Rusli Simanjuntak.
CAR yang terpuruk sampai menjadi negatif 132,5 % disebabkan oleh:
Surat Surat Berharga (SSB) senilai USD 203 juta berkualitas rendah, di antaranya:
* SSB senilai USD 116 juta masih dikuasai oleh pemegang saham.
* BI menyetujui bahwa BC tidak melakukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif (PPAP), sedangkan menurut peraturan harus melakukan PPAP sebesar 100%.
* BI menyetujui atas alasan karena pemegang saham telah berkomitmen menjual SSB dan membuat skema melalui Asset Management Agreement (AMA) dan Asset Sales and Purchase Agreement (ASPA), yang tidak pernah dilaksanakan oleh Pemegang Saham Pengendali (PSP).
* Jadi BI tidak memerintahkan manajemen BC untuk melakukan penyisihan terhadap SSB yang berkualitas rendah (bahkan bodong) ini, yang berarti BC dan BI tidak mengakui adanya kerugian atas SSB. Kalau aset ini disisihkan atau diakui sebagai kerugian sebagaimana mestinya, maka CAR menjadi negatif 132,5.
BI tidak mengambil tindakan apa-apa tentang pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) BC dan pelanggaran terhadap ketentuan Posisi Devisa Neto.
Antara tahun 2005 s/d. 2007 BI menemukan:
* Pelanggaran BMPK karena pembelian SSB valas yang berkualitas rendah.
* Penempatan antar bank yang menurut Bankers Alamanak 2003 tidak termasuk dalam Top 200.
* Pemberian L/C yang hanya dijamin dengan Bankers Acceptance.
* Sejak 2004 melanggar ketentuan Posisi Devisa Neto (PDN) yang menurut peraturan yang berlaku dendanya Rp. 22 milyar, tetapi diturunkan menjadi Rp. 11 milyar.
* Pemberian kredit dan fasilitas LC yang melanggar ketentuan.
* Pengeluaran biaya-biaya fiktif, yang baru diungkapkan oleh Tim Pengawas BI setelah BC di tangan LPS (2008 s/d. 2009).
BI memberikan FPJP kepada BC dengan cara melanggar ketententuan-ketentuan yang berlaku. Persyaratan CAR minimal 8% untuk dapat memperoleh FPJP diubah menjadi minimal hanya positif (atau di atas 0%), karena CAR BC hanya 2,35%.
Karena kesulitan likuiditas BC mengajukan repo aset kredit pada tgl. 30 Oktober 2008 sebesar Rp. 1 trilyun, yang oleh BI diproses sebagai permohonan FPJP.
CAR per 30 September 2008 sebesar 2,35%, sedangkan PBI no.10/26/PBI/2008 mensyaratkan CAR 8% untuk memperoleh FPJP.
Pada tanggal 14 November 2008 BI mengubah persyaratan tersebut dari CAR minimal 8% menjadi CAR minimal positif melalui penerbitan PBI No.10/30/PBI/2008.
Setelah perubahan ketentuan tersebut, dengan CAR 2,35% BI memberikan FPJP kepada BC sebagai berikut :
14 November 2008 : Rp. 356,81 milyar
17 November 2008 : Rp. 145,26 milyar
18 November 2008 : Rp. 187,32 milyar
(yang diminta Rp. 319,26 milyar)
Jumlah Rp. 689,38 milyar.
Pada tgl. 30 September 2008 CAR keseluruhan Bank Umum berkisar antara 10,39% s/d. 476,34%, sehingga BC adalah satu-satunya bank di Indonesia yang CAR-nya di bawah 8%.
BPK: “Dengan demikian, perubahan persyaratan CAR dalam PBI tersebut patut diduga dilakukan untuk merakayasa agar BC dapat memperoleh FPJP.”
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa CAR per 31 Oktober 2008 (sebelum FPJP) negatif 3,53%
BPK: “Ini melanggar ketentuan PBI No. 10/30/PBI/2008 yang menyatakan bahwa bank yang dapat mengajukan FPJP adalah bank dengan CAR positif.”
BPK: “Selain itu, sebagian jaminan FPJP yang diperjanjikan sebesar Rp. 467,99 milyar ternyata tidak secure menurut penilaian Direktorat Kredit, BPR dan UMKM (DKBU) BI, sehingga nilai jaminan hanya sebesar 83% dari plafon FPJP.”
BPK: “Hal ini melanggar ketentuan PBI no. 10/26/PBI/2008 juncto PBI no. 10/30/PBI/2008 yang mengatakan bahwa jaminan dalam bentuk aset kredit minimal 150% dari plafon FPJP.
RAPAT-RAPAT KSSK DAN RAPAT/PERTEMUAN-PERTEMUAN PENTING SEBELUMNYA MENJELANG RAPAT DENGAN BI TANGGAL 20 NOVEMBER 2008 YANG MEMUTUSKAN CENTURY SEBAGAI BANK GAGAL DAN SISTEMIK SERTA SURAT GUBURNUR BI KEPADA KSSK
Pada tanggal-tanggal 14, 17, 18 dan 19 November 2008 KSSK telah melakukan rapat konsultasi beberapa kali yang dihadiri oleh unsur-unsur BI, Depkeu, dan LPS.
INDIKASI KETERLIBATAN PRESIDEN DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN BAIL OUT
Pada tanggal 13 November 2008 ada rapat yang notulennya berjudul “Pertemuan KSSK Tanggal 13 November 2008”.
Pada halaman 7 tercantum dua paragraf sebagai berikut:
“Sdri. Sri Mulyani menginformasikan telah menyampaikan permasalahan ini kepada Presiden RI, namun pada hari ini Presiden RI akan melakukan perjalanan dinas ke San Fransisco, USA yang artinya sampai dengan esok hari, dalam hal diperlukan, Presiden RI belum dapat mengambil keputusan.”
“Oleh karena itu Sdri. Sri Mulyani mengharapkan kepada Bank Indonesia agar pada tanggal 14 November dapat menangani situasi dan kondisi termasuk deposan-deposan, bank-bank, rumor maupun hal-hal lain yang mungkin terjadi. Apabila keesokan hari tanggal 14 November situasi dapat terkendali, maka masih ada waktu pada hari Sabtu, tanggal 15 November 2009 (KKG: mungkin salah ketik, mestinya 2008) dan hari Minggu tanggal 16 November 2009 (mestinya 2008?) dimana Presiden RI sudah kembali ke tanah air, sehingga dapat membahas masalah ini lebih baik lagi.”
Dari dua buah kutipan notulen pertemuan (atau rapat) tersebut, kuat indikasinya bahwa Presiden RI dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Mengapa dikatakan bahwa Presuiden tidak tahu menahu sampai bail out sudah dilakukan?
PERAN MARSILAM SIMANJUNTAK YANG SANGAT PENTING SEBAGAI APA ?
Di halaman 8 dari notulen yang sama tercantum “Lebih lanjut Sdr. Boediono menginformasikan bahwa dirinya bersama dengan Sdr. Sofyan dan Sdr. Marsilam akan membahas kembali hal-hal yang perlu dilakukan untuk menangani permasalahan Bank Century.”
Jelas dari sini tentang perannya yang penting di samping kehadirannya dalam rapat KSSK tanggal 21 November 2008. Mengapa peran itu dipersepsikan hanya sebagai NARA SUMBER dan tidak ada hubungannya dengan Presiden, walaupun kedudukannya Ketua UP3R (?).
PENENTUAN DAMPAK SISTEMIK OLEH RDG PADA TANGGAL 20 NOVEMBER 2008 YANG HANYA MENGUNAKAN FAKTOR PSIKOLOGIS YANG TIDAK BISA DIKUANTIFIKASI DAN TIDAK ADA DALAM MOU.
Dalam rapat pada tanggal 20 November 2008 tersebut, RDG membahas analisis tentang penentuan Bank Gagal yang berdampak Sistemik atas dasar 5 aspek:
1. dampak kepada institusi keuangan
2. dampak kepada pasar keuangan
3. dampak kepada sistem pembayaran
4. dampak kepada sektor riil
5. dampak kepada psikologi pasar
Aspek nomor 1 s/d 4 berdasar atas Memorandum of Understanding on Cooperation between the Financial Supervisory Authorities, Central Banks and Finance Ministries of the Europoean Union: on Cross Border Financial Stability tgl.1 Juni 2008. (selanjutnya disebut MoU) yang indikator-indikator kuantitatifnya sebagai berikut:
* Fungsi BC dalam industri perbankan tidak penting karena:Dana Pihak Ketiga Bank/Dana Pihak Ketiga Industri: 0,68% Kredit Bank/Kredit Industri: 0,42 %
* Hubungan dengan nasabah:
Kredit modal kerja 76,58 %
Industri pengolahan 21,79 %
Restoran dan hotel 22,93 %
Jasa-jasa dunia usaha 28,47 %
* Pangsa kreditnya terhadap industri 0,42 %
* 84,82 % dana BC dari Deposito.
* Transaksi Antar Bank Aktiva/Total Aset Bank Lain
dalam industri perbankan : 24,28 %.
Transaksi Antar Bank Pasiva/Total Kewajiban : 19,34 %
* Fungsi BC dapat dengan mudah ditangani oleh bank-bank lainnya.
Dengan angka-angka tersebut, BI sendiri menyimpulkan bahwa dampaknya pada aspek industri keuangan dan sektor riil “low to medium”.
Karena semua kriteria kuantitatif yang tertuang dalam MoU (yang dijadikan landasan oleh BI) mengindikasikan tidak ada dampak sistemik, DG BI menciptakan kriteria baru, yaitu faktor psikologis yang tidak dapat dikuantifikasi.
Maka dalam rapat pada tanggal 20 November 2008, RDG BI memutuskan BC sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dengan rumusan: “ketidakpastian yang tinggi terutama terhadap psikologi pasar/masyarakat yang selanjutnya bisa memicu ketidakpastian/gangguan di pasar keuangan dan sistem pembayaran.”
Keputusan RDG tentang dampak sistemik dari kegagalan BC dituangkan dalam surat Gubernur BI kepada Ketua KSSK tertanggal 20 November 2008 bernomor 10/232/GBI/Rahasia.
Pada hari berikutnya, yaitu tanggal 21 November 2008 (hari Jum’at) KSSK menyelenggarakan rapat untuk membahas surat Gubernur BI tersebut.
RAPAT KSSK TGL. 21 NOVEMBER 2008 YANG MENENTUKAN CENTURY SEBAGAI BANK GAGAL YANG BERDAMPAK SISTEMIK.
Setelah menerima surat dari Gubernur BI tertanggal 20 November 2008 tersebut, diselenggarakan Rapat konsultasi KSSK lagi pada tgl. 21 November (hari Jum’at) dari jam 00.15 s/d. jam 05.00, yang didahului dengan presentasi oleh BI yang menguraikan mengapa BC adalah Bank gagal yang berdampak sistemik beserta analisisnya.
Rapat diselenggarakan di ruang rapat Menteri Keuangan, Gedung Djuanda I lantai 3, Jalan Wahidin Raya No. 1 Jakarta, dihadiri oleh: Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK, dengan para pesertanya: Gubernur BI selaku anggota KSSK, Sekretaris KSSK, Deputi Gubernur Senior BI, Deputi Gubernur BI bidang Pengawasan, Deputi Gubernur BI bidang Pengaturan Perbankan dan Stabilitas Perbankan, Deputi BI bidang Pengelolaam Moneter, Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Direktur Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang, Direktur Jenderal Perbendaharaan, Ketua Bapepam dan Lembaga Keuangan, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Kepala Eksekutif LPS, UPK3R, Dirut Bank Mandiri, Komisaris Utama Bank Mandiri.
Peserta rapat dari unsur-unsur non BI tidak sepakat bahwa karakternya BC yang gagal adalah Sistemik
Dari notulennya diketahui bahwa selain BI, peserta rapat lainnya (LPS, Depkeu, Bank Mandiri) pada umumnya mempertanyakan dan tidak setuju dengan argumentasi dan analisis BI yang menyatakan bahwa BC berdampak sistemik. Saya akan sebanyak mungkin mengutip apa adanya dari notulen, yang saya tulis dengan tanda kutip. Rincian garis besarnya sebagai berikut.
Menteri Keuangan/Ketua KSSK Dalam Tekanan
Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK merasa perlu “diperhatikan apakah keputusan penyelamatan Bank Century dapat menimbulkan sinyal yang dapat menimbulkan moral hazard bagi bank-bank lain.”
(KKG: dari sini dapat dibaca bahwa Menkeu selaku Ketua KSSK merasa bahwa faktor psikologis justru membuat bank-bank lain yang kira-kira sama kecilnya dan sama-sama rusaknya (peer banks) akan meniru BC. Jadi Ketua KSSK ragu-ragu tentang mem-bail out BC).
Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK mengatakan: “Dalam hal Bank Century diselamatkan dan dikhawatirkan dapat menimbulkan moral hazard, apakah LPS mempunyai kapasitas untuk menangani bank-bank lainnya ?” Ketua KSSK menyambungnya dengan mengatakan: “Keputusan untuk menyatakan bahwa apakah ini risiko sistemik atau bukan akan mempengaruhi.”
(KKG: Lagi-lagi Ketua KSSK Sri Mulyani menyatakan keraguan dan keengganannya untuk menyatakan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik.
Pertama Sri Mulyani menanyakan apakah LPS mempunyai kapasitas menangani bank-bank lainnya dalam hal keputusan bail out BC menimbulkan (baca: mewujudkan) moral hazard pada bank-bank lainnya? Artinya: bail out justru menimbulkan kegaduhan, tidak mententeramkan?
Kedua, notulen tidak memuat terusan dari kalimat yang belum selesai, atau Sri Mulyani memang tidak menyelesaikan kalimatnya, yaitu “Keputusan untuk menyatakan bahwa apakah ini risiko sistemik atau bukan akan mempengaruhi …….. (tidak diselesaikan akan mempengaruhi apa ? Apakah akan mempengaruhi dalam arti justru membuat panik, ataukah akan membuat tenang? Yang mana yang ada dalam benak Sri Mulyani?)
Ketua KSSK selanjutnya mengatakan bahwa: “Terlepas dari banyaknya dana pihak ketiga dalam Bank Century, pihak-pihak ketiga memang sudah mengalami liquitity problems (masalah likuiditas). Rasa aman nasabah tidak cukup dari penanganan LPS, tapi dapat ditimbulkan dari asosiasi dengan bank lain yang terpercaya, oleh karena itu diminta pendapat Bank Mandiri.” Ketua KSSK juga menanyakan: “Apa road map BI terhadap 18 peer banks?”, yang disambung dengan saran Sekretaris KSSK tentang parameter dalam menentukan sistemik atau tidak sistemik.”
(KKG: dapat dirasakan kehendak Ketua KSSK supaya diserap oleh Bank Mandiri dan kemudian terserah apakah Bank Mandiri akan meleburnya ke dalam Bank Mandiri ataukah menjadikan semacam Divisi sementara dari Bank Mandiri, yang kemudian dilepas lagi setelah menjadi sehat. Pola semacam ini pernah dilakukan dengan sukses oleh Rizal Ramli ketika beliau menjabat Menko EKUIN.)
Respons Bank Mandiri dalam rapat tersebut adalah : “Nasabah sampai dengan Rp. 2 milyar akan dijamin LPS, sedangkan deposan di atas Rp. 2 milyar akan diajak bicara. Nasabah sampai dengan Rp. 2 milyar akan dipindahkan ke Bank Mandiri (dengan dijamin LPS).
BEBERAPA ALTERNATIF SOLUSI
Adanya alternatif solusi permasalahan BC juga mengemuka dalam rapat pada tanggal 17 November 2008 yang berjudul “Penyelesaian/Penanganan Bank Gagal oleh LPS”, yang memuat berbagai alternatif tanpa bail out sebagai berikut:
1. Pemberian Fasilitas Pinjaman Darurat (FPD) yang mengandung butir-butir sebagai berikut :
1. Saat ini BC memperoleh FPJP
2. Syarat pemberian FPJP sesuai PBI No. 10/30/PBI/2008, CAR > 0% (Solvent?)
3. Jika pemberian FPJP belum menyelesaikan masalah, dan apabila BC dinilai berdampak sistemik, tentunya BC dapat diberikan FPD (sepanjang masih solvent)
2. Private Solution (Pasal 37 huruf d UU Perbankan)
Diupayakan supaya BC dapat diakuisisi oleh bank lain dengan memperlonggar persyaratan.
3. Pengalihan portfolio sebelum pencabutan izin usaha (Pasal 37 huruf g UU Perbankan)
1. Aset dan kewajiban bank dialihkan ke bank lain (purchase and assumption), sisanya tinggal di BC.
2. Selanjutnya, BC dicabut izin usahanya dan dilikuidasi.
4. Pengalihan portfolio segera setelah pencabutan izin usaha
1. Izin usaha bank dicabut
2. Aset dan kewajiban bank segera dialihkan ke bank lain
(purchase and assumption)
3. Bank dilikuidasi.
(KKG: Sampai tanggal 17 November 2008 masih belum ada pemikiran untuk melakukan bail out.
Namun bail out mengemuka hanya tiga hari setelah itu, yaitu pada tanggal 20 November 2008, yang diputuskan oleh Dewan Gubernur BI seperti tertuang dalam surat Gubernur BI kepada KSSK).
RAPAT KHUSUS TERTUTUP PADA TANGGAL 21 NOVEMBER 2008 YANG MEMUTUSKAN HAL YANG SAMA, DAN DITERUSKAN DENGAN SURAT KEPADA KK (YANG BELUM PERNAH DIBENTUK)
Semua pertanyaan, keragu-raguan, keengganan dan keberatan Ketua KSSK Sri Mulyani tidak dihiraukan. Rapat KSSK yang dihadiri banyak orang itu ditutup, dan segera dilanjutkan dengan Rapat Tertutup yang hanya dihadiri oleh Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner LPS serta sekretaris KSSK dengan kesimpulan sebagai berikut:
1. KSSK menetapkan Bank Century sebagai Bank Gagal yang Berdampak Sistemik.
2. KSSK menetapkan penanganan Bank Century kepada LPS.
3. LPS memerlukan dukungan Bank Mandiri untuk pengisian manajemen baru Bank Century pagi ini sebagai bentuk dukungan profesional Bank Mandiri.
4. Berkenaan dengan butir 3, Bank Mandiri telah memiliki calon, namun perlu ada satu pengurus lama guna kesinambungan kepengurusan.”
KKG TENTANG KARAKTER SISTEMIK:
Terlihat jelas sekali bahwa a priori Gubernur BI sudah sangat bertekad bulat menghendaki kegagalan BC sebagai SISTEMIK, karena:
- tidak mempedulikan pendapat semua anggota KSSK lainnya kecuali unsur BI.
- tidak bisa menunggu walaupun hanya beberapa jam saja dengan alasan kekurangan dana untuk kliring sepanjang hari, yang secara teknis sangat mudah dijembatani oleh BI.
- rapat diselenggarakan pada jam-jam yang tidak wajar, seolah-olah ada bahaya besar, sedangkan tidak demikian kondisinya, karena Wapres Jusuf Kalla saja tidak merasakan apa-apa sampai dilapori pada tanggal 25 November 2008 setelah keseluruhan proses menyatakan BC Bank Gagal yang Sistemik rampung secara bulat.
- Bapepam yang setiap harinya memperdagangkan saham-saham BC dan dunia bisnis yang nyata sama sekali tidak merasakan adanya kepanikan.
- KK juga belum pernah dibentuk, tetapi diterabas saja tanpa memikirkan bagaimana caranya supaya formalitas dipenuhi.
- Pendapat, pertanyaan dan keraguan Ketua KSSK yang dikemukakan dalam rapat KSSK pada hari Jum’at, tanggal 21 November 2008 yang berlangsung antara jam 00.11 s/d jam 05.00 tidak diperhitungkan sama sekali oleh Gubernur BI, Butir-butirnya yang penting sebagai berikut.
- Kemungkinan diserapnya oleh Bank Mandiri terbicarakan, tetapi juga segera saja diabaikan.
- Seperti dikemukakan oleh beberapa anggota dalam rapat tersebut, mengapa bank-bank yang kurang lebihnya sama dengan BC (peer banks) tidak diselamatkan, tetapi tidak ada dampak sistemik sama sekali?
(KKG: Sulit dihindari adanya kesan kuat bahwa BI memaksakan kehendaknya dengan menciptakan satu aspek dalam menentukan ada atau tidak adanya dampak sistemik, yaitu faktor psikologis yang tidak bisa diukur. Lebih-lebih lagi membuat orang curiga tentang motif yang sebenarnya, karena BI tidak konsisten dalam menggunakan ukuran atau kriteria yang dipilihnya sendiri, yaitu Memorandum of Understanding on Cooperation between the Financial Supervisory Authorities, Central Banks and Finance Ministries of the Europoean Union: on Cross Border Financial Stability tgl. 1 Juni 2008. (selanjutnya disebut MoU), di mana tidak ada aspek psikologis.)
KK YANG BELUM PERNAH DIBENTUK
KK belum pernah dibentuk, sedangkan proses yang ditempuh: BC diserahkan kepada LPS oleh KK, sehingga dapat mempengaruhi status hukum atas keberadaan lembaga KK dan penanganan BC oleh LPS (KKG: alasan-alasan yuridisnya banyak di halaman 15 dari Laporan BPK).
BI TIDAK MENGIZINKAN MENUNDA RAPAT SAMPAI TANGGAL 21 NOVEMBER 2008 SORE HARI. ADA APA?
Beberapa peserta rapat minta supaya rapat ditunda sampai sore hari, agar dapat memikirkan lebih mendalam. Saran ini langsung ditolak oleh Gubernur BI yang mengatakan: “Keputusan harus diambil segera dan tidak dapat ditunda sampai Jum’at sore seperti saran LPS karena BC tidak mempunyai cukup dana untuk pre-fund kliring dan memenuhi kliring sepanjang hari itu.”
(KKG: Tentang kekurangan dana pre-fund kliring dan memenuhi kliring sepanjang hari adalah masalah teknis kecil yang dapat dijembatani oleh BI kalau memang mau).
Setelah Rapat Konsultasi tersebut, diadakan rapat tertutup KSSK pada tgl. 21 November 2008 jam 4.25 s/d. jam 06.00 yang dihadiri oleh Menkeu selaku Ketua KSSK, Gubernur BI selaku anggota KSSK dan sekretaris KSSK.
Tentang ini telah digambarkan di atas dari Notulen rapat. Ada baiknya dan lebih ilustratif mengemukakan gambaran yang diberikan oleh BPK sebagai berikut.
Rapat tersebut memutuskan BC sebagai Bank Gagal yang Sistemik (sesuai dengan Surat Gubernur BI No.10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008) dan menetapkan penanganan BC kepada LPS (sesuai dengan UU no. 24/2004 tentang LPS).
Keputusan KSSK tersebut ditindak lanjuti dengan rapat KK tgl. 21 November 2008 jam 05.30 s/d. selesai yang dihadiri oleh Menkeu, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner LPS dan Sekretaris KSSK.
Rapat ini memutuskan:
(1) BC yang Bank gagal dengan dampak Sistemik diserahkan kepada LPS
(2) Penanganan oleh LPS atas dasar UU no. 24/2004 tentang LPS
(3) Dituangkan dalam Keputusan KK No. 01/KK.01/2008.
KERAGUAN BAPEPAM DAN PESERTA RAPAT KSSK LAINNYA
Laporan BPK mengatakan:
“Bapepam berpendapat bahwa karena size BC tidak besar, secara finansial tidak menimbulkan resiko yang signifikan terhadap bank-bank lain, sehingga resiko sistemik lebih pada dampak psikologis.
Dari sisi lain, dengan menyatakan BC sebagai bank gagal yang sistemik justru bisa timbul persepsi bahwa perbankan Indonesia sangat rentan. Dari sisi pasar modal tidak sistemik karena saham BC tidak aktif diperdagangkan.”
LAGI-LAGI BI HANYA DAPAT MENGEMUKAKAN FAKTOR PSIKOLOGIS
Dalam rapat ini BI hanya dapat mengemukakan faktor psikologis untuk menentukan karakter sistemik untuk BC. BI menyebut angka Rp. 5.5 trilyun yang harus dibayarkan oleh BC sebagai pengembalian dana simpanan sesuai dengan jumlah yang dijamin.
Reaksi BI mengatakan bahwa “…..sulit untuk mengukur apakah dapat menimbulkan resiko sistemik atau tidak, karena merupakan dampak berantai yang sulit diukur dari awal secara pasti. Yang dapat diukur hanyalah perkiraan cost/biaya yang timbul apabila dilakukan penyelamatan. Mengingat situasi yang tidak menentu, maka lebih baik mengambil sikap kehati-hatian dengan melakukan penyelamatan namun dengan meminimalisir cost. Keputusan harus diambil segera dan tidak dapat ditunda sampai Jum’at sore (pada hari yang sama, yaitu pada tanggal 21 November 2008), seperti saran LPS karena BC tidak mempunyai cukup dana untuk pre-fund kliring dan memenuhi kliring sepanjang hari itu.”
(KKG: Kutipan dari Laporan BPK tersebut lebih-lebih lagi memperkuat bahwa Gubernur BI sebagai anggota KSSK sudah berketetapan secara mutlak untuk melakukan bail out.
Ketua KSSK dalam tekanan oleh Bank Indonesia untuk melakukan bail out Bank Century. Faktor ini sangat penting buat Pansus DPR tentang Bank Century untuk diteliti secara mendalam. Perlu diperhatikan bahwa ternyata BI tidak dapat membuat perhitungan yang tepat seperti dikatakan oleh Gubernur BI. Hal ini ternyata dari Laporan BPK sebagai berikut.)
BPK BERPENDAPAT BAHWA BI TIDAK MEMBERIKAN INFORMASI YANG SESUNGGUHNYA, LENGKAP DAN MUTAKHIR MENGENAI KONDISI BC KEPADA KSSK.
Surat Gubernur BI yang menyatakan BC sebagai Bank gagal dan Sistemik mengatakan bahwa untuk menaikkan CAR minus 3,53% (31 Oktober 2008) menjadi 8% dibutuhkan tambahan modal Rp. 632 milyar. Namun kondisi akan memburuk terus seiring pemburukan kondisi selama bulan November, sehingga kebutuhan likuiditas sampai 3 tahun ke depan adalah sebesar Rp. 4,792 trilyun.
Pada hari Minggu tgl. 23 November 2008 DK LPS dalam rapat menentukan bahwa LPS menerima informasi bahwa biaya yang diperlukan untuk menaikkan CAR menjadi 8% adalah Rp. 2,6 trilyun. Peningkatan dari Rp. 632 milyar menjadi Rp. 2,6 trilyun itu bukan karena ada transaksi pada hari Sabtu dan Minggu, tetapi karena SSB valas yang tadinya dinilai lancar, setelah BC ditangani oleh LPS, BI menilai SSB tersebut sebagai aset macet, sehingga harus disisihkan 100%.
(KKG: BI baru membuka data dan angka tersebut setelah di tangan LPS. Sangat jelas terlihat supaya terus menerus ada dana yang cukup untuk membayar para deposan besar).
Dalam rapat KSSK tgl. 23 November 2008 Menteri Keuangan mempertanyakan kemampuan BI melakukan assessement, karena kalau ini diragukan, resiko sistemik yang diputuskan oleh KSSK juga diragukan kredibilitasnya.
(KKG: Menkeu sendiri bingung tentang mencla-mencle-nya BI. Dari reaksi masyarakat luas terbukti bahwa keputusan bail out BC yang didasarkan atas asumsi sistemik memang tidak kredibel).
Ketua KSSK dan anggota DK LPS juga mempertanyakan judgement BI yang tidak mengakui kerugian atas AMA sebelum rapat KSSK tgl. 20 November 2008.
Tanggapan Gubernur BI mengatakan bahwa pemerintah telah memutuskan pengambil alihan BC dan diharapkan tidak mengambil policy lain yang bisa menjadi blunder dan berdampak lebih buruk.
(KKG: Gubernur Bi sudah tidak rasional lagi. Dia hanya menggunakan argumen “pokoknya” keputusan sudah diambil).
BI baru menetapkan secara tegas ketentuan PPAP atas SSB dan aktiva produktif lainnya setelah BC diambil alih LPS, sedangkan jauh sebelumnya BI sudah mengetahui buruknya SSB
(KKG: sudah dijelaskan bahwa BI tidak mau menerapkan PPAP 100%. Ini yang menyebabkan biaya penanganan menjadi Rp. 6,7 trilyun yang tidak diduga sebelumnya. Setelah LPS mengambil alih penanganannya, barulah BI membuka kerugian-kerugian yang seharusnya sejak semula sudah diungkapkan. Caranya BI memberikan data seperti “menjebak”. Setelah diambil alih LPS lantas di fait a compli dengan banyak kerugian, sehingga biaya penanganan yang membengkak menjadi tanggungan LPS.)
Menurut perhitungan BPK, jika dilakukan PPAP sebagaimana mestinya, CAR BC per tanggal 20 November 2008 negatif 257,9%, dengan kebutuhan tambahan modal Rp. 4,2334 trilyun. Kalau saja BI menginformasikan ini dalam rapat KSSK tgl. 23 November 2008, KSSK dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang lengkap dan mutakhir.
BPK: “BPK berkesimpulan bahwa BI tidak memberikan informasi yang sesungguhnya, lengkap dan mutakhir mengenai kondisi BC pada saat menyampaikan BC sebagai bank gagal yang ditengarai sistemik kepada KSSK melalui Surat Gubernur BI No. 10/232/GBI/Rahasia tgl. 20 November 2008. Informasi yang tidak diberikan seutuhnya adalah terkait PPAP (pengakuan kerugian) atas SSB valas yang mengakibatkan penurunan ekuitas. BI baru menerapkan secara tegas ketentuan PPAP atas aktiva produktif tersebut setelah BC diserahkan penanganannya kepada LPS sehingga terjadi peningkatan biaya penanganan BC dari yang semula diperkirakan sebesar Rp. 632 milyar menjadi Rp. 6,7 trilyun. (KKG: ini kutipan seutuhnya).
PENGGEROGOTAN DANA CENTURY OLEH PEMEGANG SAHAMNYA ATAS TOLERANSI BI.
Perubahan PLPS merupakan rekayasa yang dilakukan agar BC dapat memperoleh tambahan PMS dengan jumlah besar, sehingga tidak hanya cukup untuk memenuhi CAR, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan likuiditas.
Penyaluran PMS Rp. 6,7 trilyun melalui 4 tahap:
- 2,776 trilyun
- 2,201 trilyun
- 1,155 trilyun
- 630 milyar.
Penyaluran tahap ke II tidak melalui pembahasan sebagaimana mestinya
Tahap kedua tidak dibahas dengan KK, yang bertentangan dengan PLPS bahwa LPS harus minta KK untuk membahas permasalahan setiap kali dana harus diinjeksikan untuk memenuhi tingkat kesehatan bank.
PMS tahap kedua sebesar Rp. 2,201 trilyun untuk memenuhi kebutuhan likuiditas sesuai dengan permintaan dari manajemen BC, sedangkan PMS tidak boleh dipakai untuk likuiditas. Supaya penambahan likuiditas atas permintaan BC untuk kepentingan likuiditas ini dimungkinkan, dilakukan rekayasa dengan mengubah ketentuan pasal 6 PLPS No. 5/PLPS/2006 dengan PLPS No.3/PLPS/2008 pada tanggal 5 Desember 2008. Pada tgl. 5 Desember itu juga Dewan Komisioner LPS menambah biaya penanganan BC untuk memenuhi kebutuhan likuiditas sebesar Rp. 2,201 trilyun.
PMS yang dilakukan setelah tgl. 18 Desember 2008 tidak memiliki dasar hukum, karena Rapat Paripurna DPR tanggal 30 September 2008 menolak Perpu No. 4 tahun 2008 tentang JPSK. Yang melanggar adalah pengucuran dana sebagai berikut.
- tahap kedua Rp. 1,101 trilyun
- tahap ketiga Rp. 1,166 trilyun
- tahap keempat Rp. 630,22 milyar
PENGGUNAAN DANA FPJP DAN PMS
BC yang dalam pengawasan khusus mengeluarkan uang yang dilarang.
BC dilarang mengeluarkan uang simpanan milik pihak terkait. Tetapi ada pengeluaran-pengeluaran sebagai berikut:
Antara tgl. 6 November ’08 dan11 Agustus ’08 ada penarikan uang Rp. 938,65 milyar, yang Rp. 594,63 di antaranya untuk pihak terkait.
Dana PMS sebesar Rp. 6,763 trilyun seharusnya dipakai untuk meningkatkan CAR sampai memenuhi persyaratan BI. Namun uang ini digunakan untuk:
- memenuhi GWM sebesar Rp. 281,02 milyar
- pembayaran pinjaman antar bank Rp. 302,09 milyar
- dana pihak ketiga Rp. 4,01879 trilyun
- pokok dan bunga FPJP Rp. 692,9 milyar
- Biaya Real Times Gross Settlement Rp. 0,28 milyar
- transaksi valuta asing Rp. 32,99 milyar
- pembelian SBI Rp. 528,25 milyar
- penempatan pada Fasilitas
Bank Indonesia (FASBI) Rp. 545,49 milyar
- penempatan pada Fine Tune Expansion Rp. 154,21 milyar
Jumlah seluruhnya Rp.6,88065 trilyun
Atas dasar transaksi-transaksi di atas BPK menyimpulkan: Penarikan dana oleh pihak terkait dalam periode BC dalam pengawasan khusus (6 November s/d. 11 Agustus ‘08 sebesar ekivalen Rp. 938,65 milyar melanggar ketentuan PBI No.6/9/PBI/2004 yang diubah dengan PBI No.7/38/PBI/2005) PENGGEROGOTAN OLEH PEMILIK DAN PIHAK TERKAIT
(hal. 20)
Pada tanggal 14 November 2008 Budi Sampoerna minta memindahkan depositonya sebesar USD 96 juta dari BC Surabaya ke BC Senayan, Jakarta.
Pada tanggal 15 Novemeber 2008 Dewi Tantular (DT) dan Robert Tantular (RT) mencairkan USD 18 juta dari account BS tersebut untuk menutupi bank notes yang selama ini telah digunakan untuk pribadi oleh DT.
(Sebagai Kepala Divisi Bank Notes dari BC, DT telah menjual bank notes ke luar negeri dengan jumlah yang melebihi jumlah yang tercatat, sehingga secara akumulatif terjadi selisih kurang antara fisik bank notes dengan catatan akuntansi).
Deposito milik BS tersebut diganti oleh BC tgl. 29 Mei ’09 dengan dana yang berasal dari PMS LPS dan untuk itu BC mengakui kerugian sebesar USD 18 juta.
Sebelumnya, karena ada pengaduan dari pengacara BS mengenai penggelapan deposito BC, pada tanggal 7 dan 17 April 2009 Kabareskrim mengirim surat kepada BC bahwa deposito milik BS tidak ada masalah lagi.
(KKG : ini yang menjadi ramai, tetapi bagaimana hubungan yang persisnya antara Kabareskrim dengan keseluruhan BC dan pemegang sahamnya tidak jelas.)
DT dan RT menyatakan tidak pernah menggelapkan karena dia resmi berutang pada BS, yang oleh BS dibantah.
Atas perintah RT, BC memecah deposito milik BS dengan nilai nominal masing-masing Rp. 2 milyar, dengan menggunakan nominee KTP para pelamar karyawan. NCD @ Rp. 2 milyar itu diserahkan kepada BS pada tgl. 16 November ’08, yang oleh BS dikembalikan pada tgl. 17 Desember ’08 kepada BC dengan pernyataan bahwa BS tidak pernah menyimpan depositonya dalam 247 NCD; BC kemudian mengubah NCD tersebut menjadi 40 bilyet certificate masing-masing sebesar USD 1 juta pada tgl. 15 Juni ’09. Maksud BC yalah mengantisipasi kalau dilikuidasi deposito BS menjadi 247 NCD yang dijamin.
(KKG: Mengapa RT melakukan pemecahan deposito BS menjadi Rp. 2 milyar per deposito? Apakah akan membela kepentingan BS, supaya kalau BC bangkrut masih bisa memperoleh uangnya kembali secara utuh, ataukah ketika melakukan itu RT sudah mempunyai niat untuk mencurinya dari RT?
Kalau RT ternyata pernah melakukan pemecahan deposito besar ke dalam desposito sebesar Rp. 2 milyar (yang dijamin berdasarkan peraturan yang berlaku), apakah dia tidak melakukan deposito besar lain-lainnya?
Apakah dalam berbagai talk show, di mana Ketua LPS Firdaus Djaelani mengatakan bahwa total jumlah deposito yang Rp. 2 milyar sebesar Rp. 55 trilyun itu bukan hasil rekayasa pemecahan deposito besar ke dalam yang Rp. 2 milyaran ini?)
DANA TALANGAN YANG Rp. 6,7 TRILYUN YANG DE FACTO DIPAKAI UNTUK PEMBAYARAN KEWAJIBAN KETIMBANG UNTUK MENAIKKAN CAR SAMPAI SESUAI SYARAT.
PRAKTEK-PRAKTEK TIDAK SEHAT, PELANGGARAN OLEH MANAJEMEN, PEMEGANG SAHAM DAN PIHAK TERKAIT YANG MERUGIKAN BC.
Biaya penanganan Rp. 6,7 trilyun yang mestinya dipakai untuk memperbaiki CAR dan likuiditas dipakai untuk menutupi kerugian-kerugian BC akibat adanya praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran-pelanggaran ketentuan yang dilakukan oleh pengurus bank, pemegang saham maupun pihak-pihak terkait dengan BC.
Dari Rp. 6,76236 trilyun, di antaranya +/- Rp. 6,32257 trilyun (93,50%) digunakan untuk menutupi penurunan CAR yang diakibatkan adanya kerugian karena praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran ketentuan perbankan oleh pengurus, pemegang saham dan pihak-pihak terkait dengan BC.
Dari kerugian sebesar Rp. 6,32257 trilyun, Rp. 3,15589 trilyun (47,70%) merupakan kerugian yang melibatkan RAR dan HAW Rp. 3,06880 (48,54%) trilyun merupakan kerugian yang melibatkan RT dan pihak-pihak terkait.
Rinciannya (permasalahannya) sebagai berikut:
BC mempunyai SSB USD 112,49 juta, yang terdiri dari (ROI) Loans sebesar USD 42,49 juta dan US Treasury Strips sebesar USD 70 juta) yang oleh BC digunakan sebagai jaminan untuk memperoleh L/C dari Saudi National Commercial Bank (SNCB) dengan plafon USD 100 juta. Yang dipakai sebagai jaminan L/C hanya ROI sebesar USD 34,99 juta, dan sisanya USD 7,48 juta dikonversi menjadi UTS yang masih dikuasai oleh FGAH sampai dengan saat ini.
Dana UTS sebesar USD 70 juta, USD 12 juta telah dijual dan diterima tunai oleh BC pada tgl. 3 April 2007. USD 13 juta dikuasai oleh FGAH sampai saat ini. Hasil penjualan UTS sebesar USD 45 juta juga tidak diterima oleh BC.
SSB USD 41 juta dicatat sebagai “Aset Lain-Lain”. SSB sebesar USD 13 juta dicatat sebagai “Efek-Efek”. Akhirnya keseluruhan SSB sebesar USD 54 juta ekivalen Rp. 581,32 milyar diakui sebagai kerugian.
UTS sebesar USD 115 juta beserta call money BC di Saudi National Commercial Bank (SNCB) sebesar USD 2,91 (= USD 117,91 juta) dijadikan jaminan atas LC impor sebesar USD 48,99 juta untuk LC kepada dua nasabah terkait BC.
Pada tgl. 17 November 2008 UTS USD 115 juta dijual oleh SNCB dengan harga hanya USD 56,63 juta (49,24%), sehingga BC mengalami kerugian sebesar USD 58,37 juta atau ekivalen Rp. 703,36 milyar.
MTN Rabobank senilai USD 20 juta
Jaminan lainnya sebesar USD 4 juta
Deposito Murabaha sebesar USD 3,73
dijaminkan kepada SNBC untuk LC sebesar USD 19,99 juta (diduga terkait BC). Untuk melunasi ini jaminan RTN Rabobank yang senilai USD 20 juta dijual dengan harga USD 13,20 juta (66%), dan UTS senilai USD 4 juta dijual dengan harga USD 3,73 juta (93,25%).
Jumlah kerugian atas transaksi sebesr USD 58,37 juta ekivalen Rp. 636,24 milyar, UTS sebesar USD 4 juta ekivalen Rp. 43,6 milyar dan penurunan nilai MTN Rabobank sebesar USD 6,8 juta ekivalen Rp. 74,12 milyar per 31 Desember 2008 atau keseluruhannya mencapai Rp. 753,96 milyar telah diakui sebagai kerugian BC.
Untuk SSB BC yang berkualitas rendah, pada tgl. 17 Januari 2006 dilakukan perjanjian AMA dengan Teltop Holding Ltd. (TTH), di mana TTH akan mengelola dan menjual SSB sebesar USD 203,48 juta paling lambat 17 Januari 2009. Dari jumlah ini sebesar USD 25 juta tidak milik FGAH digunakan sebagai jaminan kredit debitur BC dan tidak dicatat dalam Laporan Keuangan BC.
Pelaksanaan AMA tidak berjalan efektif karena dari USD 203,48 juta, hanya sebesar USD 32 juta yang dapat diterima oleh BC, sedangkan sisanya sebesar USD 171,48 juta tidak dapat dieksekusi pada awalnya oleh BC. Dari SSB, di antaranya USD 23 juta yang jatuh tempo dibayar tunai. Pada tahun 2007 BC menerima pembayaran bunga dari FGAH dalam bentuk SSB sebesar USD 40 juta, dan SSB per 31 Desember 2008 sebesar USD 163,48 juta yang ekivalen dengan Rp. 1,8316 trilyun diakui sebagai kerugian.
TRANSAKSI-TRANSAKSI BC YANG MELIBATKAN RT DAN/ATAU PIHAK TERKAIT YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN BC
Bank Century dan Antaboga
Salah satu pemegang saham BC, yaitu PT Antaboga Delta Sekuritas (PT ADS) merupakan agen penjual reksadana dari 4 manajer investasi. Dalam pemeriksaannya antara 2002 s/d. 2005 BI menemukan penyimpangan dalam operasi PT ADS, yaitu penjualan produk reksadana yang berkarakteristik deposito, PT ADS bertindak selaku manajer investasi. PT ADS dan BC belum memperoleh izin dari Bapepam. BI telah meminta bantuan Bapepam untuk memeriksa, tapi sampai saat ini belum menerima laporannya.
Bank Century dan Discretionary Fund
Sejak tahun 2007 s/d 2008 ADS memasarkan produk Discretionary Funds (DF). Walaupun tidak ada perjanjian antara PT ADS dengan BC, produk PT ADS dijual oleh kantor-kantor cabang BC. BPK tidak bisa memperoleh data yang lengkap mengenai transaksi PT ADS, karena seluruh data berkaitan dengan kegiatan PT ADS disita oleh Bareskrim POLRI. Berdasarkan data yang ada di BC terdapat hasil penarikan kredit oleh pihak-pihak terkait yang digunakan untuk membayar nasabah PT ADS sebesar Rp. 169,8 milyar. Per 31 Maret 2009. PT ADS masih memiliki kewajiban kepada nasabahnya sebesar Rp. 1,45526 trilyun.
Kredit kepada Pihak Terkait
Terdapat kredit kepada sebelas debitur BC dengan nilai per 31 Desember 2008 sebesar Rp. 592,24 milyar yang diduga diberikan kepada pihak-pihak yang terkait dengan BC dan RT, yang diduga pemberiannya melanggar prosedur. Kredit ini macet, BC telah mengakui kerugian sebesar Rp. 453,51 milyar setelah BC diambil alih oleh LPS.
L/C kepada Pihak-Pihak Terkait
BC memberi fasilitas LC kepada sepuluh debitur senilai USD 172,13 juta yang diduga diberikan kepada pihak terkait dengan BC dan RT. Para debitur BC tidak dapat melunasi tagihan LC tersebut pada saat jatuh tempo, sehingga BC mengakui kerugian sebesar 100 % atau USD 172,14 juta ekivalen Rp. 1,87632 trilyun setelah BC diambil alih oleh LPS.
Dewi Tantular (DT) dan Budi Sampoerna (BS)
DT menggelapkan bank notes senilai USD 18 juta ekivalen Rp. 196,2 milyar seperti yang dijelaskan dalam rangka “menipu” Budi Sampoerna.
Biaya-Biaya Operasional Fiktif
BC membukukan “biaya-biaya operasional” yang diduga fiktif senilai Rp. 211,01 milyar dan USD 3,75 juta ekivalen Rp. 16,15 milyar. Dana ini digunakan untuk kepentingan RT dan pihak-pihak terkait, antara lain untuk melunasi nasabah PT ADS, salah satu pemegang saham BC.
Biaya-biaya pra merger dan biaya-biaya lainnya sebesar Rp. 325,3 milyar yang dibebankan sebagai biaya pada tahun 2008.
Pelanggaran Pidana
BPK halaman 24: Praktik-praktik perbankan tidak sehat yang dilakukan oleh pemegang saham, pengurus dan pihak terkait lainnya diduga melanggar UU no. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU no. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah merugikan BC sekurang-kurangnya sebesar Rp. 6,32257 trilyun yang pada akhirnya ditutup dengan dana PMS dan LPS setelah diambil alih LPS.
IMPLIKASI KASUS BANK CENTURY PADA KEHIDUPAN POLITIK
Kegiatan Pansus telah membawa berbagai keruwetan dan kebingungan dalam bidang politik.
Sebelum kasus BC meledak, KIB II terbentuk sebagai koalisi dengan semua fraksi kecuali PDI-P, Gerindra dan Hanura.
Pansus diprakarsai oleh 9 anggota DPR yang terdiri dari semua fraksi kecuali Partai Demokrat. Sebelum Pansus terbentuk Tim 9 sudah aktif menggalang opini publik bahwa bail out BC berbau busuk, sambil bergiat mengumpulkan tanda tangan agar DPR membentuk Panitia Khusus tentang penggunaan Hak Angket oleh DPR untuk memeriksa. Mereka berhasil dengan gemilang, sehingga Partai Demokrat terpaksa harus ikut menandatanganinya. Maka Panitia Hak Angket tentang Bank Century (Pansus) terbentuk.
Keseluruhan sidang Pansus berlangsung terbuka. Publik dapat mengikutinya secara mendetil. Sangat mungkin karena itulah para anggota Pansus tidak berani main-main dalam menjalankan tugasnya. Bersenjatakan Laporan audit investigatif oleh BPK tentang BC terlihat jelas semakin terpojoknya pemerintah, dan jeleknya citra Partai Demokrat yang diakibatkan oleh jalannya pemeriksaan oleh Pansus.
Partai Demokrat mengajukan usulan kepada SBY agar kabinet dirombak yang tentunya dengan mengeluarkan para menteri dari partai yang tidak patuh. Dari sekian banyaknya partai koalisi, Golkar dan PKS tetap bersikap mengusut skandal BC sampai tuntas. Mereka tidak peduli akan dikeluarkan dari kabinet atau tidak.
Dengan demikian lantas timbul pertanyaan apa hakikat koalisi? Apakah kerja samanya didasarkan atas kedudukan menteri dalam kabinet? Artinya, asalkan diberi kedudukan menteri dalam kabinet, kebijakan apapun yang diambil oleh SBY dan apapun yang dilakukannya harus didukung? Persepsi SBY ternyata memang demikian yang terlihat dari digelarnya rapat dengan para menteri yang berasal dari partai politik. Partai Demokrat juga mempunyai anggapan yang sama. Maka mereka mendesak SBY melakukan reshuffle kabinet.
Apakah benar bahwa kalau tidak ada kesamaan pendapat dalam hal tertentu yang dianggap prinsipiil kabinet lantas bubar? Betul. Maka kita saksikan jatuh bangunnya kabinet dalam negera-negara maju yang menganut sistem parlementer. Dalam sistem ini yang dipilih secara langsung oleh rakyat hanya para anggota parlemen. Mereka membentuk kabinet dengan cara pembentukan koalisi yang mendapat dukungan mencukupi dari DPR. Faktor pengikatnya adalah platform, landasan kebijakan yang cocok dengan ideologi partainya dan bagaimana garis-garis besar program kerjanya. Dari kalangan mereka ditunjuk Perdana Menteri. Walaupun kabinet telah berunding lama dan sepakat dengan platform dan sebagainya tadi, bilamana di tengah jalan menghadapi hal baru yang membuat mereka tidak sepakat tentang hal ini, kabinet bubar, dibentuk kabinet baru melalui pembentukan koalisi baru yang dalam konteks yang baru itu memperoleh mayoritas yang comfortable. Parlemen yang bisa menjatuhkan dan membentuk kabinet. Jadi kabinet memang bisa jatuh, tetapi jarang-jarang terjadi karena sebelumnya telah disepakati platform yang sama tentang kebijakan dalam hal apa saja yang ketika pembentukannya dapat diperkirakan. Namun selalu bisa saja terjadi bahwa di tengah jalan muncul sebuah masalah yang belum ada kesepakatannya. Apabila untuk satu masalah yang baru muncul ini akhirnya tidak dicapai kata sepakat, kabinet bubar dan pembentukan dimulai dengan prosedur yang sama.
Kita menganut sistem presidensial. Baik parlemen maupun Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Presiden mempunyai legitimasi dan kedudukan yang sama dengan DPR. Namun perilaku SBY agak mengherankan. Dalam pembentukan kabinetnya, dia berorientasi pada pembentukan koalisi yang didasarkan atas kuantitas tanpa platform. Sedapat mungkin semua fraksi dimasukkan ke dalam kabinet, dan tanpa platform. Mengapa bisa terjadi? Karena partai-partai politik juga tidak mempunyai platform. Maka kekompakan semata-mata didasarkan atas kekuasaan yang diberikan dalam bentuk kursi menteri.
Karena sama sekali tidak dipikirkan apa garis-garis besar kebijakannya dan juga sama sekali tidak mempunyai program kerja, maka kalau terjadi masalah, secara ad hoc dan pragmatis yang bekerja adalah oportunisme.
Namun ada yang istimewa dalam kasus Century. Oportunisme tidak muncul dalam Pansus, karena seluruh persidangan berlangsung secara terbuka yang diliput oleh media massa. Para anggota Pansus terpaksa harus menunjukkan komitmennya kepada konstituennya. Itulah sebabnya kecuali Partai Demokrat hampir seluruh anggota Pansus sangat kritis.
Ini yang menjadikan Partai Demokrat dan SBY gerah dan muncullah gagasan perombakan kabinet. Akan dirombak ke arah mana? Pekembangan selanjutnya bisa menjadi sangat aneh dan semakin tanpa arah.
Siapa yang sebenarnya hendak dibela oleh Partai Demokrat? Buat siapa Partai Demokrat mempertaruhkan kredibilitasnya dan komitmennya kepada konstituennya?
Ternyata yang dibela dua orang yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan Partai Demokrat, yaitu Boediono dan Sri Mulyani. Karena mereka sama sekali bukan kader PD, PD de facto membela orang yang bukan kadernya. Lantas apa yang dijadikan landasan pembelaannya? Hanya loyalitasnya kedua orang itu kepada SBY? SBY bisa terlepas dari kader dan konstituen partainya.
Dalam bidang politik, yang mengendalikan juga bukan kader-kader PD. Yang de facto mengendalikan adalah para lulusan Ohio State University yang hanya mempunyai landasan sama-sama belajar di sana, dan sama-sama muridnya Prof. Bill Liddle. Aneh sekali. Siapa dia? Adakah ikatan ideologi dengan kelompok raksasa yang besar pengaruh dan kekuasaannya di seluruh dunia?
Buat saya adalah pertanda yang baik kalau PD sekarang ini menggugat pendiri partainya yang sekarang ini menjadi Presiden RI, supaya Pak SBY pertama-tama memperhatikan kader partainya sendiri. Setelah itu supaya lebih berempati kepada para kader partai lainnya yang telah memilih jalan hidupnya sebagai salah satu elemen penyelenggara negara, yaitu para anggota partai poitik yang resmi dan sah. Bukannya memberikan kekuasaan de facto kepada para anggota Organisasi Tanpa Bentuk (OTB).
Ada implikasi politik sangat aneh lainnya yang sulit dipahami dan hampir tidak pernah terjadi dalam negara-negara yang demokrasinya sudah mentap.
Karena koalisi didasarkan atas kursi menteri di dalam kabinet, maka Ketua Umum dan kader penting lainnya dari partai-partai politik tertentu yang kebetulan juga duduk sebagai menteri di dalam kabinet lebih mementingkan kedudukannya sebagai menteri ketimbang menyuarakan aspirasi konstituennya.
Maka PAN yang konstituen utamanya adalah para anggota Muhammadyah terpenggal dari konstituennya sendiri, sehingga hanya menggelantung di atas karena kekuasaan Presiden. Demikian juga dengan PKB. Apa artinya ini dalam perjalanan politik selanjutnya tidak jelas, tetapi menarik diamati sampai di mana pengingkaran terhadap prinsip-prinsip dasar berbangsa dan bernegara dalam sistem demokrasi akan merusak demokrasi yang baru saja mulai dipraktekkan dengan keterbukaan dan kebebasan yang ternyata kebablasan.
Sumber: KORANINTERNET.COM
simak tulisan beliau lainnya di SINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar