Oleh: Christovita Wiloto (dari milist)
"Buku ini adalah sebuah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa dan kejadian adalah hasil imajinasi sang penulis dan digunakan secara fiksi. Adanya kesamaan dengan orang sebenarnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, peristiwa, atau tempat, secara menyeluruh adalah kebetulan semata".
Demikianlah disclaimer yang tertulis pada awal Novel The Da Vinci Code karya Dan Brown, juga pada awal filmnya. Namun entah mengapa disclaimer ini hilang sama sekali pada buku Da Vinci terjemahan bahasa Indonesia terbitan Serambi. Suatu hal yang sangat aneh bukan?
Saya dan beberapa rekan mencoba beberapa kali mengirim email ke penerbit Serambi, menanyakan perihal disclaimer yang hilang ini. Namun sayang seribu kali sayang, sampai saat ini sudah hampir 2 tahun berlalu, belum ada tanda-tanda kalau penerbit Serambi berkenan menjawabnya.
Fiksi! Itulah sebenarnya hakikat dari Novel dan Film The Da Vinci Code yang menggegerkan dunia saat itu. Dalam berbagai kamus, kata fiksi mempunyai arti cerita rekaan, khayalan, dan cerita yang tidak benar. Jelaslah bahwa novel itu hanya rekaan semata.
Meski dilarang di sejumlah negara, film The Da Vinci Code yang dibintangi Tom Hanks dan Audrey Tautou ini telah meraup US$ 224 juta atau lebih dari Rp 2,1 triliun !!, terbesar kedua dalam sejarah sepekan pertama tayangan film.
Novelnya dibaca lebih dari 60 juta orang diseluruh dunia, menjadi The #1 Worldwide Bestseller. Brown kini menulai keuntungan triliunan rupiah dan menjadikannya OKB alias "orang kaya baru". Ini berimbas pada penjualan novel Brown lainnya, yang selama ini biasa-biasa saja penjualannya, seperti Digital Fortress, Angels & Demons, dan Deception Point.
Apa yang menyebabkan novel dan film Da Vinci meledak? Bukankah ia jelas-jelas sekadar cerita fiksi yang bertemakan konspirasi semata?
Ada sejumlah jawaban. Pertama, karena Da Vinci mengangkat tema Yesus Kristus. Suka atau tidak, segala cerita tentang Yesus, sejak lama selalu menarik perhatian publik dunia dan selalu meledak penjualannya. Salah satu magnitude penting yang mungkin menjadi penyebabnya adalah, karena ada lebih dari sepertiga penduduk dunia atau lebih dari 2 milyar orang menjadi pengikut Yesus.
Tak heran kalau film-film tentang Yesus selalu menjadi box office, seperti The Passion of The Christ karya Mel Gibson yang meraup lebih dari US$ 800 juta atau lebih dari Rp 7,6 triliun!
Kedua, menampilkan beberapa fakta. Walau novelnya adalah sebuah fiksi, Brown menaburkan sejumlah fakta dan penggalan-penggalan informasi yang sebagian adalah fakta, walaupun sebagian besar lagi sangat lemah kebenarannya, terutama dalam perdebatan-perdebatan ilmiah yang ada.
"Ramuan" sedikit fakta dan fiksi yang saling mendukung merupakan salah satu kekuatan novel Brown. Sehingga, para pembacanya, kerap terbawa suasana, seakan-akan cerita fiksi yang disuguhkan Brown semuanya adalah fakta.
Ketiga, Da Vinci diterbitkan di Amerika Serikat (AS), sehingga diuntungkan oleh image global AS. Novel ini barangkali tak akan sedahsyat sekarang, seandainya diterbitkan di luar AS. Ini, karena institusi-institusi di AS selalu memiliki strategi Public Relations yang matang. Dan khas AS, tak hanya mengelola publik AS sendiri, namun juga mengelola masyarakat di seluruh dunia sebagai target pasarnya.
Keempat, dikemas oleh Hollywood menjadi film kelas dunia yang dipasarkan ke seantero dunia. Industri film Hollywood terbukti memang lebih dahsyat dari Pentagon sekalipun, karena terbukti mampu merubah dan membentuk persepsi publik dunia dengan sistem dan jejaring amat canggih dan luas. Hollywood membuat berbagai macam cerita fiksi, nampak begitu nyata, bahkan terlihat lebih "benar" dari kebenaran itu sendiri.
Membelokkan Sejarah
Di berbagai buku dan seminar ilmiah yang membahas Da Vinci, banyak ahli mengatakan, bahwa yang disampaikan Brown dalam novel fiksinya tersebut tidak lebih merupakan ajaran sesat Gnostik, yang muncul pada abad ke dua dan ketiga Masehi. Terlepas dari perdebatan itu, sangatlah jelas bahwa novel itu hanyalah fiksi, rekaan atau khayalan penulisnya semata dan bukanlah suatu paper ilmiah yang perlu dibahas secara ilmiah dengan panjang lebar.
Kalau tulisan itu merupakan paper ilmiah, tentu dengan gagah berani Brown akan mengemasnya dalam sebuah karya ilmiah dan akan mempertahankan mati-matian paper tersebut. Namun jelas-jelas Brown hanyalah penulis novel yang mengemasnya dalam sebuah novel fiksi dan tegas-tegas menuliskan "disclaimer" fiksi di novelnya.
Ini lebih merupakan fenomena strategic communications yang sangat menarik. Dimana begitu banyak orang di dunia sering "menganggap" fiksi sebagai "suatu kebenaran".
Ini makin memperkokoh teori komunikasi yang mengatakan "persepsi adalah kebenaran". Artinya dalam era komunikasi yang canggih seperti saat ini berbagai pesan "fiksi" yang dikemas dengan strategi komunikasi yang canggih akan direspon oleh otak manusia yang merupakan target penerima pesan sebagai suatu kebenaran. Da Vinci merupakan contoh kasus yang paling gamblang untuk menjelaskan fenomena ini.
Da Vinci menimbulkan gelombang kemarahan di seluruh dunia. Menanggapi kemarahan itu, Brown dengan tegas mengatakan, bukan tugasnya untuk membahas kontroversi itu. "Kita harus menyerahkan pembahasan ini kepada para ahli injil dan pakar sejarah," kata Brown di sebuah seminar para penulis di New Hampshire, yang merupakan satu-satunya penampilan novelis itu di hadapan umum sebelum filmnya dirilis.
Brown memang tidak perlu menanggapi perdebatan para ahli, karena selain dia memang bukan ahli sejarah, apa yang ditulisnya adalah fiksi belaka yang memang tidak perlu diperdebatkan kebenarannya.
Sampai di sini, ada pelajaran penting yang bisa kita petik. Bahwa dengan kecanggihan industri dan strategi komunikasi yang sistematis, sejarah dengan mudah dapat diubah-ubah, bahkan diputar balikkan. Sehingga segala sesuatu, bahkan fiksi sekalipun, bisa disosialisasikan seakan-akan sesuatu yang given.
Jika hal ini dapat terjadi pada tokoh dunia sebesar Yesus Kristus; maka bukan mustahil dapat juga terjadi pada Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, para mantan presiden dan presiden RI. Pengubahan sejarah juga dapat terjadi pada tokoh-tokoh sejarah lainnya.
Dan yang terpenting bisa terjadi pula pada sejarah hidup pribadi atau perusahaan kita, juga bangsa kita Indonesia. Yakinlah pengubahan sejarah dapat dengan sangat mudah dilakukan, apalagi pada saat kita telah tiada di dunia ini.
Demikian canggihnya strategi komunikasi, history bisa diubah menjadi her-story, their-story, your-story, my-story dan dalam kasus Da Vinci, sejarah telah dibelokkan menjadi Dan Brown's-story, dan bukan lagi His tory yang benar.
Namun menghadapi kenyataan ini, kita tak perlu panik. Peganglah teguh filosofi komunikasi. Yakni rumus Reputasi = Kinerja + Komunikasi. Artinya, selama kinerja kita memiliki integritas yang solid, maka kinerja kita itulah yang akan berdiri tegak membela reputasi, bahkan sejarah kita di kemudian hari, bahkan saat kita sudah tiada.
Bukankah manusia dinilai dari buah-buah hidupnya? Bila buah yang kita hasilkan manis, maka pastilah benihnya juga akan menumbuhkan pohon-pohon kehidupannya yang berbuah manis. Maka noise atau distrosi apa pun yg terjadi dalam komunikasi, termasuk manipulasi sejarah, akan pudar sendirinya dengan kinerja yang berintegritas.
The Da Vinci Code jelas-jelas sebuah fiksi yang ingin merusak citra Kristus. Bayangkan saja Kristus menikah dengan Maria Magdalena dan kini keturunan mereka masih hidup di Perancis? Ha..ha..ha.. Wah, sing mboten-mboten mawon, yang benar saja.
Kini sudah 2 tahun berlalu sejak pemutaran perdana film The Da Vinci Code, namun reputasi Yesus Kristus tetaplah tegar dan tidak tergoyahkan, jumlah pengikut setianya pun terus bertambah. Karena kebenaran tetaplah menjadi kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar